ISLAM DI NUSANTARA
Kerajaan-kerajaan
Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan
puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan
tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta
memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan,
termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera,
kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan
Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi,
Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di
Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan
Kesultanan Tidore,[42]
serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]
Keberadaan
institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam
kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong
rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang
lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum
positif.[44]
Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada
masanya telah lahir seorang ulama yang
bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh
al-Banjari, penulis kitab Sabîl
al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45]
dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19
Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa
dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia,
bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh
al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama
pada umumnya. Untuk
lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan
Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun
Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan
dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di
dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku,
tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.
Pembicaraan mengenai tokoh
para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad
XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh tokon para
ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau
Jawa.[47]
Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain,
terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di
nusantara tak kalah pentingnya. Syekh
al-Banjari adalah salah satu ulama
yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.
Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari
Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan
singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di
Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48] Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya
merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari
Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang
sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini
kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang
pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]
Kajian
aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat
penting
bagi generasi berikutnya. Bagi seorang
tokoh, zaman dan geografis di mana ia hidup
serta tuntutan
umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis
yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian
ini mengungkap intelektualitas,
prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh
al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional,
dalam aspek pemikiran hukum Islam.
Karenanya, buku ini bertujuan
untuk mengungkap
aspek-aspek genuine[50] Syekh al-Banjari dari aspek epistemologi Hukum
Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]
Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis
diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki
produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang
tergolong
khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli
dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh
dan
telah diaplikasikannya secara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif,
induktif, dan gabungan antara keduanya, suatu metode
mencari kebenaran ilmiah
yang diakui hingga sekarang.
Akan
tetapi dalam
penerapan metode deduktif yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan
Syekh
al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang
pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih
di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh
sentris.[52]
Hal
ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari
hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu
Dzaria’at[53], terutama dalam kasus
pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak
wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan
bersuara nyaring
membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang
lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus. Bahkan
dalam kasus pengharaman memakan anak
wanyi yang
sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan
gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash
yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar yang
sangat urgen bagi pemenuhan zat-zat kimia yang sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan
tersebut, Syekh al-Banjari tetap menjadi
cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]
Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan
karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang
independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan
pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama
yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama
yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik,
pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut
dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat
modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan
kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya
memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh
al-Banjari banyak
memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga
sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan
khususnya di kesultan Banjar dan bagi
masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li
at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.
Kitab Sabilal Muhtadin ini
sebagai salah satu karya Syekh
al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan
makna bahwa Syekh
al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang
Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will
Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi
perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan
yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh
al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia
mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus
politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan
sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan
Kerajaan.
Jika dikaji
secara makro maka strategi dakwah Syekh
al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau
dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan
pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama
yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan
Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis
birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.
Syekh al-Banjari telah
menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan
kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari
beberapa aspek, antara lain:
Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu.
Keempat, Bahwa kitab Sabil al
Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan
dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep
Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan
beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al
Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat
modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan
sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa
Penulis mengunakan
beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh
al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum
Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman
kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya.
Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang
hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi
sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren
(melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap,
statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit
porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah
diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang
gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu
dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.
تغير الفتوي
واختلافها بحسب تغير الازمنة
والامكنة والاحوال والنيات
والعواند[57]
”Fatwa
itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat
dan adat istiadat”.
Teori selanjutnya
al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah
Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair
(kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58]
Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara
dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi,
keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin
eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah
dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59]
Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan
al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60]
Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’
dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an
dan al-Hadits.
Ketiga: mengunakan teori change
and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan keduanya juga mengusung objek yang sama
mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan
paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change
and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle
of Islam in Indonesia,[61]
tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad
ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan
Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and
continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari
bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa
keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.
Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65] yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]
[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal
berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang
Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama
bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan
Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan
Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti
cengkeh dan pala. Kedua komoditi itu
telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan
bersama dengan pedagang asal India dan China.
Fakhriati, Sejarah Sosial
Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),
[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur
pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain; Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing
berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup
seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari
pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial,
Ekonomi dan Politik (Cet.I;
Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19
(Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996
[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang
yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di
Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III,
hlm. 11.
[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di
Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju
Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.
[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M.
Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk
menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth
al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu
Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat, Jurnal “Analisa” Volume XVI,
No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.
[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6
Zulhijah 1276 H (1860
M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013
). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran
Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar
darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah
ayah dari Buya
Hamka termasuk Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim
Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between
Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).
[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti
Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama
Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon,
Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad
Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten:
Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang
ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan
pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis
Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah
Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten
I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.
[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19.
Tangerang: Serat Alam Media
[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena
kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus.
Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk
menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada
hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu.
Bagaimanapun.
[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan
Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal
Muhtadin, (Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni
2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.
[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13
[53]Setiap tindakan
yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang
jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik
atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang
dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui.
Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri
telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat
yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh
akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak
adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk
menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam
hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh
tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas
dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu
yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu
dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan,
istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB
mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan
ikhtiyat untuk menghindari bahaya.
[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14
[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah
Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.
[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad
bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i
Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah..
Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah.
lahir 7 Shafar 691 H. Di kalangan para
ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir
lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab populernya nama ini
adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i,
beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di
Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala
Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan
tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini.
Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah
rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan
namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu
alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid,
Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13
Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun.
Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul
Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati
dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi),
Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.
[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin,
(Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).
[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân
al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.
[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul,
tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah,
1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah
Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi
Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr
al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.
[60] Al-Ghazali, 417.
[61] B. J Boland, The
Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.
[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal
(hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah
perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika
mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka
tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan
tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang
maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan
mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus
menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor.
Al-Azhar Pres, hal. 264).
[63]Abu Yusuf (Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2 masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi para pedagang dari penjuru dunia. Setelah aISLAM DI NUSANTARA
Kerajaan-kerajaan
Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan
puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan
tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta
memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan,
termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera,
kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan
Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi,
Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di
Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan
Kesultanan Tidore,[42]
serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]
Keberadaan
institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam
kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong
rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang
lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum
positif.[44]
Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada
masanya telah lahir seorang ulama yang
bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh
al-Banjari, penulis kitab Sabîl
al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45]
dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19
Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa
dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia,
bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh
al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama
pada umumnya. Untuk
lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan
Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun
Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan
dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di
dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku,
tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.
Pembicaraan mengenai tokoh
para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad
XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh tokon para
ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau
Jawa.[47]
Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain,
terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di
nusantara tak kalah pentingnya. Syekh
al-Banjari adalah salah satu ulama
yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.
Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari
Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan
singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di
Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48] Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya
merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari
Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang
sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini
kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang
pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]
Kajian
aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat
penting
bagi generasi berikutnya. Bagi seorang
tokoh, zaman dan geografis di mana ia hidup
serta tuntutan
umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis
yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian
ini mengungkap intelektualitas,
prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh
al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional,
dalam aspek pemikiran hukum Islam.
Karenanya, buku ini bertujuan
untuk mengungkap
aspek-aspek genuine[50] Syekh al-Banjari dari aspek epistemologi Hukum
Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]
Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis
diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki
produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang
tergolong
khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli
dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh
dan
telah diaplikasikannya secara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif,
induktif, dan gabungan antara keduanya, suatu metode
mencari kebenaran ilmiah
yang diakui hingga sekarang.
Akan
tetapi dalam
penerapan metode deduktif yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan
Syekh
al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang
pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih
di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh
sentris.[52]
Hal
ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari
hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu
Dzaria’at[53], terutama dalam kasus
pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak
wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan
bersuara nyaring
membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang
lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus. Bahkan
dalam kasus pengharaman memakan anak
wanyi yang
sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan
gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash
yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar yang
sangat urgen bagi pemenuhan zat-zat kimia yang sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan
tersebut, Syekh al-Banjari tetap menjadi
cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]
Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan
karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang
independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan
pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama
yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama
yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik,
pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut
dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat
modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan
kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya
memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh
al-Banjari banyak
memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga
sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan
khususnya di kesultan Banjar dan bagi
masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li
at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.
Kitab Sabilal Muhtadin ini
sebagai salah satu karya Syekh
al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan
makna bahwa Syekh
al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang
Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will
Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi
perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan
yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh
al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia
mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus
politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan
sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan
Kerajaan.
Jika dikaji
secara makro maka strategi dakwah Syekh
al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau
dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan
pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama
yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan
Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis
birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.
Syekh al-Banjari telah
menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan
kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari
beberapa aspek, antara lain:
Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu.
Keempat, Bahwa kitab Sabil al
Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan
dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep
Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan
beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al
Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat
modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan
sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa
Penulis mengunakan
beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh
al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum
Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman
kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya.
Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang
hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi
sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren
(melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap,
statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit
porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah
diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang
gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu
dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.
تغير الفتوي
واختلافها بحسب تغير الازمنة
والامكنة والاحوال والنيات
والعواند[57]
”Fatwa
itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat
dan adat istiadat”.
Teori selanjutnya
al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah
Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair
(kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58]
Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara
dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi,
keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin
eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah
dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59]
Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan
al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60]
Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’
dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an
dan al-Hadits.
Ketiga: mengunakan teori change
and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan keduanya juga mengusung objek yang sama
mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan
paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change
and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle
of Islam in Indonesia,[61]
tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad
ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan
Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and
continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari
bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa
keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.
Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65] yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]
[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal
berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang
Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama
bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan
Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan
Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti
cengkeh dan pala. Kedua komoditi itu
telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan
bersama dengan pedagang asal India dan China.
Fakhriati, Sejarah Sosial
Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),
[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur
pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain; Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing
berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup
seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari
pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial,
Ekonomi dan Politik (Cet.I;
Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19
(Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996
[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang
yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di
Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III,
hlm. 11.
[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di
Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju
Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.
[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M.
Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk
menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth
al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu
Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat, Jurnal “Analisa” Volume XVI,
No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.
[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6
Zulhijah 1276 H (1860
M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013
). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran
Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar
darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah
ayah dari Buya
Hamka termasuk Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim
Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between
Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).
[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti
Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama
Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon,
Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad
Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten:
Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang
ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan
pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis
Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah
Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten
I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.
[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19.
Tangerang: Serat Alam Media
[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena
kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus.
Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk
menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada
hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu.
Bagaimanapun.
[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan
Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal
Muhtadin, (Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni
2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.
[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13
[53]Setiap tindakan
yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang
jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik
atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang
dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui.
Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri
telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat
yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh
akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak
adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk
menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam
hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh
tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas
dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu
yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu
dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan,
istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB
mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan
ikhtiyat untuk menghindari bahaya.
[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14
[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah
Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.
[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad
bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i
Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah..
Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah.
lahir 7 Shafar 691 H. Di kalangan para
ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir
lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab populernya nama ini
adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i,
beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di
Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala
Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan
tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini.
Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah
rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan
namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu
alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid,
Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13
Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun.
Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul
Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati
dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi),
Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.
[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin,
(Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).
[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân
al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.
[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul,
tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah,
1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah
Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi
Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr
al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.
[60] Al-Ghazali, 417.
[61] B. J Boland, The
Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.
[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal
(hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah
perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika
mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka
tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan
tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang
maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan
mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus
menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor.
Al-Azhar Pres, hal. 264).
[63]Abu Yusuf (Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2 masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi para pedagang dari penjuru dunia. Setelah ayahnya waISLAM DI NUSANTARA
Kerajaan-kerajaan
Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan
puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan
tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta
memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan,
termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera,
kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan
Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi,
Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di
Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan
Kesultanan Tidore,[42]
serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]
Keberadaan
institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam
kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong
rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang
lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum
positif.[44]
Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada
masanya telah lahir seorang ulama yang
bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh
al-Banjari, penulis kitab Sabîl
al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45]
dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19
Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa
dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia,
bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh
al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama
pada umumnya. Untuk
lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan
Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun
Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan
dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di
dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku,
tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.
Pembicaraan mengenai tokoh
para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad
XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh tokon para
ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau
Jawa.[47]
Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain,
terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di
nusantara tak kalah pentingnya. Syekh
al-Banjari adalah salah satu ulama
yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.
Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari
Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan
singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di
Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48] Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya
merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari
Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang
sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini
kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang
pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]
Kajian
aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat
penting
bagi generasi berikutnya. Bagi seorang
tokoh, zaman dan geografis di mana ia hidup
serta tuntutan
umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis
yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian
ini mengungkap intelektualitas,
prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh
al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional,
dalam aspek pemikiran hukum Islam.
Karenanya, buku ini bertujuan
untuk mengungkap
aspek-aspek genuine[50] Syekh al-Banjari dari aspek epistemologi Hukum
Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]
Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis
diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki
produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang
tergolong
khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli
dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh
dan
telah diaplikasikannya secara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif,
induktif, dan gabungan antara keduanya, suatu metode
mencari kebenaran ilmiah
yang diakui hingga sekarang.
Akan
tetapi dalam
penerapan metode deduktif yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan
Syekh
al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang
pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih
di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh
sentris.[52]
Hal
ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari
hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu
Dzaria’at[53], terutama dalam kasus
pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak
wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan
bersuara nyaring
membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang
lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus. Bahkan
dalam kasus pengharaman memakan anak
wanyi yang
sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan
gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash
yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar yang
sangat urgen bagi pemenuhan zat-zat kimia yang sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan
tersebut, Syekh al-Banjari tetap menjadi
cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]
Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan
karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang
independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan
pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama
yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama
yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik,
pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut
dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat
modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan
kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya
memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh
al-Banjari banyak
memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga
sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan
khususnya di kesultan Banjar dan bagi
masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li
at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.
Kitab Sabilal Muhtadin ini
sebagai salah satu karya Syekh
al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan
makna bahwa Syekh
al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang
Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will
Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi
perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan
yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh
al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia
mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus
politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan
sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan
Kerajaan.
Jika dikaji
secara makro maka strategi dakwah Syekh
al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau
dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan
pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama
yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan
Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis
birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.
Syekh al-Banjari telah
menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan
kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari
beberapa aspek, antara lain:
Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu.
Keempat, Bahwa kitab Sabil al
Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan
dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep
Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan
beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al
Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat
modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan
sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa
Penulis mengunakan
beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh
al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum
Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman
kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya.
Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang
hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi
sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren
(melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap,
statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit
porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah
diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang
gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu
dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.
تغير الفتوي
واختلافها بحسب تغير الازمنة
والامكنة والاحوال والنيات
والعواند[57]
”Fatwa
itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat
dan adat istiadat”.
Teori selanjutnya
al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah
Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair
(kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58]
Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara
dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi,
keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin
eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah
dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59]
Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan
al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60]
Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’
dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an
dan al-Hadits.
Ketiga: mengunakan teori change
and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan keduanya juga mengusung objek yang sama
mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan
paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change
and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle
of Islam in Indonesia,[61]
tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad
ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan
Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and
continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari
bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa
keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.
Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65] yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]
[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal
berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang
Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama
bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan
Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan
Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti
cengkeh dan pala. Kedua komoditi itu
telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan
bersama dengan pedagang asal India dan China.
Fakhriati, Sejarah Sosial
Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),
[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur
pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain; Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing
berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup
seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari
pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial,
Ekonomi dan Politik (Cet.I;
Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19
(Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996
[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang
yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di
Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III,
hlm. 11.
[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di
Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju
Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.
[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M.
Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk
menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth
al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu
Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat, Jurnal “Analisa” Volume XVI,
No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.
[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6
Zulhijah 1276 H (1860
M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013
). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran
Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar
darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah
ayah dari Buya
Hamka termasuk Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim
Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between
Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).
[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti
Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama
Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon,
Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad
Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten:
Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang
ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan
pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis
Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah
Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten
I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.
[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19.
Tangerang: Serat Alam Media
[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena
kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus.
Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk
menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada
hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu.
Bagaimanapun.
[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan
Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal
Muhtadin, (Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni
2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.
[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13
[53]Setiap tindakan
yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang
jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik
atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang
dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui.
Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri
telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat
yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh
akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak
adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk
menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam
hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh
tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas
dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu
yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu
dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan,
istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB
mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan
ikhtiyat untuk menghindari bahaya.
[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14
[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah
Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.
[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad
bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i
Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah..
Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah.
lahir 7 Shafar 691 H. Di kalangan para
ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir
lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab populernya nama ini
adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i,
beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di
Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala
Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan
tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini.
Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah
rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan
namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu
alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid,
Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13
Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun.
Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul
Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati
dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi),
Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.
[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin,
(Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).
[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân
al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.
[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul,
tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah,
1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah
Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi
Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr
al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.
[60] Al-Ghazali, 417.
[61] B. J Boland, The
Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.
[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal
(hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah
perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika
mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka
tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan
tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang
maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan
mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus
menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor.
Al-Azhar Pres, hal. 264).
[63]Abu Yusuf
(Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2
masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan
bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah
Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang
mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan
ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi
para pedagang dari penjuru dunia. Setelah ayahnya wafat, beliau dititipkan oleh
ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya
sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke
tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena
itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan
banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu
Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau
memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun
al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh
pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu
(opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj.
lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab
al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.
[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas
barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat
dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan
diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar
bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah
diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan.
Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin
Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan
yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan
Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.
[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada
orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak
mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
hal. 595).
[66]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,
Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,
[67]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.fat, beliau dititipkan oleh
ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya
sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke
tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena
itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan
banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu
Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau
memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun
al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh
pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu
(opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj.
lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab
al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.
[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas
barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat
dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan
diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar
bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah
diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan.
Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin
Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan
yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan
Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.
[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada
orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak
mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
hal. 595).
[66]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,
Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,
[67]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.yahnya wafat, beliau dititipkan oleh
ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya
sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke
tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena
itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan
banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu
Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau
memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun
al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh
pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu
(opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj.
lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab
al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.
[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas
barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat
dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan
diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar
bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah
diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan.
Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin
Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan
yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan
Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.
[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada
orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak
mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
hal. 595).
[66]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,
Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,
[67]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.
Kerajaan-kerajaan
Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan
puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan
tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta
memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan,
termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera,
kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan
Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi,
Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di
Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan
Kesultanan Tidore,[42]
serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]
Keberadaan
institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam
kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong
rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang
lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum
positif.[44]
Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada
masanya telah lahir seorang ulama yang
bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh
al-Banjari, penulis kitab Sabîl
al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45]
dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19
Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa
dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia,
bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh
al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama
pada umumnya. Untuk
lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan
Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun
Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan
dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di
dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku,
tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.
Pembicaraan mengenai tokoh
para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad
XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh tokon para
ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau
Jawa.[47]
Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain,
terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di
nusantara tak kalah pentingnya. Syekh
al-Banjari adalah salah satu ulama
yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.
Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari
Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan
singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di
Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48] Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya
merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari
Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang
sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini
kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang
pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]
Kajian
aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat
penting
bagi generasi berikutnya. Bagi seorang
tokoh, zaman dan geografis di mana ia hidup
serta tuntutan
umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis
yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian
ini mengungkap intelektualitas,
prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh
al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional,
dalam aspek pemikiran hukum Islam.
Karenanya, buku ini bertujuan
untuk mengungkap
aspek-aspek genuine[50] Syekh al-Banjari dari aspek epistemologi Hukum
Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]
Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis
diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki
produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang
tergolong
khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli
dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh
dan
telah diaplikasikannya secara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif,
induktif, dan gabungan antara keduanya, suatu metode
mencari kebenaran ilmiah
yang diakui hingga sekarang.
Akan
tetapi dalam
penerapan metode deduktif yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan
Syekh
al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang
pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih
di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh
sentris.[52]
Hal
ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari
hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu
Dzaria’at[53], terutama dalam kasus
pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak
wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan
bersuara nyaring
membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang
lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus. Bahkan
dalam kasus pengharaman memakan anak
wanyi yang
sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan
gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash
yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar yang
sangat urgen bagi pemenuhan zat-zat kimia yang sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan
tersebut, Syekh al-Banjari tetap menjadi
cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]
Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan
karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang
independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan
pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama
yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama
yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik,
pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut
dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat
modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan
kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya
memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh
al-Banjari banyak
memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga
sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan
khususnya di kesultan Banjar dan bagi
masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li
at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.
Kitab Sabilal Muhtadin ini
sebagai salah satu karya Syekh
al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan
makna bahwa Syekh
al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang
Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will
Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi
perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan
yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh
al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia
mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus
politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan
sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan
Kerajaan.
Jika dikaji
secara makro maka strategi dakwah Syekh
al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau
dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan
pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama
yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan
Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis
birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.
Syekh al-Banjari telah
menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan
kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari
beberapa aspek, antara lain:
Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu.
Keempat, Bahwa kitab Sabil al
Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan
dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep
Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan
beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al
Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat
modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan
sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa
Penulis mengunakan
beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh
al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum
Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman
kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya.
Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang
hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi
sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren
(melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap,
statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit
porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah
diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang
gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu
dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.
تغير الفتوي
واختلافها بحسب تغير الازمنة
والامكنة والاحوال والنيات
والعواند[57]
”Fatwa
itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat
dan adat istiadat”.
Teori selanjutnya
al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah
Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair
(kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58]
Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara
dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi,
keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin
eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah
dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59]
Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan
al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60]
Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’
dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an
dan al-Hadits.
Ketiga: mengunakan teori change
and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan keduanya juga mengusung objek yang sama
mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan
paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change
and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle
of Islam in Indonesia,[61]
tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad
ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan
Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and
continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari
bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa
keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.
Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65] yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]
[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal
berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang
Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama
bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan
Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan
Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti
cengkeh dan pala. Kedua komoditi itu
telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan
bersama dengan pedagang asal India dan China.
Fakhriati, Sejarah Sosial
Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),
[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur
pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain; Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing
berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup
seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari
pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial,
Ekonomi dan Politik (Cet.I;
Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19
(Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996
[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang
yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di
Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III,
hlm. 11.
[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di
Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju
Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.
[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M.
Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk
menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth
al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu
Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat, Jurnal “Analisa” Volume XVI,
No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.
[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6
Zulhijah 1276 H (1860
M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013
). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran
Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar
darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah
ayah dari Buya
Hamka termasuk Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim
Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between
Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).
[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti
Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama
Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon,
Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad
Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten:
Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang
ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan
pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis
Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah
Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten
I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.
[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19.
Tangerang: Serat Alam Media
[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena
kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus.
Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk
menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada
hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu.
Bagaimanapun.
[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan
Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal
Muhtadin, (Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni
2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.
[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13
[53]Setiap tindakan
yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang
jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik
atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang
dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui.
Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri
telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat
yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh
akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak
adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk
menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam
hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh
tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas
dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu
yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu
dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan,
istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB
mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan
ikhtiyat untuk menghindari bahaya.
[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14
[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah
Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.
[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad
bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i
Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah..
Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah.
lahir 7 Shafar 691 H. Di kalangan para
ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir
lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab populernya nama ini
adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i,
beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di
Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala
Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan
tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini.
Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah
rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan
namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu
alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid,
Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13
Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun.
Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul
Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati
dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi),
Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.
[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin,
(Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).
[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân
al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.
[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul,
tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah,
1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah
Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi
Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr
al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.
[60] Al-Ghazali, 417.
[61] B. J Boland, The
Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.
[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal
(hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah
perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika
mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka
tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan
tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang
maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan
mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus
menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor.
Al-Azhar Pres, hal. 264).
[63]Abu Yusuf
(Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2
masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan
bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah
Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang
mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan
ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi
para pedagang dari penjuru dunia. Setelah ayahnya wafat, beliau dititipkan oleh
ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya
sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke
tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena
itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan
banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu
Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau
memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun
al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh
pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu
(opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj.
lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab
al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.
[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas
barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat
dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan
diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar
bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah
diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan.
Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin
Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan
yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan
Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.
[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada
orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak
mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press,
hal. 595).
[66]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,
Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,
[67]Ya’qub Ibn
Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar