Senin, 03 Oktober 2022

 

ISLAM DI NUSANTARA

 ISLAM DI NUSANTARA

 

Kerajaan-kerajaan Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan, termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera, kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi, Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan Kesultanan Tidore,[42] serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]

Keberadaan institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum positif.[44]

Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada masanya telah lahir seorang  ulama yang bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh al-Banjari, penulis kitab Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45] dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia, bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama pada umumnya. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku, tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.

Pembicaraan mengenai tokoh para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh  tokon para  ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau Jawa.[47] Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain, terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di nusantara tak kalah pentingnya. Syekh al-Banjari adalah salah satu ulama yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.

Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48]  Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]

Kajian aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat penting bagi generasi berikutnya. Bagi seorang tokoh, zaman  dan geografis di mana ia hidup serta tuntutan umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian ini mengungkap intelektualitas, prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional, dalam aspek pemikiran hukum Islam. Karenanya, buku ini bertujuan untuk mengungkap  aspek-aspegenuine[50]  Syekh al-Banjari dari  aspeepistemologi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa  syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]

Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang tergolong khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh dan telah diaplikasikannysecara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif, induktif,  dan  gabungan  antara  keduanyasuatu  metode  mencari  kebenaran ilmiah  yang  diakui  hingga  sekarang.  Akan  tetapi  dalam  penerapan  metode deduktif  yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan Syekh al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh sentris.[52]

Hal ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu Dzaria’at[53], terutama dalam kasus pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan bersuara nyaring membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus.  Bahkan  dalam  kasus  pengharaman  memakan  anak wanyi yang sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar  yang  sangat  urgen  bagi  pemenuhan  zat-zat kimia yang  sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan tersebut Syekh al-Banjari tetap menjadi cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]

Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik, pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh al-Banjari banyak memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan khususnya di kesultan Banjar dan  bagi masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.

Kitab Sabilal Muhtadin ini sebagai salah satu karya Syekh al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan makna bahwa Syekh al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan Kerajaan.

Jika dikaji secara makro maka strategi dakwah Syekh al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.

Syekh al-Banjari  telah menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari beberapa aspek, antara lain:

            Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu. 

            Keempat, Bahwa kitab Sabil al Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa

Penulis mengunakan beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya. Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.

تغير الفتوي  واختلافها بحسب تغير الازمنة  والامكنة  والاحوال  والنيات  والعواند[57]

Fatwa itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat dan adat istiadat.

 

  Teori selanjutnya al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58] Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59] Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60] Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’ dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an dan al-Hadits.

Ketiga: mengunakan teori change and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan  keduanya juga mengusung objek yang sama mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle of Islam in Indonesia,[61] tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.

            Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
            Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65]  yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]

 



[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti cengkeh dan  pala. Kedua komoditi itu telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan bersama dengan pedagang asal India dan China.  Fakhriati, Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),

[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain;  Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial, Ekonomi  dan Politik (Cet.I; Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19 (Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996

[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 11.

[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.

[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M. Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat,  Jurnal “Analisa” Volume XVI, No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.

[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6 Zulhijah 1276 H (1860 M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013 ). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah ayah dari Buya Hamka termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).

[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon, Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten: Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.

[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19. Tangerang: Serat Alam Media

[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus. Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu. Bagaimanapun.

[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal Muhtadin,  (Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.

[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13

[53]Setiap tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan ikhtiyat untuk menghindari bahaya.

[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14

[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.

[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.. Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah. lahir 7 Shafar 691 H.  Di kalangan para ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab  populernya nama ini adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i, beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini. Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid, Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13 Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun. Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi), Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.

[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).

[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.

[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul, tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.

[60] Al-Ghazali, 417.

[61] B. J Boland, The Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.

[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal (hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor. Al-Azhar Pres, hal. 264).

[63]Abu Yusuf (Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2 masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi para pedagang dari penjuru dunia. Setelah aISLAM DI NUSANTARA

 

Kerajaan-kerajaan Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan, termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera, kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi, Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan Kesultanan Tidore,[42] serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]

Keberadaan institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum positif.[44]

Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada masanya telah lahir seorang  ulama yang bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh al-Banjari, penulis kitab Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45] dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia, bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama pada umumnya. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku, tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.

Pembicaraan mengenai tokoh para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh  tokon para  ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau Jawa.[47] Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain, terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di nusantara tak kalah pentingnya. Syekh al-Banjari adalah salah satu ulama yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.

Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48]  Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]

Kajian aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat penting bagi generasi berikutnya. Bagi seorang tokoh, zaman  dan geografis di mana ia hidup serta tuntutan umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian ini mengungkap intelektualitas, prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional, dalam aspek pemikiran hukum Islam. Karenanya, buku ini bertujuan untuk mengungkap  aspek-aspegenuine[50]  Syekh al-Banjari dari  aspeepistemologi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa  syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]

Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang tergolong khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh dan telah diaplikasikannysecara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif, induktif,  dan  gabungan  antara  keduanyasuatu  metode  mencari  kebenaran ilmiah  yang  diakui  hingga  sekarang.  Akan  tetapi  dalam  penerapan  metode deduktif  yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan Syekh al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh sentris.[52]

Hal ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu Dzaria’at[53], terutama dalam kasus pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan bersuara nyaring membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus.  Bahkan  dalam  kasus  pengharaman  memakan  anak wanyi yang sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar  yang  sangat  urgen  bagi  pemenuhan  zat-zat kimia yang  sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan tersebut Syekh al-Banjari tetap menjadi cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]

Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik, pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh al-Banjari banyak memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan khususnya di kesultan Banjar dan  bagi masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.

Kitab Sabilal Muhtadin ini sebagai salah satu karya Syekh al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan makna bahwa Syekh al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan Kerajaan.

Jika dikaji secara makro maka strategi dakwah Syekh al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.

Syekh al-Banjari  telah menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari beberapa aspek, antara lain:

            Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu. 

            Keempat, Bahwa kitab Sabil al Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa

Penulis mengunakan beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya. Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.

تغير الفتوي  واختلافها بحسب تغير الازمنة  والامكنة  والاحوال  والنيات  والعواند[57]

Fatwa itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat dan adat istiadat.

 

  Teori selanjutnya al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58] Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59] Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60] Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’ dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an dan al-Hadits.

Ketiga: mengunakan teori change and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan  keduanya juga mengusung objek yang sama mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle of Islam in Indonesia,[61] tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.

            Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
            Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65]  yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]

 



[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti cengkeh dan  pala. Kedua komoditi itu telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan bersama dengan pedagang asal India dan China.  Fakhriati, Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),

[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain;  Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial, Ekonomi  dan Politik (Cet.I; Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19 (Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996

[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 11.

[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.

[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M. Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat,  Jurnal “Analisa” Volume XVI, No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.

[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6 Zulhijah 1276 H (1860 M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013 ). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah ayah dari Buya Hamka termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).

[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon, Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten: Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.

[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19. Tangerang: Serat Alam Media

[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus. Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu. Bagaimanapun.

[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal Muhtadin,  (Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.

[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13

[53]Setiap tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan ikhtiyat untuk menghindari bahaya.

[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14

[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.

[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.. Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah. lahir 7 Shafar 691 H.  Di kalangan para ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab  populernya nama ini adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i, beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini. Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid, Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13 Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun. Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi), Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.

[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).

[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.

[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul, tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.

[60] Al-Ghazali, 417.

[61] B. J Boland, The Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.

[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal (hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor. Al-Azhar Pres, hal. 264).

[63]Abu Yusuf (Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2 masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi para pedagang dari penjuru dunia. Setelah ayahnya waISLAM DI NUSANTARA

 

Kerajaan-kerajaan Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan, termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera, kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi, Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan Kesultanan Tidore,[42] serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]

Keberadaan institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum positif.[44]

Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada masanya telah lahir seorang  ulama yang bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh al-Banjari, penulis kitab Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45] dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia, bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama pada umumnya. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku, tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.

Pembicaraan mengenai tokoh para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh  tokon para  ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau Jawa.[47] Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain, terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di nusantara tak kalah pentingnya. Syekh al-Banjari adalah salah satu ulama yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.

Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48]  Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]

Kajian aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat penting bagi generasi berikutnya. Bagi seorang tokoh, zaman  dan geografis di mana ia hidup serta tuntutan umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian ini mengungkap intelektualitas, prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional, dalam aspek pemikiran hukum Islam. Karenanya, buku ini bertujuan untuk mengungkap  aspek-aspegenuine[50]  Syekh al-Banjari dari  aspeepistemologi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa  syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]

Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang tergolong khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh dan telah diaplikasikannysecara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif, induktif,  dan  gabungan  antara  keduanyasuatu  metode  mencari  kebenaran ilmiah  yang  diakui  hingga  sekarang.  Akan  tetapi  dalam  penerapan  metode deduktif  yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan Syekh al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh sentris.[52]

Hal ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu Dzaria’at[53], terutama dalam kasus pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan bersuara nyaring membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus.  Bahkan  dalam  kasus  pengharaman  memakan  anak wanyi yang sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar  yang  sangat  urgen  bagi  pemenuhan  zat-zat kimia yang  sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan tersebut Syekh al-Banjari tetap menjadi cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]

Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik, pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh al-Banjari banyak memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan khususnya di kesultan Banjar dan  bagi masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.

Kitab Sabilal Muhtadin ini sebagai salah satu karya Syekh al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan makna bahwa Syekh al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan Kerajaan.

Jika dikaji secara makro maka strategi dakwah Syekh al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.

Syekh al-Banjari  telah menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari beberapa aspek, antara lain:

            Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu. 

            Keempat, Bahwa kitab Sabil al Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa

Penulis mengunakan beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya. Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.

تغير الفتوي  واختلافها بحسب تغير الازمنة  والامكنة  والاحوال  والنيات  والعواند[57]

Fatwa itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat dan adat istiadat.

 

  Teori selanjutnya al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58] Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59] Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60] Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’ dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an dan al-Hadits.

Ketiga: mengunakan teori change and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan  keduanya juga mengusung objek yang sama mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle of Islam in Indonesia,[61] tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.

            Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
            Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65]  yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]

 



[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti cengkeh dan  pala. Kedua komoditi itu telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan bersama dengan pedagang asal India dan China.  Fakhriati, Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),

[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain;  Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial, Ekonomi  dan Politik (Cet.I; Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19 (Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996

[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 11.

[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.

[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M. Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat,  Jurnal “Analisa” Volume XVI, No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.

[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6 Zulhijah 1276 H (1860 M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013 ). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah ayah dari Buya Hamka termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).

[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon, Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten: Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.

[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19. Tangerang: Serat Alam Media

[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus. Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu. Bagaimanapun.

[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal Muhtadin,  (Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.

[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13

[53]Setiap tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan ikhtiyat untuk menghindari bahaya.

[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14

[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.

[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.. Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah. lahir 7 Shafar 691 H.  Di kalangan para ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab  populernya nama ini adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i, beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini. Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid, Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13 Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun. Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi), Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.

[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).

[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.

[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul, tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.

[60] Al-Ghazali, 417.

[61] B. J Boland, The Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.

[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal (hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor. Al-Azhar Pres, hal. 264).

[63]Abu Yusuf (Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2 masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi para pedagang dari penjuru dunia. Setelah ayahnya wafat, beliau dititipkan oleh ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu (opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj. lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.

[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.

[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press, hal. 595).

[66]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,

[67]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.fat, beliau dititipkan oleh ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu (opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj. lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.

[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.

[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press, hal. 595).

[66]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,

[67]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.yahnya wafat, beliau dititipkan oleh ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu (opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj. lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.

[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.

[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press, hal. 595).

[66]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,

[67]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.

Kerajaan-kerajaan Islam berdiri di beberapa wilayah dinusantara pada abad XVIII, abad ini merupakan puncak perkembangan Islam. kerajaan-kerajaan tersebut secara konsepsional, dimaksudkan tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya serta memberikan kebebasan bagi rakyat agar kreatif dalam segala bidang kehidupan, termasuk berdagang, kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain di pulau Sumatera, kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan Samudera Pasai, di pulau Jawa, kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, dan Kesultanan Cireboni, di pulau Sulawesi, Kesultanan Makasar yang merupakan gabungan dari kesultanan Gowa dan Tallo, di Pulau Maluku Kesultanan Ternate[41] dan Kesultanan Tidore,[42] serta di pulau Kalimantan ada kerajaan Banjar.[43]

Keberadaan institusi politik Islam menjadi indikasi kuat bahwa hukum Islam telah berlaku dalam kehidupan masyarakat nusantara saat itu, para raja bersama para ulama mendorong rakyatnya untuk mengikuti peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam ruang lingkup institusi politik kerajaan dan memberlakukan hukum Islam sebagai hukum positif.[44]

Kesultanan Banjar diabad XVIII-XIX yang pada masanya telah lahir seorang  ulama yang bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) selanjutnya disebut Syekh al-Banjari, penulis kitab Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.[45] dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis 15 Safar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710M. Mengenai tulisan tentang Syekh al-Banjari bisa dikatakan masih dalam posisi pinggiran pada historiografi Islam di Indonesia, bentuk penulisan yang ada baru sebatas pembahasan yang terpusat pada Syekh al-Banjari, tidak dalam hubungan dan kedudukan serta kipra beliau sebagai ulama pada umumnya. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan hasil temuan pada Kajian Pustaka dan Hasil Kajian yang Relevan di Syekh al-Banjari ini. Meskipun Syekh al-Banjari ada beberapa persamaan dengan kedudukan ulama-ulama dalam masyarakat Jawa dan Sumatera, tetapi di dalamnya Syekh al-Banjari terselip pula kekhasan dan keunikan sosok, prilaku, tindakan dan pemikirannya dikarenakan berbagai faktor yang melingkupinya.

Pembicaraan mengenai tokoh para ulama-ulama yang tersebar di wilayah kepulauan nusantara pada masa abad XVIII dan abad XIX seringkali diramaikan oleh  tokon para  ulama-ulama yang berasal dari pulau Sumatera[46] atau pulau Jawa.[47] Sayangnya belum banyak yang memberi perhatian pada ulama dari daerah lain, terlebih dari Kalimantan. Padahal kontribusi mereka dalam mendakwahkan Islam di nusantara tak kalah pentingnya. Syekh al-Banjari adalah salah satu ulama yang tunjukkan peran besarnya dalam menorehkan tinta emas di nusantara.

Nama Syekh al-Banjari dinisbatkan kepada asal usul beliau yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Istilah Banjar sendiri merupakan penyebutan singkat untuk Banjarmasin. Sebuah Kesultanan besar yang pernah berdiri di Kalimantan. Istilah Banjarmasin sebutan untuk Kampung Oloh Masih atau Orang Melayu.[48]  Asal usul orang Banjar sendiri tampaknya merupakan gelombang kedua orang-orang Melayu yang bermigrasi ke Kalimantan dari Sumatera di masa lampau. Gelombang pertama merupakan orang-orang Melayu yang sudah lebih dahulu menetap di Kalimantan. Orang-orang gelombang pertama ini kemudian terdesak oleh kedatangan orang-orang Banjar. Mereka (orang gelombang pertama) kemudian bergeser ke pedalaman, yang kelak disebut orang-orang Dayak.[49]

Kajian aspek intelektualitas seorang tokoh memiliki urgensi yang sangat penting bagi generasi berikutnya. Bagi seorang tokoh, zaman  dan geografis di mana ia hidup serta tuntutan umat di mana ia dibesarkan menjadi aspek dealiktis yang membentuk pola pikir sebagai tanggung jawab intelektualnya. Penelitian ini mengungkap intelektualitas, prilaku, tindakan dan pemikiran Syekh al-Banjari, seorang tokoh intelektual tanah Banjar yang pemikirannya cukup berpengaruh bagi kehidupan keagamaan internasional, dalam aspek pemikiran hukum Islam. Karenanya, buku ini bertujuan untuk mengungkap  aspek-aspek  genuine[50]  Syekh al-Banjari dari  aspek  epistemologi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap keberadaan perda-perda bernuangsa  syariah di Banjarmasin dan sekitarnya[51]

Menurut Darli bahwa Metode studi naskah dengan subjek kitab Sabil al-Muhtadin dan dengan pendekatan filosofis diketahui bahwa Syekh al-Banjari memiliki produk pemikiran hukum yang khas. Ada sekitar tiga belas pemikirannya yang tergolong khas. Dari deskripsi pikiran khasnya itu diketahui bahwa Syekh al-Banjari bukan saja ahli dalam fiqh, tetapi piawai dalam penguasaan epistemologi fiqh dan telah diaplikasikannya  secara tepat sesuai kondisi dan situasi umat dikala ia hidup. Secara metodologis, Syekh al-Banjari telah menggunakan tiga model ijtihad, deduktif, induktif,  dan  gabungan  antara  keduanya,  suatu  metode  mencari  kebenaran ilmiah  yang  diakui  hingga  sekarang.  Akan  tetapi  dalam  penerapan  metode deduktif  yang seyogyanya hanya mengacu kepada ayat al-Qur’an dan atau hadits Nabi diterapkan Syekh al-Banjari melebar sampai kepada pendapat ulama terdahulu dan hal ini cukup berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat awam yang pangkalnya juga dapat ditelusuri dalam pengajian fikih di dunia pesantren tradisional yang melahirkan pola fiqh sentris.[52]

Hal ini tentu menunjukkan bahwa Syekh al-Banjari hanyalah mujtahid fil mazhab dalam penarapan metode induktif, intelektual Syekh al-Banjari sangat sukses dengan menggunakan teori Mashlahat dan Saddu Dzaria’at[53], terutama dalam kasus pengentasan kemiskinan melalui konsep distribusi zakat, pemakaian tabala, haram memakan anak wanyi yang sudah menjadi ulat, larangan bersuara nyaring membaca al-Qur’an jika dikhawatirkan akan mengganggu orang lain, dan hukum melaksanakan shalat berjamaah di tempat khusus.  Bahkan  dalam  kasus  pengharaman  memakan  anak wanyi yang sudah menjadi ulat, Syekh al-Banjari menggunakan gabungan pendekatan deduktif dan induktif. Secara deduktif terdapat nash-nash yang melarang memusnahkan anak binatang dan secara induktif lebah menjadi bahan dasar  yang  sangat  urgen  bagi  pemenuhan  zat-zat kimia yang  sangat diperlukan bagi pembentukan daya imun tubuh manusia. Dari beberapa temuan tersebut,   Syekh al-Banjari tetap menjadi cermin perkembangan inleketual yang responsive terhadap zamannya bagi generasi sekarang dan akan datang.[54]

Syekh al-Banjari sebagai kajian dalam buku ini disebabkan karena beberapa pertimbangan; Pertama, ia seorang mujtahid yang independen dan modern yang memberikan semangat untuk membuat gagasan dan pemikiran Politik hukum Islam yang baru tanpa harus terikat pada warisan lama yang kurang sesuai dengan zaman sekarang, Kedua, ia adalah seorang ulama yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang fiqh dan ushûl fiqh, dakwah, politik, pendidikan, ekonomi Islam, Tasawuf, Ketiga, wawasan fiqh SAB yang mengarah ada sikap tawasut dan realistis terhadap perubahan zaman sehingga dapat diterima masyarakat modern, Keempat, mampu mengkomukinasikan persoalan-persoalan kontemporerd dengan cara berpikir orang modern, Kelima, fatwa-fatwanya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam, Keenam, sebagai penasehat Sultan Syekh al-Banjari banyak memberikan kontribusi pemikiran politik hukum kepada kesultanan Banjar sehingga sultan memerintahkan Syekh al-Banjari untuk membuat kitab sebagai pedoman kehidupan khususnya di kesultan Banjar dan  bagi masyarakat Banjar dan kitab tersebut bernama Sabîl al-Muhtadîn li at-Tafaqquh fî Amr ad-Dîn.

Kitab Sabilal Muhtadin ini sebagai salah satu karya Syekh al-Banjari yang berisikan tentang hukum Islam. Gambaran tersebut memberikan makna bahwa Syekh al-Banjari telah memberikan visi pada Sultan untuk mewujudkan masyarakat yang Islami dalam kerangka kedaulatan Kesultanan Banjar, disamping Political Will Sultan untuk melakukan kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi perkembangan Islam, hal ini dikemudian hari berujung pada berjalannya sistem pemerintahan yang stabil. Disisi lain Karisma Syekh al-Banjari bersinar dan menggema diwilayah Kerajan Banjar, dikarenakan dia mampu secara tepat menempatkan diri dan posisi dalam memainkan peran dalam arus politik Kekuasaaan kerajaan Banjar yang saat itu sangat terpusat pada Sultan sehingga beliau dapat menjadi media komunikasi kepentingan antara rakyat dan Kerajaan.

Jika dikaji secara makro maka strategi dakwah Syekh al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai, maka yang dilakukan oleh beliau dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, baru kemudian memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif demi kebaikan pemerintahan kesultanan. Syekh al-Banjari adalah ulama yang benar-benar arif dan dapat diterima oleh semua kalangan elite Kesultanan Banjar termasuk Sultan Sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya secara pribadi.

Syekh al-Banjari  telah menempatkan dasar-dasar pelembagaan hukum Islam secara rasional berdasarkan kondisi masyarakat Banjar pada abad ke 18-19. Hal ini dapat di tinjau dari beberapa aspek, antara lain:

            Pertama; Bahwa Islam merupakan agama yang diapresiasi dikalangan masyarakat Banjar telah berhasil bersamaan dengan perkembangnya hukum adat, pemikiran Syekh al-Banjari tentang hukum Islam tidak semata-mata didasarkan pada pandangan argumentasi yang dangkal fakta empiris praktik hukum Islam masyarakat. Dalam hal ini pemikiran Syekh al-Banjari adalah bentuk pencairan konsepsi yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kedua; Bahwa Syekh al-Banjari menempatkan tiga institusi hukum Islam yang paling otoritatif, yaitu Dewan Mahkota, qodhi dan mufti secara proporsional, berdasarkan fenomena sosial dan Islam yang mapan saat itu. Ketiga, Bahwa pemikirannya banyak digunakan oleh kesultanan Banjar untuk perbaikan sistem sosial dan hukum Islam di kesultanan Indonesia pada abad ke-18, seperti dalam bentuk peningkatan kualitas dan kualitas penghulu. 

            Keempat, Bahwa kitab Sabil al Muhatadin dewasa ini oleh masyarakat Banjar tidak seluruhnya dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, Bahwa untuk Memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari dengan mengunakan beberapa teori, diantara: Teori Kredo, Teori Perubahan Hukum, dan teori al Mashlahah serta teori change and continuity: Perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang abadi sifatnya, selalu terjadi sepanjang masa

Penulis mengunakan beberapa teori untuk memahami tentang konsep Pemikiran Politik Hukum Islam Syekh al-Banjari, diantaranya: Pertama: Teori Kredo atau syahadah, teori ini di kembangkan oleh Juhaya S. Praja,[55] Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip monoteisme dalam filsafat hukum Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah swt, maka ia harus tunduk kepada-Nya. Kedua: mengunakan Teori Perubahan Hukum dari Ibn Qayyim al- Jawziyyah,[56] bahwa perubahan sosial dalam masyarakat modern menuntut adanya perubahan dibidang hukum, seperti halnya perubahan sosial, merupakan sesuatu yang perenial (abadi sifatnya), selalu terjadi sepanjang masa. Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu.

تغير الفتوي  واختلافها بحسب تغير الازمنة  والامكنة  والاحوال  والنيات  والعواند[57]

Fatwa itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, niat dan adat istiadat.

 

  Teori selanjutnya al-Mashlahah, Teori Al-Mashlahah Secara etimologis, kata al-maslahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn (kebaikan).[58] Sedangkan al-mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan/kehormatan dan harta benda/kekayaan. Setiap sesuatu yang menjamin eksistensi lima hal tersebut dinilai sebagai al-mashlahah, maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian digolongkan sebagai al-mashlahah.[59] Dalam arti syara’ al-mashlahah adalah sebab yang membawa pada tujuan al-Syari’, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun masalah muamalah.[60] Diakui bahwa al-mashlahah merupakan tujuan yang dikehendaki al-Syari’ dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui al-Nushush berupa al-Qur’an dan al-Hadits.

Ketiga: mengunakan teori change and continuity yang dimunculkan oleh Harry Benda dan B.J Boland dan  keduanya juga mengusung objek yang sama mengenai perkembangan hukum Islam di Indonesia, tetapi akan ditemui perbedaan paradigma, meskipun keduanya saling melengkapi. Boland melahirkan teori change and continuity dapat disimpulkan dari bukunya yang berjudul The Struggle of Islam in Indonesia,[61] tulisan ini memfokuskan pada perkembangan Islam di Kesultanan Banjar pada abad ke 18, peran dan kontribusinya dalam pembentukan politik Hukum di Kesultanan Banjar. Pemaparan Boland tidak secara spesifik menegaskan change and continuity, namun dapat diindikasikan melalui pembahasan bab per bab dari bukunya. Selain itu ia juga banyak memakai teori Harry Benda dalam menganalisa keterkaitan antara Islam Kesultanan Banjar dan pada masa sesudah kemerdekaan.

            Perubahan hukum merupakan hal yang inheren (melekat) dalam ajaran Islam, karena ajaran Islam yang bersifat tetap, statis (qat'i) yang tidak berubah sepanjang zaman, hanya sedikit porsinya yakni persoalan ibadah (ta’abudi). Hal ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh kalangan ulama dahulu bahwa hukum Islam memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan hukum dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat.
            Penulis telah menemukan dalam pendahuluan sebuah kitab al-kharaj[62] dijelaskan apa maksud Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan Abu Yusuf[63] untuk menuliskan sebuah kitab yang berhubungan dengan al-kharaj, usyr[64] dan Jizyah[65]  yaitu untuk menghapuskan kezaliman (ketidakadilan) dalam pemerintahannya dan memperbaiki segala urusannya.[66] Ketiga komponen pendapatan Negara di atas berhubungan erat dengan konsep kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan melalu efesiensi alokasi sumber daya yang maksimum untuk keperluan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemerintahan yang adil dan beretika dalam membangun perekonomian negaranya sebagaimana nasihat Abu Yusuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid.[67]

 



[41] Islam di Maluku khususnya Ternate, diperkirakan sejak awal berdirinya Ternate (1257) telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate. Beberapa raja awal sudah menggunakan nama bernuansa Islam seperti Baab Masyhur, pendiri kerajaan Ternate. Kerajaan Ternate di Kepulauan Maluku Utara memeluk Islam lebih awal setelah kerajaan Pasei dan Malaka, karena di wilayah tersebut banyak tumbuh rempah seperti cengkeh dan  pala. Kedua komoditi itu telah memikat para pedagang asal Arab untuk berkompetisi dalam arus perdagangan bersama dengan pedagang asal India dan China.  Fakhriati, Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, hal. 3-4, 2010),

[42]Secara politis wilayah Maluku Utara ketika masih berada dalam struktur pemerintahan kesultanan terbagi dalam tiga kerajaan, antara lain;  Ternate, Tidore dan Bacan, yang masing-masing berpusat di pulau-pulau kecil dengan jangkauan kekuasaan formal mencakup seluruh Maluku Utara sampai Irian Barat dengan bagian-bagian tertentu dari pesisir Sulawesi Timur. Syahril Muhammad, Kesultanan Ternate Sejarah Sosial, Ekonomi  dan Politik (Cet.I; Jogjakarta: Ombak, 2004), dan lihat juga, R. Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo Pergolakan di Laut Seram Abad ke-19 (Jakarta : Balai Pustaka, hal. 1, 1996

[43]Kedatangan Islam ke Kerajaan Banjar bersamaan dengan para pedagang yang datang dari Cina pada abad XV M. Sementara pasukan Demak baru hadir di Banjar pada abad XVI M. Lihat Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 11.

[44]Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Pnenerapan Syari’at Islam di Indonesia, (Memahami Gradualitas Penerapan Syari’ah di Indonesia Menuju Penerapan Islam Secara kaffah, pembela Islam Media, Jakarta, 2015, hlm. 16.

[45]Kitab Fiqh yang ditulis pada tahun 1193-1195 H./1779-1781 M. Penulisan kitab itu antara lain dilatarbelakangi oleh suatu keinginan untuk menyempurnakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang telah ada yakni kitab ash-Shirâth al-Mustaqîm yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. lihat,  Jurnal “Analisa” Volume XVI, No. 01, Januari - Juni 2009. Kitab tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh M.Aswadie Syukur.

[46]Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6 Zulhijah 1276 H (1860 M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).(lihat: Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013 ). Dia menjabat sebagai kepala imam sekolah ajaran Syafii di Masjid Mekah. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya, , seperti Abdul Karim Amrullah ayah dari Buya Hamka termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Asyari.( Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between Southeast Asia and the Middle East, 1993 ).

[47]Syech Muhammad an-Nawawi Al Bantani, memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani..(Kafabihi Mahrus, Ulama Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: Pondok Pesantren Al-Itqon, Cet Ke 1, 2007, hlm. 4.) Dalam sebagian bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi..( Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten: Pustaka irVan, Cet. Ke-1, 2007, hlm. 155.) Ayahnya “Umar bin “Araby seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami’ Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara genologis Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana syarif Hidayatullah Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I) lewat jalur Suniararas.( Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156.

[48]Ahyat, ita Syamtasiyah. 2012. Kesultanan Banjarmasin pada Abad ke-19. Tangerang: Serat Alam Media

[49]Alfani Daud, 1997. Islam & Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[50]Menjadi orang genuine adalah trademark dari keberhasilan karena kualitas ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, visi utama dan fokus. Orang-orang genuine tidak perlu memalsukan sesuatu atau berpura-pura untuk menjadi apa atau siapa yang bukan diri mereka, karena mereka merasa tidak ada hak dan keuntungan bagi mereka untuk hidup dibawah kedok seperti itu. Bagaimanapun.

[51]Darliansyah Hasdi, Fatwa-Fatwa Spesifik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), lihat juga Abnan Pancasilawati, Epistemologi Fiqh Sabilal Muhtadin,  (Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Mazahib, Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015), hal, 13.) lihat: ttps: //media.neliti.com/media/ publications/57807-ID-epistemologi-fiqh-sabilal-muhtadin.pdf.

[52]Abnan Pancasilawati, hal, 13

[53]Setiap tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang harus memiliki tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempertanyakan apakah tindakan yang dimaksudkan itu baik atau buruk, membawa manfaat atau mudhorat. Sebelum tiba ditindakan yang dimaksudkan, ada serangkaian tindakan yang mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh: Wudhu. wudhu adalah perantara untuk sholat, kewajiban wudhu sendiri telah diatur oleh Alquran. Tentunya dalam kasus ini antara wudhu dan sholat yang merupakan tindakan utama dari hukum sama-sama wajib.. Sedangkan contoh akta pendahuluan yang tidak ditetapkan oleh hukum adalah pembunuhan tanpa hak adalah tindakan yang melanggar hukum yang harus dihindari, tetapi untuk menghindari pembunuhan tanpa hak misalnya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapat memiliki senjata dikatakan tidak sah karena haram adalah membunuh tanpa makhluk yang tepat, Jadi membahas tindakan pendahuluan yang belum jelas dalam konteks hukum yang dalam tulisan ini disebut Dzari'ah. Fiqh adalah ilmu yang memiliki tema utama dengan aturan dan prinsip tertentu. Oleh karena itu dalam studi fiqh fuqaha menggunakan metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah. Karena itu, menurut penulis SYAB mengunakan teori zari'ah menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan ikhtiyat untuk menghindari bahaya.

[54] Abnan Pancasilawati, hal, 14

[55]Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Tasikmalaya: Lathifah Press dan Fakultas Syariah IAILM, 2009), 133.

[56]Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.. Beliau seorang Imam besar dan Ulama pembela sunnah dan pemberantas bid’ah. lahir 7 Shafar 691 H.  Di kalangan para ulama dahulu maupun kontemporer hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir lebih popular di kalangan ulama kontemporer.Sebab  populernya nama ini adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i, beberapa lama menjabat sebagai Qayyim ‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini. Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan namanya. Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid, Bahasa, Nahwu dan sebagainya.Beliau rahimahullah wafat pada malam Kamis, 13 Rajab ketika adzan Isya` tahun 751 H. dengan demikian usianya genap 60 tahun. Disadur dari Kitab Ighasatul Lahfan min Mashaa-idisy Syaithan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, tahqiq: Khalid Abdul Lathif As-Saba` Al-`Alami, cetakan.1, Darul Kitab Al-Araby, Beirut, edisi terjemahan: Ighasatul Lahfan Menyelamatkan Hati dari TIpu Daya Setan “Edisi Lengkap” Cetakan. IV (Edisi Lengkap Revisi), Desember 2011 M, Pustaka Al-Qowam.

[57]Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirul: BeirutDâr al-Fikr, jilid III, hlm. 14, 1977).

[58]Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Mundzir al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab, (Riyadh: Dâr ‘Alam Al-Kutub, 2003 M/1424 H), II/348.

[59]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul, tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman Al-Ashqar, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1964 M/1384 H), I/416-417. Lihat juga Najm Al-Din Al-Thufi, Syarah Al-Arbaîn an-Nawawiyah, 19. Lihat juga Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islâmî wa Najm al-Din al-Thufî, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Arab̂, 1997 M/1417 H), 211.

[60] Al-Ghazali, 417.

[61] B. J Boland, The Struggle of Islam In Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 43.

[62] Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara‟ (sewa) dan al-ghullal (hasil). Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka, dianggap sebagai tanah kharajiyah. Jika mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah mereka tetap kharajiyah. Kharaj adalah hak yang diberikan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang maupun damai. Jika perdamaian menyepakati bahwa tanah tersebut milik kita dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus menunaikannya (Taqiyuddin An Nabhani, 2009, Sistem Ekonomi Islam. Bogor. Al-Azhar Pres, hal. 264).

[63]Abu Yusuf (Ya’qub Ibn Ibrahim) dilahirkan di kufah (Iraq) pada tahun 731 M. Hidup di 2 masa pemerintahan yang berbeda, dinasti bani Umayyah dibawah Khalifah Marwan bin Muhammad sampai kepada dinasti Abbasiyyah dibawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid Pertama, beliau hidup di pemerintahan Bani Umayyah yang sedang mengalami perpecahan dari dalam dan luar. Pada masa Bani Abbasiyyah, keadaan ekonominya stabil dan kuat. Bagdad menjadi pusat perdagangan internasional bagi para pedagang dari penjuru dunia. Setelah ayahnya wafat, beliau dititipkan oleh ibundanya kepada tukang cuci, namun disela-sela itu, ibundanya mendapatinya sedang mengikuti halaqoh Imam Abu Hanfah, dan kemudian mengembalikannya ke tukang cuci tersebut. Namun, beliau kembali lagi ke halaqoh itu. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah adalah guru pertamanya. Sahabat-sahabatnya memuji dengan banyak keistmewaan yang dimiliki dirinya. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang paling ‘alim dari sahabat-sahabatnya.. Beliau memangku jabatan hakim pada tiga khalifah; al-Mahdi, al-Hadi dan Harun al-Rasyid. Cara pengambilan keputusan Abu Yusuf, banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yaitu melalui pendekatan mazhab ra’yu (opinion). Hal itu terlihat secara mencolok di dalam tulisannya kitab al-Kharaj. lihat, Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal. 2.

[64]Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam. Usyur belum sempat dikenal di masa Nabi SAW dan di masa Abu Bakar Siddiq RA. Permulaan diterapkannya usyur di negara Islam adalah di masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab yang berlandaskan demi penegakan keadilan. Usyur telah diambil dari para pedagang kaum Muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin Al-Khathab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non Muslim dengan perlakuan yang sama jika mereka masuk ke negara Islam (Quthb Ibrahim Muhammad, 2002. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 100.

[65] Jizyah adalah jumlah tertentu yang diberlakukan kepada orang-orang yang bergabung di bawah bendera kaum Muslimin, tapi mereka tidak mau masuk Islam (Said Hawwa, 2004: Al-Islam. Jakarta: Gema Insani Press, hal. 595).

[66]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf,  Kitab al-Kharaj, Kairo: Al-Matba’ah Salafiyyah, hal.2,

[67]Ya’qub Ibn Ibrahim, Abu Yusuf, hal. 10.

Tidak ada komentar: