Abd. Rochim Al Audah
1.
Riwayat
Hidup
Syekh Muhammad
Arsyad bin Abdullah selanjutna disebut Syekh
al-Banjari sangat terkenal di masyarakat Banjar dan bahkan di kalangan ulama
nama ini tidak asing. Ia dilahirkan di desa Lok Gobang dekat desa Kalampayan
Martapura Kalimantan Selatan pada hari Kamis tanggal 15 Shafar 1122 H (1710 M)
dari pasangan Abdullah dan Aminah. Menurut salah satu akun, Abdullah adalah
cucu dari muballigh yang berasal dari Maghreb ke Filipina dan mendirikan
kerajaan Islam di Mindanao (dikatakan bahwa kata "Mindanao" berasal
dari kata min indina yang berarti dari kelompok kami), bernama Sayyid Abdullah.[1]
Sewaktu salah
seorang putranya, yang bernama Abdur Rasyid, bermaksud pergi ke Mekkah dengan
menumpang perahu, perahu tersebut diserang badai yang mengakibatkan terbawa ke
muara Banjar. Ia lalu naik ke darat, menyamar sebagai orang biasa; kemudian ia
nikah dengan perempuan Banjar dan melahirkan beberapa orang anak, di antaranya
Abu Bakar.[2]
Abu Bakar inilah yang mempunyai anak Abdullah yang kemudian nikah dengan Aminah
dan melahirkan lima orang anak yang diberi nama: Arsyad, Abidin, Zainal Abidin,
Nurmein dan Nurul Amin. Dengan demikian Syekh al-Banjari merupakan anak yang
tertua dari lima bersaudara.[3]
Keluarga inilah Syekh al-Banjari pertama kali memperoleh pendidikannya sampai
usia delapan tahun. Dikala usia yang masih kanak-kanak itu, sudah tampak
ketinggian intelegensinya di mata orang tua dan masyarakat sekitarnya. Sultan
Tahlilillah, yang berkuasa di Banjar waktu itu, bertemu dengan Syekh al-Banjari
dan tertarik oleh kecerdasan anak tersebut terutama dalam kemampuannya melukis
keindahan alam yang mengagumkan. Kemudian Sultan meminta kepada kedua keraton.
Permintaan Sultan pun dipenuhi oleh kedua orang tuanya demi kepentingan dan
kebahagiaan anaknya di kemudian hari. Sejak saat itu, di usia yang baru delapan
tahun, ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya dan tinggal di keraton.[4]
Di dalam keraton, ia diperlakukan sebagai anak kandung oleh Sultan, dididik
bersama- sama dengan anak-anak sultan yang lain untuk belajar mengaji Al Qur’an dan beberapa cabang ilmu
pengetahuan agama lainnya. Lebih dari itu, Sultan pun berjanji akan
menugasbelajarkannya ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Bila sudah dewasa
kelak. Tidak ada data tentang ilmu apa saja yang diperoleh Syekh al-Banjari dalam
lingkungan keraton itu dan siapa saja guru-guru yang mengajarnya.
2.
Latar Belakang Pendidikan
Syekh al-Banjari mendapatkan pendidikan dasar keagamaan di desanya
sendiri, dari ayahnya dan para guru setempatnya, sebab tidak ada bukti bahwa
surau atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah tersebut. Ketika
berumur tujuh tahun, disebutkan bahwa beliau telah mampu membaca Alquran secara
sempurna. Dia menjadi terkenal karena ini, sehingga mendorong Sultan Tahlillah
untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal di istana Sultan. Mencapai usia
yang cukup matang untuk berkeluarga, ia dikawinkan oleh sultan dengan seorang
perempuan warga istana yang terkenal salehah dan taat dalam beragama yang
bernama Bajut, ketika istrinya
mengandung waktu itu usia Syekh al-Banjari sekitar 30 tahun, Sultan
memberangkatkannya ke Makkah al Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus
bermukim disana untuk menuntut ilmu.[5]
atas biaya kesultanan. Untuk memberikan kenyamanan kepada Syekh al-Banjari selama
belajar di Makkah, Sultan membelikan rumah yang terletak di daerah Syamiah yang
dikenal dengan “Berhat Banjar”.[6]
3.
Belajar
Kepada Para Syech di Mekah
Syekh al-Banjari menuntut ilmu di tanah suci Mekkah dan Madinah
selama 30 tahun; dan guru-gurunya di berbagai disiplin ilmu, beliau belajar
kepada para ulama yang terkenal, antara lain:
a.
Syekh
Athaillah bin Ahmad Al-Mishri Al-Azhar
b.
Syekh
Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi
c.
Syekh
Muhammad bin Abdul Karim As-Sammany Al-Madany
d.
Syekh
Ahmad bin Abdul Mun.im Ad- Damanhury
e.
Syekh
Sayyid Abul Faydh Muhammad Murtadha Az-Zabidi
f.
Syekh
Hasan bin Ahmad „Akisy Al-Yamani
g.
Syekh
Salim bin Abdullah Al-Bashri
h.
Syekh
Shiddiq bin Umar Khan
i.
Syekh
Abdullah bin Hijazi bin Asy- Syarqawi
j.
Syekh
Abdurrahman bin Abdul Azis Al-Maghrabi
k.
Syekh
Sayyid Abdurrahman bin Sulayman Al-Ahdal
l.
Syekh
Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani
m.
Syekh
Abdul Ghani Bin Syekh Muhammad Hilal
n.
Syekh.Abid
As-Sindi
o.
Syekh
Abdul Wahab Ath-Thantawi
p.
Syekh
Maulana Sayyid Abdullah Mirghani
q.
Syekh
Muhammad bin Ahmad Al-Jawahir
r.
Syekh
Muhammad Zayn Bin Faqih Jalaludin Aceh.[7]
Syekh
al-Banjari Ketika di Makkah, beliau menguasai keahlian berbagai bidang ilmu agama
seperti: ilmu fiqih, ilmu tasawuf, usul fiqih, cabang-cabang bahasa Arab
seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain, serta ilmu falak
(astronomi) dan ilmu umum seperti ilmu politik serta pemerintahan selain
belajar Syekh al-Banjari juga mendapatkan kesempatan untuk mengajar di Masjid
al-Haram.[8] Syekh
al-Banjari belajar sekitar tiga puluh tahun di Mekkah dan lima tahun di Madinah
sebelum kembali ke Nusantara. Beberapa tahun sebelum dia kembali diriwayatkan,
merasa cukup belajar di Makkah. Ia bersama ketiga sahabatnya bersama dengan
Al-Palimbani dan Abd Al Wahhab Al-Bugisi bermaksud untuk melanjutkan belajar ke
Mesir. Sebelum ke Mesir, mereka singgah di Madinah dan tinggal di rumah Syekh
‘Abdul Karim Samman, seorang ulama di bidang tasawuf. Di sana mereka
memperdalam ilmu tasawuf sehingga Syekh al-Banjari mendapatkan Ijazah dengan
kedudukan sebagai khalifah.[9]
Saat itu di
Madinah baru saja kedatangan seorang guru besar dari mesir yakni Syekh Muhammad
Sulaiman al-Kurdi yang mengajar di Masjid Nabawi. Mereka ikut belajar kepada
Syekh al-Kurdi bersama-sama dengan
murid-muridnya yang lain. Dalam pandangan Syekh al-Kurdi, Syekh al-Banjari termasuk
murid yang cerdas sehingga al-Kurdi memberikan apresiasi kepadanya dengan
meminta untuk duduk di tengah bersma-sama dengan Al-Kurdi, sementara
murid-murid yang lain duduk mengelilinginya. Kurang lebih lima tahun belajar di
Madinah, mereka mohon izin kepada al-Kurdi untuk melanjutkan belajar ke Mesir,
sebagaimana niat mereka sebelum tinggal di Madinah. Akan tetapi Syekh al-Kurdi
tidak begitu setuju, bahkan menganjurkan supaya mereka kembali saja ketanah
air. Al-Kurdi menyatakan bahwa ilmu yang mereka peroleh selama belajar di tanah
suci sudah sangat memadai untuk dikembangkan di kampung halaman mereka. Mereka
mematuhi anjuran al-Kurdi dan akhirnya mereka kembali ke tanah air, pada tahun
1186 H./ 1772 M.[10]
Menurut Shagir Abdullah,[11]
ada beberapa sanad pengajian Syekh al-Banjari:
i.
Sanad
Matan Al-Ghayah Wa Al-Thagrib. Dalam sanad
kitab ini, Syekh al-Banjari belajar kepada Mufti Sayyid Abd Al-Rahman Ibn
Sulaiman Al-Ahdal Al-Zabidi. Kemudian, Abd Al-Rahman Al-Zabidi belajar kepada
gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab tersebut Al-Qadi Abu Syuja
Ahmad Ibn Husayn Al-Asfahani.
ii.
Sanad
Fath Al-Jawad Syekh al-Banjari belajar kepada
Sulaiman Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab tersebut,
Syekh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hajar Al-Haitami Al-Makki.[12]
iii.
Sanad
Manzhumah Al-Rahbiyah. Syekh
al-Banjari belajar kepada Sayyid Abi Al-Faid Muhammad Murtadla Ibn Muhammad
Al-Zabidi, dan seterusnya, sampai kepada Al-Imam Mauqif Al-Din Muhammad Ibn
„Ali Al-Rahbi, pengubah kitab tersebut.
iv.
Sanad
Nayl Al-Authar „Ala Muntaqa Al-Akhbar. Syekh
al-Banjari berguru kepada Muhammad Al-Zabidi yang berguru kepada pengarangnya
yakni Sayyid Muhammad Ibn Ismail Ibn Shalih Ibn Muhammad Yang dikenal dengan
Al-Sar.ani.
v.
Sanad
Al-Sunan Al-Shugra. Syekh al-Banjari belajar kepada
Salim Ibn Abdullah Al-Bashri Al-Makki, dan seterusnya sampai kepada Imam
Al-Nasa.i, pengarang kitab tersebut.
vi.
Sanad
Sirah Ibn Ishaq. Syekh al-Banjari belajar kepada
Muhammad Murtada Al-Zabidi dan seterusnya sampai kepada pengarang kitab
tersebut, Syekh Abu Bakr Muhammad Ibn Ishaq Al- Mutallibi.
vii.
Sanad
Al-Nasyr Wa Al-Muqadimmah Al-Ajrumiyah. Syekh
al-Banjari belajar kepada Muhammad Murtada Al-Zabidi, dan seterusnya sampai
kepada pengarang kitab tersebut yaitu Syekh Syams Al-Din Abu Al-Khair Muhammad
Ibn Muhammad Ibn Al-Jazari.
viii.
Sanad
Alfiyyah Al-Haditsiyyah. Syekh
al-Banjari berguru kepada Sulaiman Al-Zabidi dan seterusnya sampai kepada
pengubahnya yaitu Imam Jalal Al-Din Al-Suyuti.
ix.
Sanad
Hasyiyah Syarh Al-Sa.d „Ala Al-„Aqa.id. Syekh
al-Banjari berguru kepada Sulaiman Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada
pengarang kitab, Syekh „Isham Al-Din Ibrahim Ibn Urbasyah Al-Asfarayini.
x.
Sanad
Syarh Al-Jauharah. Syekh al-Banjari belajar kepada
Sulaiman Al-Zabidi, dan seterusnya sampai kepada Syekh Abd Al-Salam Ibn Syekh
Ibrahim Al-Laqani.
xi.
Sanad
Kitab Al-Tauhid Fi Haqq Allah. Syekh
al-Banjari berguru kepada Muhammad Al-Zabidi dan seterusnya sampai kepada
Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab Ibn Sulaiman.
xii.
Sanad
Al-Mawahib Al-Sunniyah Syarh Al-Faraid Al-Bahiyyah. Syekh
al-Banjari belajar kepada Sulaiman Al-Zabidi yang belajar langsung kepada
pengarang kitab, Syekh Abdullah Ibn Sulaiman Al-Jarhazi Al-Zabidi.
xiii.
Sanad
Kanz Al-Raghibin Syarh Al-Minhaj. Syekh
al-Banjari belajar kepada pengarang kitab Syekh Jalal Al-Din Muhammad Ibn Ahmad
Ibn Muhammad Al-Mahalli.
xiv.
Sanad
Taj Al-„Arusy Syarh Al-Qamus, Syekh
al-Banjari belajar langsung kepada pengarang kitab tersebut, Syekh Abu Al-Fayd
Muhammad Murtadla Ibn Muhammad Al-Zabidi.
xv.
Sanad
Fiqh Al-Luqhah Wa Sirrah Al-„Arabiyyah. Syekh
al-Banjari berguru kepada Syekh Al-Hassan Ibn Ahmad „Akisy Al-Yamani, dan
seterusnya sampai kepada pengarang kitab itu, yaitu Al-Imam Abu Mansur
Al-Al-Tha.alibi.
xvi.
Sanad
Tarikh Makkah. Syekh al-Banjari belajar kepada Sulaiman Al-Zabidi, dan
seterusnya sampai kepada Al-Imam Abu Walid Muhammad Ibn Abdullah Al-Azraqi.[13]
4.
Sahabat-Sahabat
Karib Syekh al-Banjari Yang Berasal Dari Tanah Air:
Sahabat-sahabat
karibnya yang berasal dari tanah air antara lain:
a.
Al-Allamah
Asy-Syeikh Abdussamad Al-Palimbani dari Palembang, Sumatera.
b.
Al-Allamah
Asy-Syeikh Abdurrahman Masri Al- Batani, dari Banten, Jawa.
c.
Al-Allamah
Asy-Syeikh Abdul Wahab Sadengreng Bunga Wardiyyah, dari Bugis, Sulawesi.
d.
Al-„Allamah
Asy-Syeikh Daud Bin Abdullah Al-Fathani, dari Thailand.[14]
5.
Kembali
Ke Kampung Halaman
Selesai mempelajari ilmu yang disebutkan di atas beliau pulang ke
tanah air bersama kawan-kawan. Pada tahun 1186/1773 Syekh al-Banjari pulang ke Nusantara
mereka singgah beberapa lama di pulau penyengat Riau, bahkan Syekh al-Banjari sempat
mengajar di sana Setelah itu, mereka
juga singgah di Betawi menjadi tamu ‘Abur Rahman Mashri yang sama-sama
pulang dari tanah suci. Selama di Betawi, mereka mengunjungi masjid-masjid yang
ada di sana, dan berdasarkan pengetahuannya yang didapat dari tanah suci. Syekh
al-Banjari yang pandai di bidang ilmu falak membetulkan arah kiblat beberapa
masjid, antara lain masjid Jembatan Lima Jakarta ditulis dalam bahasa Arab,
mesjid ini dipalingkan ke kanan 25 derajat oleh beliau, membetulkan arah kiblat
Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan.[15]
Pada tahun 1892/3 timbulah kehebohan di Banjarmasin karena mesjid Raya tidak
tepat arah kiblatnya, menurut Syekh al-Banjari arah kiblat harus diperbaiki.[16]Sekitar
dua bulan berada di Betawi, Syekh al-Banjari melanjutkan perjalanannya untuk
pulang, dan sampai di Banjar pada bulan Ramadhan 1186 H. Bertepatan dengan
bulan Desember 1772 M.[17]
Sultan
Banjar yang berkuasa waktu itu, yakni Sultan Tahmidullah (susuhunan Nata
Alam) yang naik tahta tahun 1761 M, memberikan sebidang tanah kepada Syekh al-Banjari, Kawasan itu
yang kemudian dikenal dengan nama “ Dalampagar” , dijadikan pusat kegiatan
da’wah (semacam pondok pesantren) oleh Syekh al-Banjari,[18]
Disitulah Syekh al-Banjari mengajar anak-anak dan santri-santrinya, di samping
berda’wah kepada semua lapisan masyarakat, dari kalangan rakyat biasa sampai
kalangan bangsawan/ keluarga kerajaan.
Pengembangan
Islam yang lebih efektif, Syekh al-Banjari mengajak pihak kerajaan untuk
berpartisipasi dalam da’wah melalui jalur birokrasi. Sultan pun menyambut baik
saran Syekh al-Banjari, yang kemudian dibentuk dua institusi keagamaan dalam
struktur birokrasi kerajaan, yaitu: Lembaga ifta’,
suatu lembaga yang bertugas untuk memberikan nasehat dan fatwa kepada Sultan
dalam masalah-masalah keagamaan. Lembaga ini diketahui oleh seorang mufti; dan
jabatan mufti yang pertama kali ditunjuk di percayakan kepada cucu Syekh
al-Banjari yang bernama Muhammad As’ad. Mahkamah Syar’iyyah, suatu
lembaga yang bertugas mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah hukum Islam,
termasuk didalamnya masalah perdata, pernikahan dan waris. Lembaga ini dipimpin
oleh seorang qadhi; dan jabatan qadhi yang pertama dipercayakan kepada cucu Syekh
al-Banjari yang bernama Abu Su’ud.[19]
Kesibukannya
mengajar dan berdakwah, Syekh al-Banjari juga dengan tekunnya menulis beberapa
kitab/ risalah yang jumlahnya lebih dari sepuluh. Karya-karya tulisannya, yang
meliputi bidang aqidah, syari’ah dan tasawuf, disusun dalam bahasa melayu
dengan tulisan Arab yang lazim dipergunakan pada waktu itu dengan maksud supaya
mudah dipahami oleh para santri dan masyarakat. Salah satu karya tulisnya adalah Sabil
al-muhadin, yang merupakan kitab
fiqh ibadah. Kitab inilah yang menjadi objek penelitian dalam disertai ini.’
6.
Ulama
Sejaman dengan Syekh al-Banjari di Kesultanan Banjar
a.
Syeikh Abdul Hamid Abulung (± 1735)
Sejarah
pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan pada abad XVIII terdapat tiga tokoh
yang terkenal di masyarakat, yaitu Syekh al-Banjari, Syeikh Abdul Hamid, dan
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Paham tasawuf wahdah al wujud di
Kalimantan Selatan diperkenalkan melalui dua tokoh yang sangat berpengaruh,
Syeikh Muhammad Nafis Syekh al-Banjari dan Syeikh Abdul Hamid Abulung.[20]
Pemerintahan
Sultan Tahlilullah, Syeikh Abdul Hamid muda dan Syekh al-Banjari muda, keduanya
sama diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama. Sepulang dari menuntut
ilmu di tanah suci, Syeikh Abdul Hamid Abulung mengajarkan ilmu yang
didapatkannya dari guru-guru beliau di tanah suci Mekah. Di antara ilmu-ilmu
yang diajarkan oleh beliau adalah ilmu tasawwuf yang paling menonjol. Namun
ilmu tasawuf yang diajarkannya kepada orang swam sangat berlainan dari
pelajaran tasawwuf yang telah dikenal masyarakat selama ini. Beberapa ajaran
yang diajarkan Datu Abulung dapat digambarkan sebagai berikut;
Tiada yang Maujud hanya Dia
Tiada Maujud lainy-Nya
Tiada aku melainkan Dia
Dia adalah aku. Aku adalah Dia
Pelajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa syariat
yang diajarkan selama ini adalah kulit belum sampai kepada isi (hakikat).
Pelajaran yang selama ini diyakini masyarakat umum adalah: Tiada yang berhak
dan patut disembah hanya Allah Allah adakah khaliq dan selain-Nya adalah
makhluk Tiada sekutu bagi-Nya. Ajaran inilah yang dikatakan Datu Abulung
hanya kulit, belum sampai kepada isi atau hakikat. Ajaran Datu Abulung itu
merupakan hasil dari ajaran Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 H). Husein bin
Mansur Al-Hallaj (858 H-922 H), yang
kemudian memasuki Indonesia melalui Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin di Sumatera dan Syeikh Siti Jenar di pulau Jawa.
Kewajiban ulama dan umara dalam melindungi keagamaan rakyat dari
unsur-unsur yang membahayakan. Jika tidak dapat dengan jalan damai, maka lebih
baik menyingkirkannya, sekalipun dengan kekerasan, karena hal itu merupakan
sesuatu yang mungkar. Menolak mafsadah (keburukan) lebih didahulukan daripada
mengambil manfaat. Melenyapkan seseorang untuk menyelamatkan orang banyak dibok
hkan menurut hukum, malah terkadang wajib.
Berdasarkan keputusan Syekh al-Banjari itulah Datu Abulung
ditangkap dan dimasukkan ke dalam sebuah kurungan besi, kemudian direndam di
sungai Martapura. Hal ini dilakukan Sultan[21]
dalam kerangka menguji kebenaran keyakinan dan kebenaran perjalanan ilmu Syeikh
Abdul Hamid Abulung. Di tengah perjalanan menuju istana ketika dia akan
ditangkap dipasang perangkap yang apabila terpijak akan melesatlah sebilah
tombak tajam yang akan menghujam ke tubuh orang yang menginjak perangkap
tersebut. Saat itulah terbukti kebenaran ajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung.
Ketika dia menginjak perangkap tersebut, tombak tajam tersebut memang melesat
ke udara namun berhenti di udara kemudian jatuh ke tanah tepat di belakang
tubuhnya.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa penganut tasawuf sering diposisikan
sebagai pihak “tertuduh”. Di Nusantara, belajar dari kasus Aceh, antara kubu
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani (1630 M) dengan kubu Nurruddinal-
Raniri, mempersentasikan terjadinya pertarungan antara kubu wujudiyah[22]
versus kubu tasawuf Sunni.[23]
Kasus yang sama terjadi juga di pulau Jawa. Di Jawa terjadi khususnya di
wilayah Demak Jawa Tengah, paham wahdah al-wujud dilakukan oleh Syeikh
Siti Jenar[24], dan
tasawuf Sunni dilakukan oleh Walisongo. Sebagaimana dalam kasus Aceh, penganut wahdah
al-wujud di Jawa dituduh sebagai kafir dan penganutnya dihukum mati.
Pelarangan dan hukuman mati terhadap penganut wahdah al-wujud di pulau
Jawa ini tidak berarti bahwa paham tersebut sudah mati. Pada abad XIX, paham
tersebut dihidupkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh Rangga Warsita (1802
M-1873 M), dan dalam tradisi Jawa paham wahdah al-wujud populer
dengansebutan Manunggaling Kawula Gusti.[25]
Suruhan yang kedua memanggil, supaya bisa diperintah...” Akhirnya,
atas nasihat Syekh al-Banjari, sultan mengambil keputusan untuk menghukum mati
Haji Abdul Hamid. Makamnya sekarang masih ada, beberapa kilometer saja dari
kampung Dalam Pagar.” Informasi di atas mengindikasikan bahwa ajaran wahdah
al-wujud senantiasa dicurigai, karena berbeda dari “mainstream”
keagamaan yang dibawakan para ulama dan yang dilegalisasi oleh negara. Yang
paling fundamental adalah kehadiran ajaran ini dianggap sebagai pengganggu
hegemoni mainstream keagamaan yang sudah “mapan”. Secara politis, kehadiran “wahdah
al-wujud” merupakan representasi perlawanan rakyat marginal, meminjam
kata-kata Mohamad Sobary; “perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni penguasa
yang mendapat dukungan dan legitimasi spiritual dari “dewan wali” sangat
berpengaruh.”[26] Di sini
tampaknya kepentingan-kepentingan politik dan agama campur aduk menjadi satu
dan sukar dipilah secara jelas. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit
membedakan mana yang masuk dalam kepentingan politik. Namun yang Bering menjadi
“Korban” adalah kelompok-kelompok agama yang berada di luar “mainstream”.
Kritik Syeikh Abdul Hamid Abulung terhadap ajaran formal yang
dianut elite politik dan ulama resmi kerajaan Banjar itu jelas terbaca dalam
dialog antara Syekh al-Banjari, Abdul Hamid dan elite politik dan ulama
kerajaan Banjar ketika Abdul Hamid ditangkap dan menjalani hukuman mati. Paham
ini secara sosiologis bagi masyarakat Banjar yang berada di daerah pedalaman
bisa beradaptasi dengan situasi teologis yang lebih banyak dipengaruhi paham
animisme. Apalagi jika dilihat secara geografis daerah penyebaran Islam dalam
misi dakwahnya Syeikh Abdul Hamid banyak di daerah pedalaman, seperti daerah
Kelua sebagai pusat dakwah Syeikh Abdul Hamid dan sekitar daerah Banua Lima.
Secara pelan kondisi ini mempengaruhi situasi politik kerajaan yang
membutuhkan suatu legitimasi masyarakat Banjar secara luas. Kekhawatiran para
elite kerajaan Banjar terhadap situasi yang berkembang di masyarakat akan
ajaran yang disebarkan oleh Syeikh Abdul Hamid Abulung yang tidak sesuai misi
politik kerajaan Banjar memberikan dampak negatif terhadap stabilitas kerajaan
di kemudian hari. Dengan demikian diperlukan tindakan pencegahan lebih awal
agar situasi tersebut dapat dikendalikan. Hal ini dikarenakan kecenderungan
sikap dan ajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung yang lebih mengutamakan
kesederhanaan dalam hidup sehari-hari daripada bangsawan kerajaan Banjar yang
cenderung berperilaku hidup mewah, kelak akan menjadi bumerang dan persoalan
sosial tersendiri.
Disisi lain, Syekh al-Banjari juga berkepentingan agar pendekatan
dan strategi dakwah yang dilaksanakannya melalui birokrasi kerajaan Banjar
dapat berjalan dengan baik dan mulus. Situasi yang krusial ini tentunya menjadi
penting untuk cepat diselesaikan. Namun akibat masing-masing pihak mempunyai
prinsip yang tidak bisa dipertemukan, mengakibatkan korban di kalangan mereka
yang tidak mempunyai kekuasaan politik.
b.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari (Wafat 1812 M)
Ulama lain yang juga mempunyai nuansa tersendiri dalam hubungannya
dengan kerajaan Banjar adalah Muhammad Nafis al-Banjari. Dirinya juga merupakan
penganut paham wahdah al-wujud sebagaimana Abdul Hamid. Namun ia tidak dianggap
radikal sebagaimana Abdul Hamid. Dalam kitab al-Durral-Nafif[27]
tampak bahwa Muhammad Nafis sangat kuat
terhadap paham wahdah al-wujud.[28]
Tetapi nasib Nafis tidak setragis nasib
Abdul Hamid. Ajarannya tidak “bermasalah” seperti Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari. Dengan ini maka Nafis al-Banjari mempunyai peluang untuk
menyebarluaskan ajaran dan bertahan sampai saat itu. Indikasi bahwa Nafis al-Banjari
berpaham wahdah alwujud dapat dilihat dari penjelasannya yang termaktub dalam
kitab al-Durr al- Nafis:
Kaifiat mengesakan Allah Ta’ala pada segala asma-Nya itu yaitu
seperti bahwa engkau pandang dengan mata-mata kepalamu dan engkau syahid dengan
mata hatimu bahwasanya segala itu sekalian kembali ia kepada asma Allah Ta'ala
yakni segala yang bernama di dalam alam ini sekaliannya mazhar asma itu is akan
wujud musama maka tiada yang maujud itu pada hakikatnya Allah ta'ala jua dan
wujud segala alam ini hanya khayal dan waham jua dengan nisbah kepada wujud
Allah Ta’ala maka sebab itulah kembali segala asma itu kepada yang maujud yaitu
Allah Ta’ala Swt. Dan wujud Allah itu qadim ia segala asma dan zhahir is dengan
dia itu satu jua yakni bahwasanya segala sesesuatu (asyyia) itu
kezahiran dan kenyataan bagi zat yang satu jua yang zahir dengan segala
seseuatu (asyyia) itu satu jua.[29]
Sebagaimana diketahui, ajaran Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari
terkait dengan praktek hidup sufi sebagai nodel kehidupan pemeluk Islam baik
dalam berhubungan (menyembah) Tuhan ataupun dalam kerangka hubungan osial
kemasyarakatan. Termasuk dalam hubungan sosial itu berbagai masalah kehidupan.
Ajaran tasawuf Syeikh Nafis masih berkembang di Kalimantan Selatan dan Tengah,
bahkan sampai ke manca negara yakni Malaysia, Brunei, dan Singapura politik dan
juga ekonomi. Praktek hidup sufi itu sendiri memiliki sejarah panjang, bahkan
pada masa semenjak Muhammad SAW.[30]
Syeikh Muhammad Nafis dapat dikaji secara proporsional. Harus
disadari pula bahwa peralihan kekuasaan
dan budaya yang terjadi secara mendadak harus menyesuaikan diri dengan sistem
keagamaan dan kekuasaan Islam di bawah pemerintahan Sultan Suriansyah. Hal ini
akan menimbulkan kejutan dan hentakan budaya serta hentakan kesadaran sosial,
politik dan ekonomi yang tidak mudah bagi seseorang untuk mengambil posisi yang
tepat dalam percaturan tersebut.
Hubungan itulah kajian terhadap pemikiran dan ajaran Syeikh
Muhammad Nafis menjadi relevan. Hal ini menjadi semakin strategis di tengah
pertumbuhan bangsa yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Tanpa sikap
lebih jernih, setiap pemikiran dan ajaran hidup sufi akan selalu terperangkap
dalam posisi oposisi yang semakin lama semakin keras. Terjadilah kekerasan
spiritual atas nama praktek hidup sufi yang aslinya merupakan pola hidup penuh
dengan kesantunan.
Sebagaimana telah dikemukakan, praktek hidup sufi yang terus
berkembang melahirkan berbagai pemikiran, ajaran serta pemahaman yang satu
dengan lainnya paling berbeda bahkan bertentangan. Demikian pula ajaran
wahdatul wujud Syeikh Muhammad Nafis juga tidak sedikit mengundang reaksi cukup
keras. Kelompok yang melakukan reaksi keras itu terutama kaum ahli syari'ah
atau ahli fiqih.
Lebih lanjut, cara melihat ajaran Syeikh Abdul Hamid dan Muhammad
Nafis tersebut di atas dapat dipergunakan juga untuk melihat berbagai ajaran
keagamaan yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut juga berguna untuk mengkaji
tradisi yang berkembang pada masyarakat. Hal ini mengandung pengertian bahwa
setiap kebiasaan dan tradisi yang dilakukan atau dianut seseorang memiliki
dasar konseptual kefilsafatan. Namun seseorang yang menganut suatu ajaran atau
hidup dalam sebuah tradisi belum tentu menyadari dasar konseptual kefilsafatan
dari tindakan yang mereka lakukan atau ajaran yang mereka anut serta tradisi di
mana mereka hidup.
Situasi tersebut kemudian mengakibatkan ajaran para sufi seperti ajaran
Syeikh Abdul Hamid dan Muhammad Nafis dianggap menyimpang. Dakwah kemudian
menjadifigihisme. Dalam bentuk kehidupan sosial, Islam berubah menjadi ajaran
sempit yang selalu ketinggalan dan tidak dapat menyesuaikan perkembangan
kehidupan masyarakat. Akibatnya, Islam dalam anti ajaran yang hidup dalam
masyarakat pemeluknya menjadi kehilangan fungsi untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang dihadapi masyarakat pemeluknya tersebut.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ajaran Syeikh Muhammad Nafis
al-Banjari merupakan ajaran yang tidak memperoleh tempat di kalangan istana
kerajaan Banjar, namun menjadi berubah bersama surutnya peran ulama. Disatu
sisi ajaran yang lebih formal seperti dalam tradisi fiqih merupakan fenomena
umum kepenganutan Islam di kalangan istana, berbeda dengan fenomena
keberagamaan rakyat yang lebih apresiatif terhadap ajaran tasawuf seperti yang
berkembang di lingkungan Syeikh Muhammad Nafis. Dari sini muncul opisisi
keberagamaan rakyat atas keberagamaan elite yang terus mewarnai gerakan dan
politik Islam di Nusantara. Namun, hal ini juga menunjukkan pergolakan
pemikiran dan sosial politik- ekonomi Islam antara elite dan rakyat pada
tahapan proses perubahan kekuasaan kerajaan.
7.
Karya-Karya
Tulis Syekh al-Banjari
Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa di dalam kesibukannya mengajar dan berda’wah, Syekh
al-Banjari juga menulis beberapa kitab, antara lain sebagai berikut:
a.
Ushul ad-Din. Kitab ini
ditulis oleh Syekh al-Banjari pada tahun 1188H./ 1774 M dengan mengunakan bahasa
Arab Jawi dua. Risalah ini merupakan pengetahuan dasar yang harus diketahui
oleh kaum muslimin dan disusun untuk kepentingan dakwah, yaitu untuk memberikan
pengetahuan dasar tentang pengenalan dasar terhadap Allah kepada masyarakat,
semacam sifat dua puluh yang belum pernah diterbitkan dan naskahnya tidak
ditemukan. Kemungkinan isinya sudah dimasukan dalam kitab Parukunan.
b.
Tuhfat ar-Raghibin fi Bayani Haqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma
yufsiduh min Riddat al-Murtaddin. Kitab ini
ditulis oleh Syekh al-Banjari pada tahun 1188H./1774M (bersamaan tahunnya
dengan penulisan kitab Ushul ad-Din)
dan pernah diterbitkan di mesir pada tahun 1353 H. Kedua risalah ini memang
berbeda sasarannya meskipun sama-sama di bidang ilmu tauhid Kitab ini berisi
penjelasan tentang hakikat iman, hal-hal yang merusak iman, tanda-tanda
jatuhnya seseorang menjadi murtad dan masalah hukumnya. Kitab ini di tulis
dengan tujuan untuk menhapus kebiasaan-kebiasaan yang menjadikan seseorang
tergelincir ke arah syirik dan murtad, dan untuk menegakkan aqidah yang sesuai
dengan faham ahl as-sunnah wa al-jama’ah. Kalau ushuludin bertujuan untuk
memberikan dasar keimanan kepada Allah bagi masyarakat pada umumnya, sedang
risalah ini untuk menjelaskan hakikat iman dan hal-hal yang bisa merusakkannya,
yang tampaknya lebih banyak ditunjukan kepada kalangan raja-raja dan para ulama
untuk menegakkan akidah yang benar menurut Ahlusunnah Waljama.ah dan
memurnikan akidah umat. Risalah terdiri atas tiga pasal ditambah dengan
pendahuluan dan penutup. Ketiga pasal itu ialah: pertama tentang hakekat iman; kedua,
tentang apa-apa yang merusakkan iman; dan ketiga,
tentang syarat-syarat jatuhnya murtad dan masalah hukumnya.
c.
Kitab al-Fara’idh. Naskah kitab
ini tidak pernah dicetak, bahkan naskah aslinya pun tidak ada lagi. Menurut
cerita orang-orang tua di Kalimantan Selatan Syekh al-Banjari pernah menulis
kitab Al-Faraid yang membahas tentang masalah harta warisan dan cara
pembagiannya tentang hukum waris yang cocok dengan situasi daerah Kalimantan
Selatan, yaitu tentang harta yang diperoleh suami isteri dalam masa hidupnya
yang disebutnya harta perpantangan di dalam kitab ini terdapat konsep Syekh
al-Banjari yang menyatakan bahwa harta yang diperoleh suami istri semasa
hidupnya, yang disebut “Harta Perpantangan”; apabila salah seorang di
antaranya meninggal dunia, maka harta peninggalannya harus dibagi dua terlebih
dahulu, separo hak suami dan separonya lagi merupakan hak istri. Kemudian yang
separo (yang merupakan hak bagi suami atau istri yang meninggal) itulah yang
dibagi menurut hukum fara’idh. Meskipun naskah kitab ini tidak pernah
diterbitkan, namun pemikiran Syekh al-Banjari yang seperti itu masih mewarnai
kehidupan masyarakat Banjar.
d.
Kitab an-Nikah. Kitab yang
menerangkan hukum nikah, pengertian dan macam-macam wali, saksi nikah, ijab
qabul, kufu, khulu’ thalak dan hal-hal lain yang berkaitan dengan nikah ini,
menurut catatan zuriatnya, Syekh al-Banjari pernah menulis kitab yang membahas
tentang masalah “wali” dalam pernikahan dan penerapan akad nikah yang diajarkan Rasulullah dalam tata cara perkawinan
yang benar menurut ajaran ajaran Islam, agar bisa diperoleh keluarga yang
bersih dan suci dalam perkawinan. Kitab an-Nikah pernah diterbitkan
di istanbul pada tahun 1304. Naskah aslinya yang berbentuk manuskrip masih ada
pada salah seorang keturunan Syekh al-Banjari , dan pada tahun 1418H./ 1997M.
Dicetak ulang oleh yayasan pendidikan Islam Dalam pagar (YAPIDA), Martapura;
dengan diberi penjelasan secukupnya (dalam catatan kaki:) oleh pengurus YAPIDA.
e.
Kitab Luqthat al-Ajlan. Judul lengkap kitab ini adalah Luqthat al-Ajlan fi Bayan Haidh waIstihadhat wa Nifas an-Niswan.
risalah ini ditulis Syekh al-Banjari pada tahun 1192 H (1778 M) untuk
kepentingan dakwahnya dikalangan wanita. Sesuai dengan judulnya, kitab ini
membahas masalah yang berkaitan dengan haidh (menstruasi) yang dihadapi
kaum wanita setiap bulan, istihadhah,
mustahadhah dan macam-macamnya, naqa’, fatrah dan nifas., dalam
kaitannya dengan keabsahan ibadah mereka dan hubungan suami isteri. Kitab ini dicetak pada tahun 1992 M, setelah
ditransliterasi ke huruf latin dan bahasa Indonesia dengan menyertakan salinan
naskah aslinya oleh suatu tim yang terdiri dari generasi keenam, sedangkan
naskah aslinya (dalam bentuk manuskrip) disimpan oleh salah seorang keturunan Syekh
al-Banjari.[31]
f.
Kitab Al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahd
al- Munthazar. Meskipun dari judulnya risalah ini hanya menjelaskan secara
ringkas tentang ciri-ciri Imam Mahdi, namun isinya lebih banyak menjelaskan
tentang alamat-alamat atau tanda-tanda akan tibanya hari kiamat, yang merupakan
salah satu rukun iman yang wajib diyakini umat Islam. Risalah ini terdiri dari
11 pasal dan risalah berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kitab Al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahd al-
Munthazar dan bersama-sama dengan kitab Syajarat Al- Arsyadiyyah karya
Syekh Abdurrahman Siddik, cicit Syekh al-Banjari pernah dicetak oleh Maktab
al-Ahmadiyah Singapura pada tahun 1356 H./1937 M. Salinan naskah aslinya
(dalam bentuk manuskrip) disimpan oleh
salah seorang keturunan Syekh al-Banjari di Dalam Pagar
g.
Kanz al-Ma’rifah. Kitab yang
ditulis sendiri oleh Syekh al-Banjari yang
berisi tentang ilmu tasawuf khususnya ilmu tarekat. Kitab ini menjelaskan pula
mengenai hakekat mengenal diri untuk ma’rifat kepada Allah. Kitab ini ditulis
dengan huruf melayu (pegon) dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan
tangan dengan menggunakan tinta hitam dan penomorannya memakai angka arab dan 6
halaman. Kapan dimulai penulisan kitab itu tidak mau diketahui, yang jelas
kitab Kanz Al-Makrifah yang asli sudah rusak, kitab yang ada sekarang
ini hasil suntingan dari cucu keturunan Syekh al-Banjari. Naskah ini belum
pernah dicetak, dan salinan naskah aslinya disimpan di Dalam Pagar.
h.
Ilmu falaq. Naskah yang
ditulis dalam Bahasa Arab ini menerangkan tentang cara menghitung waktu shalat,
awal bulan qamariyah, terjadinya gerhana matahari dan bulan. Naskah aslinya
yang ditulis oleh anak Syekh al-Banjari sendiri dalam bentuk manuskrip masih
tersimpan di Dalam Pagar; dan naskah ini belum pernah dicetak/diterbitkan.
i.
Fatawa Sulaiman Al-Kurdi. Risalah ini
berisi tentang fatwa-fatwa Syekh Muhammad bin Sulaiman al-kurdi dalam
rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan Syekh al-Banjari kepada beliau tentang
tindakan Sultan yang memungut pajak dan hukuman denda bagi pelanggar hukum
seperti orang yang meninggalkan shalat jum’ah dengan sengaja, dan berbagai
masalah penting lainnya. Naskah ini ditulis dalam Bahasa Arab dan naskah asli
yang ditulis oleh Syekh al-Banjari itu masih ada, namun sampai saat ini belum
pernah diterbitkan.[32]
j.
Mushhaf al-Qur’an al-Karim. Pada tahun 1779 M., Syekh al-Banjari menulis Mushhaf Al-Qur’an yang dilengkapi dengan qira’at Ibn Katsir dan
Wahsy di tepinya. Mushhaf
ini ditulis dalam tiga jilid yang masing-masing jilid berisi 10 juz[33]
dengan tulisan yang sangat indah, yang bisa disaksikan di kubah tempat dia
makamkan di Kalampayan hingga sekarang ini dalam mushhaf Syekh
al-Banjari ini tampak adanya kombinasi antara budaya Islam dan ciri-ciri
kekhasan daerah Banjar (terutama lukisan pada setiap awal surah). ini
menunjukan tingginya budaya seni yang dimilikinya.[34]
k.
Kitab
Fath Al-Rahman, risalah ini sebenarnya adalah karya Syekh Al- Islam
Zakariya Al-Anshari berjudul: Fath Al-Rahman Bi Syarh Risalat Al- Waliy
Al-Raslan, yaitu komentar terhadap sebuah risalah tentang ilmu tauhid yang
ditulis oleh Raslan Al-Dimasyqi. Syekh al-Banjari menterjemahkan risalah
tersebut ke dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab yang ditulis miring di bawah
teks aslinya.
l.
Kitab
Hasyiyah Fath Al-Jawad adalah sebuah kitab fiqih karya Imam Ibnu Hajar
Al-Haytami, yang banyak sekali mempengaruhi pendapat Syekh al-Banjari di bidang
fiqih. Menurut catatan zuriatnya, Syekh al-Banjari pernah membuat komentar-komentar
terhadap kitab tersebut dalam sebuah karyanya berjudul: Hasyiyah Fath
Al-Jawad. Menurut seorang informan, kitab ini tertulis dalam bahasa Melayu
huruf Arab, sebagaimana kitab atau risalah Syekh al-Banjari yang lain. Kitab
Ibnu Hajar Al- Haytami, yang dikomentari ini, memang termasuk kitab yang sulit
dipahami. Justru itu wajarlah kalau Syekh al-Banjari membuat komentar-komentar
terhadap kitab karya orang yang sangat dihormati pendapat ini, agar bisa
dipahami dengan mudah oleh para muridnya.
m.
Kitab Sabil al-Muhtadin li
at-Tafaqquh fiAmr ad-Din. karya Syekh
al-Banjari yang terbesar merupakan figh melayu yang sangat terkenal di
Nusantara, Malaysia, Thailand dan kamboja; dan merupakan hasil karya Syekh
al-Banjari yang monumental. Kitab ini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan
besar di dunia Islam, seperti di Makkah, Mesir, Turki dan Beirut dan terkenal
hanya dengan sebutan Sabilal Muhtadin.[35]
Kitab ini selesai ditulisnya pada tanggal 27 Rabiul Akhir 1195 (22 April 1781
M) atas permintaaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. Kitab Sabilal
Muhtadin dicetak dalam dua jilid hampir semuanya berisi tentang masalah
ibadah. Jilid pertama diawali dengan Muqaddimah
kemudian mengemukakan tentang masalah thaharah dengan segala masalahnya,
najis dan cara membersihkannya, bab wudu, mandi, tayamum dan salat yang memuat
tentang waktu salat, orang yang wajib salat dan azan. Kemudian dilanjutkan
dengan jilid dua berisi tentang salat
musafir, salat jamaah, salat khauf, shalat dua hari raya, salat gerhana, salat
minta hujan, penyelenggaraan mayit, zakat uang, zakat tambang, rikaz dan
perdagangan dan zakat fitrah. Kemudian dilanjutkan dengan masalah puasa,
itikaf, haji dan umrah, binatang kurban, binatang buruan dan sembelihan dan bab
tentang makanan. Pada bagian akhir dicantumkan tashih dari Ahmad bin
Muhammad Zaini Al Qaththani.[36]
Syekh al-Banjari menulis Sabilal Muhtadin untuk memenuhi dua kebutuhan:
yaitu kebutuhan kebutuhan kultural dan kebutuhan struktural. Kebutuhan
kultural, karena Syekh al-Banjari melihat adanya kekosongan kitab fiqih yang
berbahasa melayu di tanah air sedangkan kebutuhan struktural, adanya permintaan
dari sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah kepada Syekh al-Banjari untuk
menulis kitab fiqh berbahasa Melayu.
Melestarikan
karya-karya tulis Syekh al-Banjari yang berbentuk manuskrip, atas usaha salah
seorang keturunan dari generasi keenam dengan dibantu oleh pemerintah Daerah
Propinsi Kalimantan Selatan, semua manuskrip yang ada telah diawetkan dan
dilaminasi.[37]
8.
Wafatnya
Syekh
al-Banjari wafat pada tanggal 6 syawal 1227 H./13 Oktober 1812 dalam usia 105
tahun menurut hitungan tahun Hijriyah atau 102 menurut hitungan tahun Masehi.[38]
Ia wafat dengan meninggalkan keturunan yang cukup banyak, karena di waktu
hidupnya, ia mempunyai tujuh orang istri.
Data
tentang istri dan keturunan Syekh al-Banjari ini pertama kali dicatat dan di
bukukan oleh seorang keturunannya yang bernama H. Abdur Rahman Shiddiq
(1360 H), yang pernah menjadi mufti
pada kerajaan Indragiri Sapat (Riau), melalui bukunya yang berjudul “Syajaratul
Arsyadiyah”[39]
penelusuran dan pendataan keturunan Syekh al-Banjari ini dilanjutkan oleh Abu
Daudi, yang juga salah seorang keturunan Syekh al-Banjari, sehingga
terhimpunlah nama-nama hampir semua keturunan Syekh al-Banjari sampai sekarang,
yang jumlahnya ribuan dalam bukunya.
Data-data
yang ada, banyak di antara anak cucu dan keturunan Syekh al-Banjari yang
melanjutkan kegiatan da’wah dan menjadi ulama’ terkenal, tidak hanya di
Kalimantan saja tetapi juga luar Kalimantan seperti di Jawa dan Riau bahkan
pada yang di luar negri Makkah al-Mukarramah, Malaysia, Brunei dan Philipina.[40]
[1]Untuk biografi lengkap riyawat hidup Muhammad Arsyad al-Banjari
dapat dibaca juga dalam bukunya Darliansyah Hasdi, “Fatwa-Fatwa Spisifik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Penerbit,
Antasari Press Banjarmasin, 2009. Baca juga Muslich Sabir,“Pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad Tentang Zakat dalam Kitab Sabîl Al-Muhtadîn: Analisis
Intertekstual. Nuansa Mulia, Bandung, 2005., lihat, Zamzam, Syekh
Muhammmad Arsyad. Jusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan : Syech Muhammad
Arsyad al-Banjari, (Martapura : Yayasan al-Banjari, 1968). Tamar Djaja,
Sjech M. Arsyad, dalam Puistaka Indoensia. (Djakarta : Bulan Bintang, 1965)
Shagir Abdullah, Syekh Muh. Arsyad al Banjari, Matahari Islam,
(Pontianak : al Fathanah, 1983). Abu Daudi, Maulana Sekh Moh. Arsyad SYAB
Pelopor Dakwah Islam di Kalimantan Selatan, “Mimbar Ulama”, (Vol 6, 1976),
hlm.69-79. Ahmad Suriadi, Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari Dalam Dinamika Politik Kerajaan Banjar Abab XIX. Laporan
Penelitian. Pusat Penelitian dan penerbitan LP2M IAIN Antasari, Banjarmasin.
[2]Abu Daudi, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, (Dalam pagar: npb., hal.2-3, 1991
[3]H. W. Muhd. Shaghir Abdullah, Syeikh
Muhd. Arsyad al-Banjari, Matahari Islam, (Mempawah: pondok al-Fathonah,
hal. 6, 1982
[4]Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari (1122-1227 H./1710-1812 M.), (Banjarmasin: Aulia, hal.
21-22,1980.
[5]Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari (1122-1227 H./1710-1812 M., h. 26-27. Lihat juga, Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama, (Bandung Anggota Ikapi, hal. 252, 2008
[6]Abu Daudi, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, 199, h. 4.
[7]Tim sahabat, op. cit., h. 40-41
[8]H.A. Gazali Usman, h. 156;
lihat pula: Abu Daudi, Maulana Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari,
(Dalam pagar Martapura: Sekretariat Madrasah “Sulalamul Ulum”, hal. 25-27, 1996
[9]H.A. Gazali Usman, h. 146.
[10]Yusuf Halidi, h. 30-33.
[11]H. W. Muhd. Shaghir Abdullah, Syeikh
Muhd. Arsyad al-Banjari, Matahari Islam, (Mempawah: pondok al-Fathonah,
1982
[12]Kitab Hasyiyah Fath Al-Jawad adalah sebuah kitab fiqih karya
Imam Ibnu Hajar Al-Haytami, yang banyak sekali mempengaruhi pendapat Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjary di bidang fiqih. Menurut catatan zuriatnya, Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjary pernah membuat komentar-komentar terhadap kitab
tersebut dalam sebuah karyanya berjudul: Hasyiyah Fath Al-Jawad. Menurut
seorang informan, kitab ini tertulis dalam bahasa Melayu huruf Arab,
sebagaimana kitab atau risalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary yang lain.
Kitab Ibnu Hajar Al- Haytami, yang dikomentari ini, memang termasuk kitab yang
sulit dipahami. Justru itu wajarlah kalau Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary
membuat komentar-komentar terhadap kitab karya orang yang sangat dihormati
pendapat ini, agar bisa dipahami dengan mudah oleh para muridnya.
[13]Khairil Anwar, Teologi Al-Banjary, (Bandung: Global House,
hal. 48-49, 2009)
[14]Pustaka Basma, 3 Permata Ulama dari Tanah Banjar, (Malang:
Pustaka Basma, hal. 17, 2012
[15]Abu Daudi, Maulana Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 34-35; Yusuf Halidi, h. 33-3.
[16]Karel A. Steenbrink, Beberapa Asfek Tentang Islam di Indonesia
Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, hal. 92-93, 1984
[17]Abu Daudi, h. 38.
[18]Ibid., h. 41-42; Yusuf Halidi, h. 37.
[19]Abu Daudi, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, h. 8-9; Saifuddin zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam
Dan Perkembangannya Di Indonesia, (Bandung: PT Alma’arif, hal. 408, 1981,
Cet. Ke-3
[20]Zafri Zamzam, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Banjarmasin:
t.p.,1979), hlm. 13
[21]Berdasarkan dialog dengan
tetuha Kampung Melayu Martapura tentang Syeikh Abdul Hamid pada tanggal 01
April 2017.
[22]Terminologi wujudiyah, sebutan bagi penganut paham wahdah
al-wujud yang diperkenalkan Ibnu ‘Arabi (560-638 H/ l 165-1240M). Nurruddin
al-Raniri lebih suka memakai term “wujudiyah” untuk menyebut kubu Hamzah
Fansuri dan para pengikutnya. Lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam
Konsepsi Syeikh Nurruddin al-Raniri, (Jakarta: Rajawali Press, 1983). Dalam
Fat al-Mubin ‘ala Mulhidin, al-Raniri menuduh Hamzah Fansuri sebagai mulhid
lagi zindiq.LihatTudjimah, Asrar al Ihsanfi Ma‘rifa al-Ruh wa al-Rahman,
(Jakarta: 1961), hlm. 21
[23]J.Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam, London, (Oxford:
University Press, 1973), blur. 3. Menyebutkan bahwa tasawuf Sunni sebagai
“ethical mysticism”ajaran tasawuf ini didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah
Sebagaimana dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan tabi’in.
[24]Pembahasan secara lengkap mengenai Syeikh Siti Jenar dapat dibaca
dalam Abdul Munir Mulkhan, Syeikh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa, (Yogyakarta:
Bentang, 2000); Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode
Dakwah Walisongo, (Bandung: Mizan, 1995), him. 46
[25]Lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita:
Suatu Studi Terhadap Serat Wind Hidayat Jati, (Jakarta: UIP, 1988). Dan
Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta:
Bentang, 1996), h lm. 181-246
[26]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 95; Martin van Bruinessen,
TarekatNaqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 202-205
[27]Lihat Syeikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjari, al-Durr
al-Nafis fi Bayan Wahdat al-af al wa al-asma wa al-Shifat wa al-zat al-Tagdis,
(Singapore: al-Harmain, t.t.). kitab ini setebal 40 halaman dengan menggunakan
bahasa Melayu-Banjar dengan huruf Arab pegon
[28]Lihat Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Syeikh Muhammad Nafis al-
Banjari dan Pendapat Ulama di Kabupaten Hulu Sungai Utara, tesis S2
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 1410 H/1990M). Dan H.M. Laily
Mansur, Kitab ad Durrun Nafis: Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf,
(Banjarmasin: Hasanu, 1982).
[29]Syeikh Muhammad Nafis, Op. Cit., hlm. 8
[30]Lihat Safirodin Halimi, Spritualitas Muhammad S.A.W.: Pengalaman
Sufistik dalam Tinjauan Ontologis dan Psikologis, (Semarang: Tesis S2 pada
Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2004), hlm. 75. Lihat juga,
Sulaiman, Wahdah al-Wujud di Kotawaringin, dalam tesis S2 Program
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
[31]Fathullah Munadi, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary dalam Konteks
Kajian Alquran di Nusantara, (Yogyakarta: Antasari Press, hal. 58, 2011
[32]Tim Pustaka Basma, op. cit., h. 22
[33]Mushaf Alquran Al-Karim dilengkapi dengan Qiraah Ibnu
Katsir. Terdiri dari tiga jilid yang masing-masing terdiri dari 19 Juz. Ada
juga yang menemukan 10 juz saja
[34]Tim Pustaka Basma, op. cit., h. 24
[35]H.W. Muhd. Shaghir Abdullah, op.
Cit., h. 47.
[36]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), h. 30-31
[37]Abu Daudi, Maulana Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 50-57.
[38]Yusuf Halidi, op. Cit.,
h. 44.; Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, h. 248.
[39]Abu Daudi, dalam kata pengantar Maulana
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
[40]Abu Daudi, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, h. 250-252; H.A. Gazali Usman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar