Paribasa dan Ungkapan Banjar, Refleksi budaya oleh Noorhalis Majid
PARINDUAN
Induk semang, moyang. Keluarga pertama yang melahirkan banyak keturunan. Setelah lama menetap, berkembang biak menjadi koloni, kelompok. Satu sama lain saling terkait keluarga, karena berasal dari satu atau dua induk keluarga yang saling kawin mawin. Induk keluarga, disebut dengan parinduan.
Boleh jadi diambil dari kata rindu, karena tidak ada yang paling dirindukan selain keluarga induk. Tempat berasal, tumbuh dan berkembang. Setiap kali mudik pulang kampung, yang membuat semangat adalah karena masih adanya keluarga induk, dengan segala kenangan masa kecil. Apalagi bila masih lengkap sebagai satu keluarga besar. Semakin lama meninggalkan keluarga, semakin memuncaklah kerinduan itu.
Karena keluarga adalah pusat dari kerinduan, ungkapan ini meminjam kata rindu untuk menyebut keluarga induk. Dari satu parinduan, lahirlah banyak generasi, membentuk keluarga baru, melahirkan parinduan-parinduan lainnya yang terus berkembang.
Satu hari, penulis datang ke suatu kampung, semua di kampung itu mengaku dari kampung Nagara – Hulu Sungai Selatan. Seorang ibu setengah baya bercerita, awalnya di kampung ini hanya ada dua parinduan yang datang dari Nagara, setelah itu kedua parinduan itu anaknya saling kawin mawin, terus berlanjut, hingga terbentuk satu kampung. Karena berasal dari parinduan yang sama, kami semua di kampung ini terkait satu keluarga. Padahal jumlah warga di kampug itu sudah ratusan.
Pernah pula penulis bertemu dengan satu keluarga di Riau, mengaku turunan ketujuh dari satu parinduan yang datang sebelum gunung Krakatau Meletus. Keluarga tersebut sudah banyak sekali melahirkan generasi dan tetap menggunakan bahasa banjar sebagai cara berkomunikasi sehari-hari.
Begitu arifnya kebudayaan banjar, menyebut keluarga induk sebagai parinduan. Menggambarkan dekatnya hubungan kekeluargaan sedarah, seketurunan. Sekalipun sudah berkembang biak sedemikian rupa, keluarga induk tetap diingat dan disebut sebagai parinduan. Bahwa kerinduan utama, terpatri pada keluarganya. Selanjutnya, lahirlah konsep bubuhan, menununjukkan ikatan keluarga yang lebih besar, bisa karena sekampung, sedaerah – tempat kelahiran dan dibesarkan. Bila disebut bubuhan, ada ikatan yang kuat mematrinya, karena jangan-jangan kalau ditarik lurus ke atas, masih satu parinduan. (nm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar