Senin, 03 Oktober 2022

BIOGRAFI SYECH ARSYAD AL BANJARI

 


Abd. Rochim Al Audah

 

1.    Riwayat Hidup

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah  selanjutna disebut Syekh al-Banjari sangat terkenal di masyarakat Banjar dan bahkan di kalangan ulama nama ini tidak asing. Ia dilahirkan di desa Lok Gobang dekat desa Kalampayan Martapura Kalimantan Selatan pada hari Kamis tanggal 15 Shafar 1122 H (1710 M) dari pasangan Abdullah dan Aminah. Menurut salah satu akun, Abdullah adalah cucu dari muballigh yang berasal dari Maghreb ke Filipina dan mendirikan kerajaan Islam di Mindanao (dikatakan bahwa kata "Mindanao" berasal dari kata min indina yang berarti dari kelompok kami), bernama Sayyid Abdullah.[1]

Sewaktu salah seorang putranya, yang bernama Abdur Rasyid, bermaksud pergi ke Mekkah dengan menumpang perahu, perahu tersebut diserang badai yang mengakibatkan terbawa ke muara Banjar. Ia lalu naik ke darat, menyamar sebagai orang biasa; kemudian ia nikah dengan perempuan Banjar dan melahirkan beberapa orang anak, di antaranya Abu Bakar.[2] Abu Bakar inilah yang mempunyai anak Abdullah yang kemudian nikah dengan Aminah dan melahirkan lima orang anak yang diberi nama: Arsyad, Abidin, Zainal Abidin, Nurmein dan Nurul Amin. Dengan demikian Syekh al-Banjari merupakan anak yang tertua dari lima bersaudara.[3] Keluarga inilah Syekh al-Banjari pertama kali memperoleh pendidikannya sampai usia delapan tahun. Dikala usia yang masih kanak-kanak itu, sudah tampak ketinggian intelegensinya di mata orang tua dan masyarakat sekitarnya. Sultan Tahlilillah, yang berkuasa di Banjar waktu itu, bertemu dengan Syekh al-Banjari dan tertarik oleh kecerdasan anak tersebut terutama dalam kemampuannya melukis keindahan alam yang mengagumkan. Kemudian Sultan meminta kepada kedua keraton. Permintaan Sultan pun dipenuhi oleh kedua orang tuanya demi kepentingan dan kebahagiaan anaknya di kemudian hari. Sejak saat itu, di usia yang baru delapan tahun, ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya dan tinggal di keraton.[4] Di dalam keraton, ia diperlakukan sebagai anak kandung oleh Sultan, dididik bersama- sama dengan anak-anak sultan yang lain untuk belajar  mengaji Al Qur’an dan beberapa cabang ilmu pengetahuan agama lainnya. Lebih dari itu, Sultan pun berjanji akan menugasbelajarkannya ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Bila sudah dewasa kelak. Tidak ada data tentang ilmu apa saja yang diperoleh Syekh al-Banjari dalam lingkungan keraton itu dan siapa saja guru-guru yang mengajarnya.

 

 

2.    Latar Belakang Pendidikan

Syekh al-Banjari mendapatkan pendidikan dasar keagamaan di desanya sendiri, dari ayahnya dan para guru setempatnya, sebab tidak ada bukti bahwa surau atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah tersebut. Ketika berumur tujuh tahun, disebutkan bahwa beliau telah mampu membaca Alquran secara sempurna. Dia menjadi terkenal karena ini, sehingga mendorong Sultan Tahlillah untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal di istana Sultan. Mencapai usia yang cukup matang untuk berkeluarga, ia dikawinkan oleh sultan dengan seorang perempuan warga istana yang terkenal salehah dan taat dalam beragama yang bernama Bajut,  ketika istrinya mengandung waktu itu usia Syekh al-Banjari sekitar 30 tahun, Sultan memberangkatkannya ke Makkah al Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim disana untuk menuntut ilmu.[5] atas biaya kesultanan. Untuk memberikan kenyamanan kepada Syekh al-Banjari selama belajar di Makkah, Sultan membelikan rumah yang terletak di daerah Syamiah yang dikenal dengan “Berhat Banjar”.[6]

 

3.    Belajar Kepada Para Syech di Mekah

Syekh al-Banjari menuntut ilmu di tanah suci Mekkah dan Madinah selama 30 tahun; dan guru-gurunya di berbagai disiplin ilmu, beliau belajar kepada para ulama yang terkenal, antara lain:

a.       Syekh Athaillah bin Ahmad Al-Mishri Al-Azhar

b.      Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi

c.       Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammany Al-Madany

d.      Syekh Ahmad bin Abdul Mun.im Ad- Damanhury

e.       Syekh Sayyid Abul Faydh Muhammad Murtadha Az-Zabidi

f.       Syekh Hasan bin Ahmad „Akisy Al-Yamani

g.       Syekh Salim bin Abdullah Al-Bashri

h.      Syekh Shiddiq bin Umar Khan

i.        Syekh Abdullah bin Hijazi bin Asy- Syarqawi

j.        Syekh Abdurrahman bin Abdul Azis Al-Maghrabi

k.      Syekh Sayyid Abdurrahman bin Sulayman Al-Ahdal

l.        Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani

m.    Syekh Abdul Ghani Bin Syekh Muhammad Hilal

n.      Syekh.Abid As-Sindi

o.      Syekh Abdul Wahab Ath-Thantawi

p.      Syekh Maulana Sayyid Abdullah Mirghani

q.      Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Jawahir

r.        Syekh Muhammad Zayn Bin Faqih Jalaludin Aceh.[7]

 

Syekh al-Banjari Ketika di Makkah, beliau menguasai keahlian berbagai bidang ilmu agama seperti: ilmu fiqih, ilmu tasawuf, usul fiqih, cabang-cabang bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain, serta ilmu falak (astronomi) dan ilmu umum seperti ilmu politik serta pemerintahan selain belajar Syekh al-Banjari juga mendapatkan kesempatan untuk mengajar di Masjid al-Haram.[8] Syekh al-Banjari belajar sekitar tiga puluh tahun di Mekkah dan lima tahun di Madinah sebelum kembali ke Nusantara. Beberapa tahun sebelum dia kembali diriwayatkan, merasa cukup belajar di Makkah. Ia bersama ketiga sahabatnya bersama dengan Al-Palimbani dan Abd Al Wahhab Al-Bugisi bermaksud untuk melanjutkan belajar ke Mesir. Sebelum ke Mesir, mereka singgah di Madinah dan tinggal di rumah Syekh ‘Abdul Karim Samman, seorang ulama di bidang tasawuf. Di sana mereka memperdalam ilmu tasawuf sehingga Syekh al-Banjari mendapatkan Ijazah dengan kedudukan sebagai khalifah.[9]

Saat itu di Madinah baru saja kedatangan seorang guru besar dari mesir yakni Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi yang mengajar di Masjid Nabawi. Mereka ikut belajar kepada Syekh  al-Kurdi bersama-sama dengan murid-muridnya yang lain. Dalam pandangan Syekh al-Kurdi, Syekh al-Banjari termasuk murid yang cerdas sehingga al-Kurdi memberikan apresiasi kepadanya dengan meminta untuk duduk di tengah bersma-sama dengan Al-Kurdi, sementara murid-murid yang lain duduk mengelilinginya. Kurang lebih lima tahun belajar di Madinah, mereka mohon izin kepada al-Kurdi untuk melanjutkan belajar ke Mesir, sebagaimana niat mereka sebelum tinggal di Madinah. Akan tetapi Syekh al-Kurdi tidak begitu setuju, bahkan menganjurkan supaya mereka kembali saja ketanah air. Al-Kurdi menyatakan bahwa ilmu yang mereka peroleh selama belajar di tanah suci sudah sangat memadai untuk dikembangkan di kampung halaman mereka. Mereka mematuhi anjuran al-Kurdi dan akhirnya mereka kembali ke tanah air, pada tahun 1186 H./ 1772 M.[10]

Menurut Shagir Abdullah,[11] ada beberapa sanad pengajian Syekh al-Banjari:

i.           Sanad Matan Al-Ghayah Wa Al-Thagrib. Dalam sanad kitab ini, Syekh al-Banjari belajar kepada Mufti Sayyid Abd Al-Rahman Ibn Sulaiman Al-Ahdal Al-Zabidi. Kemudian, Abd Al-Rahman Al-Zabidi belajar kepada gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab tersebut Al-Qadi Abu Syuja Ahmad Ibn Husayn Al-Asfahani.

ii.         Sanad Fath Al-Jawad Syekh al-Banjari belajar kepada Sulaiman Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab tersebut, Syekh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hajar Al-Haitami Al-Makki.[12]

iii.       Sanad Manzhumah Al-Rahbiyah. Syekh al-Banjari belajar kepada Sayyid Abi Al-Faid Muhammad Murtadla Ibn Muhammad Al-Zabidi, dan seterusnya, sampai kepada Al-Imam Mauqif Al-Din Muhammad Ibn „Ali Al-Rahbi, pengubah kitab tersebut.

iv.       Sanad Nayl Al-Authar „Ala Muntaqa Al-Akhbar. Syekh al-Banjari berguru kepada Muhammad Al-Zabidi yang berguru kepada pengarangnya yakni Sayyid Muhammad Ibn Ismail Ibn Shalih Ibn Muhammad Yang dikenal dengan Al-Sar.ani.

v.         Sanad Al-Sunan Al-Shugra. Syekh al-Banjari belajar kepada Salim Ibn Abdullah Al-Bashri Al-Makki, dan seterusnya sampai kepada Imam Al-Nasa.i, pengarang kitab tersebut.

vi.       Sanad Sirah Ibn Ishaq. Syekh al-Banjari belajar kepada Muhammad Murtada Al-Zabidi dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab tersebut, Syekh Abu Bakr Muhammad Ibn Ishaq Al- Mutallibi.

vii.     Sanad Al-Nasyr Wa Al-Muqadimmah Al-Ajrumiyah. Syekh al-Banjari belajar kepada Muhammad Murtada Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab tersebut yaitu Syekh Syams Al-Din Abu Al-Khair Muhammad Ibn Muhammad Ibn Al-Jazari.

viii.   Sanad Alfiyyah Al-Haditsiyyah. Syekh al-Banjari berguru kepada Sulaiman Al-Zabidi dan seterusnya sampai kepada pengubahnya yaitu Imam Jalal Al-Din Al-Suyuti.

ix.       Sanad Hasyiyah Syarh Al-Sa.d „Ala Al-„Aqa.id. Syekh al-Banjari berguru kepada Sulaiman Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab, Syekh „Isham Al-Din Ibrahim Ibn Urbasyah Al-Asfarayini.

x.         Sanad Syarh Al-Jauharah. Syekh al-Banjari belajar kepada Sulaiman Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada Syekh Abd Al-Salam Ibn Syekh Ibrahim Al-Laqani.

xi.       Sanad Kitab Al-Tauhid Fi Haqq Allah. Syekh al-Banjari berguru kepada Muhammad Al-Zabidi dan seterusnya sampai kepada Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab Ibn Sulaiman.

xii.     Sanad Al-Mawahib Al-Sunniyah Syarh Al-Faraid Al-Bahiyyah. Syekh al-Banjari belajar kepada Sulaiman Al-Zabidi yang belajar langsung kepada pengarang kitab, Syekh Abdullah Ibn Sulaiman Al-Jarhazi Al-Zabidi.

xiii.   Sanad Kanz Al-Raghibin Syarh Al-Minhaj. Syekh al-Banjari belajar kepada pengarang kitab Syekh Jalal Al-Din Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Al-Mahalli.

xiv.   Sanad Taj Al-„Arusy Syarh Al-Qamus, Syekh al-Banjari belajar langsung kepada pengarang kitab tersebut, Syekh Abu Al-Fayd Muhammad Murtadla Ibn Muhammad Al-Zabidi.

xv.     Sanad Fiqh Al-Luqhah Wa Sirrah Al-„Arabiyyah. Syekh al-Banjari berguru kepada Syekh Al-Hassan Ibn Ahmad „Akisy Al-Yamani, dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab itu, yaitu Al-Imam Abu Mansur Al-Al-Tha.alibi.

xvi.   Sanad Tarikh Makkah. Syekh al-Banjari belajar kepada Sulaiman Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada Al-Imam Abu Walid Muhammad Ibn Abdullah Al-Azraqi.[13]

 

 

 

 

4.      Sahabat-Sahabat Karib Syekh al-Banjari Yang Berasal Dari Tanah Air:

Sahabat-sahabat karibnya yang berasal dari tanah air antara lain:

a.    Al-Allamah Asy-Syeikh Abdussamad Al-Palimbani dari Palembang, Sumatera.

b.    Al-Allamah Asy-Syeikh Abdurrahman Masri Al- Batani, dari Banten, Jawa.

c.    Al-Allamah Asy-Syeikh Abdul Wahab Sadengreng Bunga Wardiyyah, dari Bugis, Sulawesi.

d.    Al-„Allamah Asy-Syeikh Daud Bin Abdullah Al-Fathani, dari Thailand.[14]

5.    Kembali Ke Kampung Halaman

Selesai mempelajari ilmu yang disebutkan di atas beliau pulang ke tanah air bersama kawan-kawan. Pada tahun 1186/1773 Syekh al-Banjari pulang ke Nusantara mereka singgah beberapa lama di pulau penyengat Riau, bahkan Syekh al-Banjari sempat mengajar di sana Setelah itu,  mereka juga singgah di Betawi menjadi tamu ‘Abur Rahman Mashri yang sama-sama pulang dari tanah suci. Selama di Betawi, mereka mengunjungi masjid-masjid yang ada di sana, dan berdasarkan pengetahuannya yang didapat dari tanah suci. Syekh al-Banjari yang pandai di bidang ilmu falak membetulkan arah kiblat beberapa masjid, antara lain masjid Jembatan Lima Jakarta ditulis dalam bahasa Arab, mesjid ini dipalingkan ke kanan 25 derajat oleh beliau, membetulkan arah kiblat Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan.[15] Pada tahun 1892/3 timbulah kehebohan di Banjarmasin karena mesjid Raya tidak tepat arah kiblatnya, menurut Syekh al-Banjari arah kiblat harus diperbaiki.[16]Sekitar dua bulan berada di Betawi, Syekh al-Banjari melanjutkan perjalanannya untuk pulang, dan sampai di Banjar pada bulan Ramadhan 1186 H. Bertepatan dengan bulan Desember 1772 M.[17]

Sultan Banjar yang berkuasa waktu itu, yakni Sultan Tahmidullah (susuhunan Nata Alam) yang naik tahta tahun 1761 M, memberikan sebidang  tanah kepada Syekh al-Banjari, Kawasan itu yang kemudian dikenal dengan nama “ Dalampagar” , dijadikan pusat kegiatan da’wah (semacam pondok pesantren) oleh Syekh al-Banjari,[18] Disitulah Syekh al-Banjari mengajar anak-anak dan santri-santrinya, di samping berda’wah kepada semua lapisan masyarakat, dari kalangan rakyat biasa sampai kalangan bangsawan/ keluarga kerajaan.

Pengembangan Islam yang lebih efektif, Syekh al-Banjari mengajak pihak kerajaan untuk berpartisipasi dalam da’wah melalui jalur birokrasi. Sultan pun menyambut baik saran Syekh al-Banjari, yang kemudian dibentuk dua institusi keagamaan dalam struktur birokrasi kerajaan, yaitu: Lembaga ifta’, suatu lembaga yang bertugas untuk memberikan nasehat dan fatwa kepada Sultan dalam masalah-masalah keagamaan. Lembaga ini diketahui oleh seorang mufti; dan jabatan mufti yang pertama kali ditunjuk di percayakan kepada cucu Syekh al-Banjari yang bernama Muhammad As’ad. Mahkamah Syar’iyyah, suatu lembaga yang bertugas mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah hukum Islam, termasuk didalamnya masalah perdata, pernikahan dan waris. Lembaga ini dipimpin oleh seorang qadhi; dan jabatan qadhi yang pertama dipercayakan kepada cucu Syekh al-Banjari yang bernama Abu Su’ud.[19]

Kesibukannya mengajar dan berdakwah, Syekh al-Banjari juga dengan tekunnya menulis beberapa kitab/ risalah yang jumlahnya lebih dari sepuluh. Karya-karya tulisannya, yang meliputi bidang aqidah, syari’ah dan tasawuf, disusun dalam bahasa melayu dengan tulisan Arab yang lazim dipergunakan pada waktu itu dengan maksud supaya mudah dipahami oleh para santri dan masyarakat. Salah satu karya tulisnya  adalah Sabil al-muhadin,  yang merupakan kitab fiqh ibadah. Kitab inilah yang menjadi objek penelitian dalam disertai ini.

 

6.    Ulama Sejaman dengan Syekh al-Banjari di Kesultanan Banjar

a.    Syeikh Abdul Hamid Abulung (± 1735)

Sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan pada abad XVIII terdapat tiga tokoh yang terkenal di masyarakat, yaitu Syekh al-Banjari, Syeikh Abdul Hamid, dan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Paham tasawuf wahdah al wujud di Kalimantan Selatan diperkenalkan melalui dua tokoh yang sangat berpengaruh, Syeikh Muhammad Nafis Syekh al-Banjari dan Syeikh Abdul Hamid Abulung.[20]

Pemerintahan Sultan Tahlilullah, Syeikh Abdul Hamid muda dan Syekh al-Banjari muda, keduanya sama diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama. Sepulang dari menuntut ilmu di tanah suci, Syeikh Abdul Hamid Abulung mengajarkan ilmu yang didapatkannya dari guru-guru beliau di tanah suci Mekah. Di antara ilmu-ilmu yang diajarkan oleh beliau adalah ilmu tasawwuf yang paling menonjol. Namun ilmu tasawuf yang diajarkannya kepada orang swam sangat berlainan dari pelajaran tasawwuf yang telah dikenal masyarakat selama ini. Beberapa ajaran yang diajarkan Datu Abulung dapat digambarkan sebagai berikut;

 

Tiada yang Maujud hanya Dia

Tiada Maujud lainy-Nya

Tiada aku melainkan Dia

Dia adalah aku. Aku adalah Dia

 

Pelajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit belum sampai kepada isi (hakikat). Pelajaran yang selama ini diyakini masyarakat umum adalah: Tiada yang berhak dan patut disembah hanya Allah Allah adakah khaliq dan selain-Nya adalah makhluk Tiada sekutu bagi-Nya. Ajaran inilah yang dikatakan Datu Abulung hanya kulit, belum sampai kepada isi atau hakikat. Ajaran Datu Abulung itu merupakan hasil dari ajaran Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 H). Husein bin Mansur Al-Hallaj (858 H-922 H), yang  kemudian memasuki Indonesia melalui Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin di Sumatera dan Syeikh Siti Jenar di pulau Jawa.

Kewajiban ulama dan umara dalam melindungi keagamaan rakyat dari unsur-unsur yang membahayakan. Jika tidak dapat dengan jalan damai, maka lebih baik menyingkirkannya, sekalipun dengan kekerasan, karena hal itu merupakan sesuatu yang mungkar. Menolak mafsadah (keburukan) lebih didahulukan daripada mengambil manfaat. Melenyapkan seseorang untuk menyelamatkan orang banyak dibok hkan menurut hukum, malah terkadang wajib.

Berdasarkan keputusan Syekh al-Banjari itulah Datu Abulung ditangkap dan dimasukkan ke dalam sebuah kurungan besi, kemudian direndam di sungai Martapura. Hal ini dilakukan Sultan[21] dalam kerangka menguji kebenaran keyakinan dan kebenaran perjalanan ilmu Syeikh Abdul Hamid Abulung. Di tengah perjalanan menuju istana ketika dia akan ditangkap dipasang perangkap yang apabila terpijak akan melesatlah sebilah tombak tajam yang akan menghujam ke tubuh orang yang menginjak perangkap tersebut. Saat itulah terbukti kebenaran ajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung. Ketika dia menginjak perangkap tersebut, tombak tajam tersebut memang melesat ke udara namun berhenti di udara kemudian jatuh ke tanah tepat di belakang tubuhnya.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa penganut tasawuf sering diposisikan sebagai pihak “tertuduh”. Di Nusantara, belajar dari kasus Aceh, antara kubu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani (1630 M) dengan kubu Nurruddinal- Raniri, mempersentasikan terjadinya pertarungan antara kubu wujudiyah[22] versus kubu tasawuf Sunni.[23] Kasus yang sama terjadi juga di pulau Jawa. Di Jawa terjadi khususnya di wilayah Demak Jawa Tengah, paham wahdah al-wujud dilakukan oleh Syeikh Siti Jenar[24], dan tasawuf Sunni dilakukan oleh Walisongo. Sebagaimana dalam kasus Aceh, penganut wahdah al-wujud di Jawa dituduh sebagai kafir dan penganutnya dihukum mati. Pelarangan dan hukuman mati terhadap penganut wahdah al-wujud di pulau Jawa ini tidak berarti bahwa paham tersebut sudah mati. Pada abad XIX, paham tersebut dihidupkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh Rangga Warsita (1802 M-1873 M), dan dalam tradisi Jawa paham wahdah al-wujud populer dengansebutan Manunggaling Kawula Gusti.[25]

Suruhan yang kedua memanggil, supaya bisa diperintah...” Akhirnya, atas nasihat Syekh al-Banjari, sultan mengambil keputusan untuk menghukum mati Haji Abdul Hamid. Makamnya sekarang masih ada, beberapa kilometer saja dari kampung Dalam Pagar.” Informasi di atas mengindikasikan bahwa ajaran wahdah al-wujud senantiasa dicurigai, karena berbeda dari “mainstream” keagamaan yang dibawakan para ulama dan yang dilegalisasi oleh negara. Yang paling fundamental adalah kehadiran ajaran ini dianggap sebagai pengganggu hegemoni mainstream keagamaan yang sudah “mapan”. Secara politis, kehadiran “wahdah al-wujud” merupakan representasi perlawanan rakyat marginal, meminjam kata-kata Mohamad Sobary; “perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni penguasa yang mendapat dukungan dan legitimasi spiritual dari “dewan wali” sangat berpengaruh.”[26] Di sini tampaknya kepentingan-kepentingan politik dan agama campur aduk menjadi satu dan sukar dipilah secara jelas. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit membedakan mana yang masuk dalam kepentingan politik. Namun yang Bering menjadi “Korban” adalah kelompok-kelompok agama yang berada di luar “mainstream”.

Kritik Syeikh Abdul Hamid Abulung terhadap ajaran formal yang dianut elite politik dan ulama resmi kerajaan Banjar itu jelas terbaca dalam dialog antara Syekh al-Banjari, Abdul Hamid dan elite politik dan ulama kerajaan Banjar ketika Abdul Hamid ditangkap dan menjalani hukuman mati. Paham ini secara sosiologis bagi masyarakat Banjar yang berada di daerah pedalaman bisa beradaptasi dengan situasi teologis yang lebih banyak dipengaruhi paham animisme. Apalagi jika dilihat secara geografis daerah penyebaran Islam dalam misi dakwahnya Syeikh Abdul Hamid banyak di daerah pedalaman, seperti daerah Kelua sebagai pusat dakwah Syeikh Abdul Hamid dan sekitar daerah Banua Lima.

Secara pelan kondisi ini mempengaruhi situasi politik kerajaan yang membutuhkan suatu legitimasi masyarakat Banjar secara luas. Kekhawatiran para elite kerajaan Banjar terhadap situasi yang berkembang di masyarakat akan ajaran yang disebarkan oleh Syeikh Abdul Hamid Abulung yang tidak sesuai misi politik kerajaan Banjar memberikan dampak negatif terhadap stabilitas kerajaan di kemudian hari. Dengan demikian diperlukan tindakan pencegahan lebih awal agar situasi tersebut dapat dikendalikan. Hal ini dikarenakan kecenderungan sikap dan ajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung yang lebih mengutamakan kesederhanaan dalam hidup sehari-hari daripada bangsawan kerajaan Banjar yang cenderung berperilaku hidup mewah, kelak akan menjadi bumerang dan persoalan sosial tersendiri.

Disisi lain, Syekh al-Banjari juga berkepentingan agar pendekatan dan strategi dakwah yang dilaksanakannya melalui birokrasi kerajaan Banjar dapat berjalan dengan baik dan mulus. Situasi yang krusial ini tentunya menjadi penting untuk cepat diselesaikan. Namun akibat masing-masing pihak mempunyai prinsip yang tidak bisa dipertemukan, mengakibatkan korban di kalangan mereka yang tidak mempunyai kekuasaan politik.

b.    Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari  (Wafat 1812 M)

Ulama lain yang juga mempunyai nuansa tersendiri dalam hubungannya dengan kerajaan Banjar adalah Muhammad Nafis al-Banjari. Dirinya juga merupakan penganut paham wahdah al-wujud sebagaimana Abdul Hamid. Namun ia tidak dianggap radikal sebagaimana Abdul Hamid. Dalam kitab al-Durral-Nafif[27] tampak bahwa Muhammad Nafis  sangat kuat terhadap paham wahdah al-wujud.[28] Tetapi nasib Nafis  tidak setragis nasib Abdul Hamid. Ajarannya tidak “bermasalah” seperti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dengan ini maka Nafis al-Banjari mempunyai peluang untuk menyebarluaskan ajaran dan bertahan sampai saat itu. Indikasi bahwa Nafis al-Banjari berpaham wahdah alwujud dapat dilihat dari penjelasannya yang termaktub dalam kitab al-Durr al- Nafis:

Kaifiat mengesakan Allah Ta’ala pada segala asma-Nya itu yaitu seperti bahwa engkau pandang dengan mata-mata kepalamu dan engkau syahid dengan mata hatimu bahwasanya segala itu sekalian kembali ia kepada asma Allah Ta'ala yakni segala yang bernama di dalam alam ini sekaliannya mazhar asma itu is akan wujud musama maka tiada yang maujud itu pada hakikatnya Allah ta'ala jua dan wujud segala alam ini hanya khayal dan waham jua dengan nisbah kepada wujud Allah Ta’ala maka sebab itulah kembali segala asma itu kepada yang maujud yaitu Allah Ta’ala Swt. Dan wujud Allah itu qadim ia segala asma dan zhahir is dengan dia itu satu jua yakni bahwasanya segala sesesuatu (asyyia) itu kezahiran dan kenyataan bagi zat yang satu jua yang zahir dengan segala seseuatu (asyyia) itu satu jua.[29]

Sebagaimana diketahui, ajaran Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari terkait dengan praktek hidup sufi sebagai nodel kehidupan pemeluk Islam baik dalam berhubungan (menyembah) Tuhan ataupun dalam kerangka hubungan osial kemasyarakatan. Termasuk dalam hubungan sosial itu berbagai masalah kehidupan. Ajaran tasawuf Syeikh Nafis masih berkembang di Kalimantan Selatan dan Tengah, bahkan sampai ke manca negara yakni Malaysia, Brunei, dan Singapura politik dan juga ekonomi. Praktek hidup sufi itu sendiri memiliki sejarah panjang, bahkan pada masa semenjak Muhammad SAW.[30]

Syeikh Muhammad Nafis dapat dikaji secara proporsional. Harus disadari pula  bahwa peralihan kekuasaan dan budaya yang terjadi secara mendadak harus menyesuaikan diri dengan sistem keagamaan dan kekuasaan Islam di bawah pemerintahan Sultan Suriansyah. Hal ini akan menimbulkan kejutan dan hentakan budaya serta hentakan kesadaran sosial, politik dan ekonomi yang tidak mudah bagi seseorang untuk mengambil posisi yang tepat dalam percaturan tersebut.

Hubungan itulah kajian terhadap pemikiran dan ajaran Syeikh Muhammad Nafis menjadi relevan. Hal ini menjadi semakin strategis di tengah pertumbuhan bangsa yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Tanpa sikap lebih jernih, setiap pemikiran dan ajaran hidup sufi akan selalu terperangkap dalam posisi oposisi yang semakin lama semakin keras. Terjadilah kekerasan spiritual atas nama praktek hidup sufi yang aslinya merupakan pola hidup penuh dengan kesantunan.

Sebagaimana telah dikemukakan, praktek hidup sufi yang terus berkembang melahirkan berbagai pemikiran, ajaran serta pemahaman yang satu dengan lainnya paling berbeda bahkan bertentangan. Demikian pula ajaran wahdatul wujud Syeikh Muhammad Nafis juga tidak sedikit mengundang reaksi cukup keras. Kelompok yang melakukan reaksi keras itu terutama kaum ahli syari'ah atau ahli fiqih.

Lebih lanjut, cara melihat ajaran Syeikh Abdul Hamid dan Muhammad Nafis tersebut di atas dapat dipergunakan juga untuk melihat berbagai ajaran keagamaan yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut juga berguna untuk mengkaji tradisi yang berkembang pada masyarakat. Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap kebiasaan dan tradisi yang dilakukan atau dianut seseorang memiliki dasar konseptual kefilsafatan. Namun seseorang yang menganut suatu ajaran atau hidup dalam sebuah tradisi belum tentu menyadari dasar konseptual kefilsafatan dari tindakan yang mereka lakukan atau ajaran yang mereka anut serta tradisi di mana mereka hidup.

Situasi tersebut kemudian mengakibatkan ajaran para sufi seperti ajaran Syeikh Abdul Hamid dan Muhammad Nafis dianggap menyimpang. Dakwah kemudian menjadifigihisme. Dalam bentuk kehidupan sosial, Islam berubah menjadi ajaran sempit yang selalu ketinggalan dan tidak dapat menyesuaikan perkembangan kehidupan masyarakat. Akibatnya, Islam dalam anti ajaran yang hidup dalam masyarakat pemeluknya menjadi kehilangan fungsi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pemeluknya tersebut.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ajaran Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari merupakan ajaran yang tidak memperoleh tempat di kalangan istana kerajaan Banjar, namun menjadi berubah bersama surutnya peran ulama. Disatu sisi ajaran yang lebih formal seperti dalam tradisi fiqih merupakan fenomena umum kepenganutan Islam di kalangan istana, berbeda dengan fenomena keberagamaan rakyat yang lebih apresiatif terhadap ajaran tasawuf seperti yang berkembang di lingkungan Syeikh Muhammad Nafis. Dari sini muncul opisisi keberagamaan rakyat atas keberagamaan elite yang terus mewarnai gerakan dan politik Islam di Nusantara. Namun, hal ini juga menunjukkan pergolakan pemikiran dan sosial politik- ekonomi Islam antara elite dan rakyat pada tahapan proses perubahan kekuasaan kerajaan.

 

7.    Karya-Karya Tulis Syekh al-Banjari

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa di dalam kesibukannya mengajar dan berda’wah, Syekh al-Banjari juga menulis beberapa kitab, antara lain sebagai berikut:

a.         Ushul ad-Din. Kitab ini ditulis oleh Syekh al-Banjari pada tahun 1188H./ 1774 M dengan mengunakan bahasa Arab Jawi dua. Risalah ini merupakan pengetahuan dasar yang harus diketahui oleh kaum muslimin dan disusun untuk kepentingan dakwah, yaitu untuk memberikan pengetahuan dasar tentang pengenalan dasar terhadap Allah kepada masyarakat, semacam sifat dua puluh yang belum pernah diterbitkan dan naskahnya tidak ditemukan. Kemungkinan isinya sudah dimasukan dalam kitab Parukunan.

b.        Tuhfat ar-Raghibin fi Bayani Haqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma yufsiduh min Riddat al-Murtaddin. Kitab ini ditulis oleh Syekh al-Banjari pada tahun 1188H./1774M (bersamaan tahunnya dengan penulisan kitab Ushul ad-Din) dan pernah diterbitkan di mesir pada tahun 1353 H. Kedua risalah ini memang berbeda sasarannya meskipun sama-sama di bidang ilmu tauhid Kitab ini berisi penjelasan tentang hakikat iman, hal-hal yang merusak iman, tanda-tanda jatuhnya seseorang menjadi murtad dan masalah hukumnya. Kitab ini di tulis dengan tujuan untuk menhapus kebiasaan-kebiasaan yang menjadikan seseorang tergelincir ke arah syirik dan murtad, dan untuk menegakkan aqidah yang sesuai dengan faham ahl as-sunnah wa al-jama’ah. Kalau ushuludin bertujuan untuk memberikan dasar keimanan kepada Allah bagi masyarakat pada umumnya, sedang risalah ini untuk menjelaskan hakikat iman dan hal-hal yang bisa merusakkannya, yang tampaknya lebih banyak ditunjukan kepada kalangan raja-raja dan para ulama untuk menegakkan akidah yang benar menurut Ahlusunnah Waljama.ah dan memurnikan akidah umat. Risalah terdiri atas tiga pasal ditambah dengan pendahuluan dan penutup. Ketiga pasal itu ialah: pertama tentang hakekat iman; kedua, tentang apa-apa yang merusakkan iman; dan ketiga, tentang syarat-syarat jatuhnya murtad dan masalah hukumnya.

c.         Kitab al-Fara’idh. Naskah kitab ini tidak pernah dicetak, bahkan naskah aslinya pun tidak ada lagi. Menurut cerita orang-orang tua di Kalimantan Selatan Syekh al-Banjari pernah menulis kitab Al-Faraid yang membahas tentang masalah harta warisan dan cara pembagiannya tentang hukum waris yang cocok dengan situasi daerah Kalimantan Selatan, yaitu tentang harta yang diperoleh suami isteri dalam masa hidupnya yang disebutnya harta perpantangan di dalam kitab ini terdapat konsep Syekh al-Banjari yang menyatakan bahwa harta yang diperoleh suami istri semasa hidupnya, yang disebut “Harta Perpantangan”; apabila salah seorang di antaranya meninggal dunia, maka harta peninggalannya harus dibagi dua terlebih dahulu, separo hak suami dan separonya lagi merupakan hak istri. Kemudian yang separo (yang merupakan hak bagi suami atau istri yang meninggal) itulah yang dibagi menurut hukum fara’idh. Meskipun naskah kitab ini tidak pernah diterbitkan, namun pemikiran Syekh al-Banjari yang seperti itu masih mewarnai kehidupan masyarakat Banjar.

d.        Kitab an-Nikah. Kitab yang menerangkan hukum nikah, pengertian dan macam-macam wali, saksi nikah, ijab qabul, kufu, khulu’ thalak dan hal-hal lain yang berkaitan dengan nikah ini, menurut catatan zuriatnya, Syekh al-Banjari pernah menulis kitab yang membahas tentang masalah “wali” dalam pernikahan dan penerapan akad nikah yang diajarkan Rasulullah dalam tata cara perkawinan yang benar menurut ajaran ajaran Islam, agar bisa diperoleh keluarga yang bersih dan suci dalam perkawinan.  Kitab an-Nikah pernah diterbitkan di istanbul pada tahun 1304. Naskah aslinya yang berbentuk manuskrip masih ada pada salah seorang keturunan Syekh al-Banjari , dan pada tahun 1418H./ 1997M. Dicetak ulang oleh yayasan pendidikan Islam Dalam pagar (YAPIDA), Martapura; dengan diberi penjelasan secukupnya (dalam catatan kaki:) oleh pengurus YAPIDA.

e.         Kitab Luqthat al-Ajlan. Judul lengkap kitab ini adalah Luqthat al-Ajlan fi Bayan Haidh waIstihadhat wa Nifas an-Niswan. risalah ini ditulis Syekh al-Banjari pada tahun 1192 H (1778 M) untuk kepentingan dakwahnya dikalangan wanita. Sesuai dengan judulnya, kitab ini membahas masalah yang berkaitan dengan haidh (menstruasi) yang dihadapi kaum wanita setiap bulan,  istihadhah, mustahadhah dan macam-macamnya, naqa’, fatrah dan nifas., dalam kaitannya dengan keabsahan ibadah mereka dan hubungan suami isteri.  Kitab ini dicetak pada tahun 1992 M, setelah ditransliterasi ke huruf latin dan bahasa Indonesia dengan menyertakan salinan naskah aslinya oleh suatu tim yang terdiri dari generasi keenam, sedangkan naskah aslinya (dalam bentuk manuskrip) disimpan oleh salah seorang keturunan Syekh al-Banjari.[31]

f.         Kitab Al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahd al- Munthazar. Meskipun dari judulnya risalah ini hanya menjelaskan secara ringkas tentang ciri-ciri Imam Mahdi, namun isinya lebih banyak menjelaskan tentang alamat-alamat atau tanda-tanda akan tibanya hari kiamat, yang merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini umat Islam. Risalah ini terdiri dari 11 pasal dan risalah berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kitab Al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahd al- Munthazar dan bersama-sama dengan kitab Syajarat Al- Arsyadiyyah karya Syekh Abdurrahman Siddik, cicit Syekh al-Banjari pernah dicetak oleh Maktab al-Ahmadiyah Singapura pada tahun 1356 H./1937 M. Salinan naskah aslinya (dalam bentuk  manuskrip) disimpan oleh salah seorang keturunan Syekh al-Banjari di Dalam Pagar

g.             Kanz al-Ma’rifah. Kitab yang ditulis sendiri oleh Syekh al-Banjari  yang berisi tentang ilmu tasawuf khususnya ilmu tarekat. Kitab ini menjelaskan pula mengenai hakekat mengenal diri untuk ma’rifat kepada Allah. Kitab ini ditulis dengan huruf melayu (pegon) dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan tangan dengan menggunakan tinta hitam dan penomorannya memakai angka arab dan 6 halaman. Kapan dimulai penulisan kitab itu tidak mau diketahui, yang jelas kitab Kanz Al-Makrifah yang asli sudah rusak, kitab yang ada sekarang ini hasil suntingan dari cucu keturunan Syekh al-Banjari. Naskah ini belum pernah dicetak, dan salinan naskah aslinya disimpan di Dalam Pagar.

h.             Ilmu falaq. Naskah yang ditulis dalam Bahasa Arab ini menerangkan tentang cara menghitung waktu shalat, awal bulan qamariyah, terjadinya gerhana matahari dan bulan. Naskah aslinya yang ditulis oleh anak Syekh al-Banjari sendiri dalam bentuk manuskrip masih tersimpan di Dalam Pagar; dan naskah ini belum pernah dicetak/diterbitkan.

i.               Fatawa Sulaiman Al-Kurdi. Risalah ini berisi tentang fatwa-fatwa Syekh Muhammad bin Sulaiman al-kurdi dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan Syekh al-Banjari kepada beliau tentang tindakan Sultan yang memungut pajak dan hukuman denda bagi pelanggar hukum seperti orang yang meninggalkan shalat jum’ah dengan sengaja, dan berbagai masalah penting lainnya. Naskah ini ditulis dalam Bahasa Arab dan naskah asli yang ditulis oleh Syekh al-Banjari itu masih ada, namun sampai saat ini belum pernah diterbitkan.[32]

j.               Mushhaf al-Qur’an al-Karim. Pada tahun 1779 M., Syekh al-Banjari menulis Mushhaf Al-Qur’an  yang dilengkapi dengan qira’at Ibn Katsir dan Wahsy  di tepinya. Mushhaf ini ditulis dalam tiga jilid yang masing-masing jilid berisi 10 juz[33] dengan tulisan yang sangat indah, yang bisa disaksikan di kubah tempat dia makamkan di Kalampayan hingga sekarang ini dalam mushhaf Syekh al-Banjari ini tampak adanya kombinasi antara budaya Islam dan ciri-ciri kekhasan daerah Banjar (terutama lukisan pada setiap awal surah). ini menunjukan tingginya budaya seni yang dimilikinya.[34]

k.             Kitab Fath Al-Rahman, risalah ini sebenarnya adalah karya Syekh Al- Islam Zakariya Al-Anshari berjudul: Fath Al-Rahman Bi Syarh Risalat Al- Waliy Al-Raslan, yaitu komentar terhadap sebuah risalah tentang ilmu tauhid yang ditulis oleh Raslan Al-Dimasyqi. Syekh al-Banjari menterjemahkan risalah tersebut ke dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab yang ditulis miring di bawah teks aslinya.

l.               Kitab Hasyiyah Fath Al-Jawad adalah sebuah kitab fiqih karya Imam Ibnu Hajar Al-Haytami, yang banyak sekali mempengaruhi pendapat Syekh al-Banjari di bidang fiqih. Menurut catatan zuriatnya, Syekh al-Banjari pernah membuat komentar-komentar terhadap kitab tersebut dalam sebuah karyanya berjudul: Hasyiyah Fath Al-Jawad. Menurut seorang informan, kitab ini tertulis dalam bahasa Melayu huruf Arab, sebagaimana kitab atau risalah Syekh al-Banjari yang lain. Kitab Ibnu Hajar Al- Haytami, yang dikomentari ini, memang termasuk kitab yang sulit dipahami. Justru itu wajarlah kalau Syekh al-Banjari membuat komentar-komentar terhadap kitab karya orang yang sangat dihormati pendapat ini, agar bisa dipahami dengan mudah oleh para muridnya.

m.           Kitab Sabil al-Muhtadin li  at-Tafaqquh fiAmr ad-Din. karya Syekh al-Banjari yang terbesar merupakan figh melayu yang sangat terkenal di Nusantara, Malaysia, Thailand dan kamboja; dan merupakan hasil karya Syekh al-Banjari yang monumental. Kitab ini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan besar di dunia Islam, seperti di Makkah, Mesir, Turki dan Beirut dan terkenal hanya dengan sebutan Sabilal Muhtadin.[35] Kitab ini selesai ditulisnya pada tanggal 27 Rabiul Akhir 1195 (22 April 1781 M) atas permintaaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. Kitab Sabilal Muhtadin dicetak dalam dua jilid hampir semuanya berisi tentang masalah ibadah. Jilid pertama diawali dengan Muqaddimah kemudian mengemukakan tentang masalah thaharah dengan segala masalahnya, najis dan cara membersihkannya, bab wudu, mandi, tayamum dan salat yang memuat tentang waktu salat, orang yang wajib salat dan azan. Kemudian dilanjutkan dengan jilid dua berisi tentang salat musafir, salat jamaah, salat khauf, shalat dua hari raya, salat gerhana, salat minta hujan, penyelenggaraan mayit, zakat uang, zakat tambang, rikaz dan perdagangan dan zakat fitrah. Kemudian dilanjutkan dengan masalah puasa, itikaf, haji dan umrah, binatang kurban, binatang buruan dan sembelihan dan bab tentang makanan. Pada bagian akhir dicantumkan tashih dari Ahmad bin Muhammad Zaini Al Qaththani.[36] Syekh al-Banjari menulis Sabilal Muhtadin untuk memenuhi dua kebutuhan: yaitu kebutuhan kebutuhan kultural dan kebutuhan struktural. Kebutuhan kultural, karena Syekh al-Banjari melihat adanya kekosongan kitab fiqih yang berbahasa melayu di tanah air sedangkan kebutuhan struktural, adanya permintaan dari sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah kepada Syekh al-Banjari untuk menulis kitab fiqh berbahasa Melayu.

Melestarikan karya-karya tulis Syekh al-Banjari yang berbentuk manuskrip, atas usaha salah seorang keturunan dari generasi keenam dengan dibantu oleh pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, semua manuskrip yang ada telah diawetkan dan dilaminasi.[37]

 

 

 

8.    Wafatnya

Syekh al-Banjari wafat pada tanggal 6 syawal 1227 H./13 Oktober 1812 dalam usia 105 tahun menurut hitungan tahun Hijriyah atau 102 menurut hitungan tahun Masehi.[38] Ia wafat dengan meninggalkan keturunan yang cukup banyak, karena di waktu hidupnya, ia mempunyai tujuh orang istri.

Data tentang istri dan keturunan Syekh al-Banjari ini pertama kali dicatat dan di bukukan oleh seorang keturunannya yang bernama H. Abdur Rahman Shiddiq (1360 H), yang pernah menjadi mufti pada kerajaan Indragiri Sapat (Riau), melalui bukunya yang berjudul “Syajaratul Arsyadiyah”[39] penelusuran dan pendataan keturunan Syekh al-Banjari ini dilanjutkan oleh Abu Daudi, yang juga salah seorang keturunan Syekh al-Banjari, sehingga terhimpunlah nama-nama hampir semua keturunan Syekh al-Banjari sampai sekarang, yang jumlahnya ribuan dalam bukunya.

Data-data yang ada, banyak di antara anak cucu dan keturunan Syekh al-Banjari yang melanjutkan kegiatan da’wah dan menjadi ulama’ terkenal, tidak hanya di Kalimantan saja tetapi juga luar Kalimantan seperti di Jawa dan Riau bahkan pada yang di luar negri Makkah al-Mukarramah, Malaysia, Brunei dan Philipina.[40]

 

 

 



[1]Untuk biografi lengkap riyawat hidup Muhammad Arsyad al-Banjari dapat dibaca juga dalam bukunya Darliansyah Hasdi,Fatwa-Fatwa Spisifik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Penerbit, Antasari Press Banjarmasin, 2009. Baca juga Muslich Sabir,“Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Tentang Zakat dalam Kitab Sabîl Al-Muhtadîn: Analisis Intertekstual. Nuansa Mulia, Bandung, 2005., lihat, Zamzam, Syekh Muhammmad Arsyad. Jusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan : Syech Muhammad Arsyad al-Banjari, (Martapura : Yayasan al-Banjari, 1968). Tamar Djaja, Sjech M. Arsyad, dalam Puistaka Indoensia. (Djakarta : Bulan Bintang, 1965) Shagir Abdullah, Syekh Muh. Arsyad al Banjari, Matahari Islam, (Pontianak : al Fathanah, 1983). Abu Daudi, Maulana Sekh Moh. Arsyad SYAB Pelopor Dakwah Islam di Kalimantan Selatan, “Mimbar Ulama”, (Vol 6, 1976), hlm.69-79. Ahmad Suriadi, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Dalam Dinamika Politik Kerajaan Banjar Abab XIX. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan penerbitan LP2M IAIN Antasari, Banjarmasin.

[2]Abu Daudi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Dalam pagar: npb., hal.2-3, 1991

[3]H. W. Muhd. Shaghir Abdullah, Syeikh Muhd. Arsyad al-Banjari, Matahari Islam, (Mempawah: pondok al-Fathonah, hal. 6, 1982

[4]Yusuf  Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227 H./1710-1812 M.), (Banjarmasin: Aulia, hal. 21-22,1980.               

[5]Yusuf  Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227 H./1710-1812 M., h. 26-27. Lihat juga, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, (Bandung Anggota Ikapi, hal. 252, 2008

[6]Abu Daudi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, 199, h. 4.

[7]Tim sahabat, op. cit., h. 40-41

[8]H.A. Gazali Usman,  h. 156; lihat pula: Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Dalam pagar Martapura: Sekretariat Madrasah “Sulalamul Ulum”, hal. 25-27, 1996

[9]H.A. Gazali Usman,  h. 146.

[10]Yusuf Halidi,  h. 30-33.

[11]H. W. Muhd. Shaghir Abdullah, Syeikh Muhd. Arsyad al-Banjari, Matahari Islam, (Mempawah: pondok al-Fathonah, 1982

[12]Kitab Hasyiyah Fath Al-Jawad adalah sebuah kitab fiqih karya Imam Ibnu Hajar Al-Haytami, yang banyak sekali mempengaruhi pendapat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary di bidang fiqih. Menurut catatan zuriatnya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary pernah membuat komentar-komentar terhadap kitab tersebut dalam sebuah karyanya berjudul: Hasyiyah Fath Al-Jawad. Menurut seorang informan, kitab ini tertulis dalam bahasa Melayu huruf Arab, sebagaimana kitab atau risalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary yang lain. Kitab Ibnu Hajar Al- Haytami, yang dikomentari ini, memang termasuk kitab yang sulit dipahami. Justru itu wajarlah kalau Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary membuat komentar-komentar terhadap kitab karya orang yang sangat dihormati pendapat ini, agar bisa dipahami dengan mudah oleh para muridnya.

 

[13]Khairil Anwar, Teologi Al-Banjary, (Bandung: Global House, hal. 48-49, 2009)

[14]Pustaka Basma, 3 Permata Ulama dari Tanah Banjar, (Malang: Pustaka Basma, hal. 17, 2012

[15]Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 34-35; Yusuf Halidi, h. 33-3.

[16]Karel A. Steenbrink, Beberapa Asfek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, hal. 92-93, 1984

[17]Abu Daudi,  h. 38.

[18]Ibid., h. 41-42; Yusuf Halidi, h. 37.

[19]Abu Daudi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 8-9; Saifuddin zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya Di Indonesia, (Bandung: PT Alma’arif, hal. 408, 1981, Cet. Ke-3

[20]Zafri Zamzam, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Banjarmasin: t.p.,1979), hlm. 13

[21]Berdasarkan dialog  dengan tetuha Kampung Melayu Martapura tentang Syeikh Abdul Hamid pada tanggal 01 April 2017.

[22]Terminologi wujudiyah, sebutan bagi penganut paham wahdah al-wujud yang diperkenalkan Ibnu ‘Arabi (560-638 H/ l 165-1240M). Nurruddin al-Raniri lebih suka memakai term “wujudiyah” untuk menyebut kubu Hamzah Fansuri dan para pengikutnya. Lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurruddin al-Raniri, (Jakarta: Rajawali Press, 1983). Dalam Fat al-Mubin ‘ala Mulhidin, al-Raniri menuduh Hamzah Fansuri sebagai mulhid lagi zindiq.LihatTudjimah, Asrar al Ihsanfi Ma‘rifa al-Ruh wa al-Rahman, (Jakarta: 1961), hlm. 21

[23]J.Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam, London, (Oxford: University Press, 1973), blur. 3. Menyebutkan bahwa tasawuf Sunni sebagai “ethical mysticism”ajaran tasawuf ini didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah Sebagaimana dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan tabi’in.

[24]Pembahasan secara lengkap mengenai Syeikh Siti Jenar dapat dibaca dalam Abdul Munir Mulkhan, Syeikh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa, (Yogyakarta: Bentang, 2000); Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung: Mizan, 1995), him. 46

[25]Lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wind Hidayat Jati, (Jakarta: UIP, 1988). Dan Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Bentang, 1996), h lm. 181-246

[26]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 95; Martin van Bruinessen, TarekatNaqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 202-205

[27]Lihat Syeikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjari, al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-af al wa al-asma wa al-Shifat wa al-zat al-Tagdis, (Singapore: al-Harmain, t.t.). kitab ini setebal 40 halaman dengan menggunakan bahasa Melayu-Banjar dengan huruf Arab pegon

[28]Lihat Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Syeikh Muhammad Nafis al- Banjari dan Pendapat Ulama di Kabupaten Hulu Sungai Utara, tesis S2 Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 1410 H/1990M). Dan H.M. Laily Mansur, Kitab ad Durrun Nafis: Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, (Banjarmasin: Hasanu, 1982).

[29]Syeikh Muhammad Nafis, Op. Cit., hlm. 8

[30]Lihat Safirodin Halimi, Spritualitas Muhammad S.A.W.: Pengalaman Sufistik dalam Tinjauan Ontologis dan Psikologis, (Semarang: Tesis S2 pada Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2004), hlm. 75. Lihat juga, Sulaiman, Wahdah al-Wujud di Kotawaringin, dalam tesis S2 Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.

 

[31]Fathullah Munadi, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary dalam Konteks Kajian Alquran di Nusantara, (Yogyakarta: Antasari Press, hal. 58, 2011

[32]Tim Pustaka Basma, op. cit., h. 22

[33]Mushaf Alquran Al-Karim dilengkapi dengan Qiraah Ibnu Katsir. Terdiri dari tiga jilid yang masing-masing terdiri dari 19 Juz. Ada juga yang menemukan 10 juz saja

[34]Tim Pustaka Basma, op. cit., h. 24

[35]H.W. Muhd. Shaghir Abdullah, op. Cit., h. 47.

[36]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), h. 30-31

[37]Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 50-57.

[38]Yusuf Halidi, op. Cit., h. 44.; Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 248.

[39]Abu Daudi, dalam kata pengantar Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

[40]Abu Daudi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 250-252; H.A. Gazali Usman.

Tidak ada komentar: