Alhamdulillah Yayasan Dhuafa Tersenyum telah menerima wakaf tanah dari hamba Allah untuk rencana pembangunan mesjid, Aula, dan Pesantren Tahfidz* Al Birru*
Senin, 03 Oktober 2022
MASJID AL BIRRU DHUAFA TERSENYUM
Alhamdulillah Yayasan Dhuafa Tersenyum telah menerima wakaf tanah dari hamba Allah untuk rencana pembangunan mesjid, Aula, dan Pesantren Tahfidz* Al Birru*
PENERAPAN SYARIAT ISLAM BY Syekh al-Banjari
PENERAPAN SYARIAT ISLAM
Abie Audah
Syekh
Al-Banjari bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari Ulama yang mendapat gelar Datu
Kalampaian ini sejak awal dakwahnya berkeinginan menerapkan syariah Islam dalam
seluruh aspek kehidupan. Harapannya satu,
seluruh masyarakat memahami betul bagaimana Islam memberikan tuntunan yang
komplit bagi umatnya untuk selamat dunia dan akhirat.
Pemikiran Syekh Al-Banjari di bidang akidah Islam terlihat dalam
upayanya memurnikan akidah Islam dari bid’ah dhalalah dan memurnikan
faham ahlussunah waljama’ah. Bentuk pemurniannya, melarang ajaran wujudiyah
dan meyakinkan Sultan Nata Alam bahwa wahdatul wujud itu
bertentangan dengan faham ahlususunnah wal jama’ah.[107]
Hal ini terbaca
dalam karya tulisnya Tuhfat al-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’min wa
ma Yufsiduh min Riddah al-Murtaddin. Syekh Al-Banjari hidup di awal abad ke 18 dan awal abad ke 19 dalam
wilayah kerajaan Banjar yang sekarang menjadi wilayah Kalimantan Selatan.
Meskipun ajaran Islam sudah tersebar luas dikalangan masyarakat kerajaan Banjar
sejak abad ke 16, tetapi sisa kepercayaan lama masih ada di beberapa tempat.
Kepercayaan ini tidak berasal dari ajaran Islam, karenanya, Syekh Al-Banjari menganggap
membahayakan iman kaum muslimin.
Upacara
tradisional yang mendapat perhatian khusus dari Syekh Al-Banjari dalam
Tuhfat al-Raghibin adalah upacara menyanggar dan membuang
pasilih. Upacara itu dilakukan dengan cara memberi sesajen yang berisi
bermacam wadai (kue) dan dipersembahkan untuk ruh-ruh ghaib, hantu-hantu
yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit, membuang sial dan mengabulkan segala
macam permintaan. Komunikasi dengan ruh-ruh itu dilakukan oleh seorang balian
(dukun) melalui media manusia yang dirasuki ruh halus yang diundang oleh
sang belian setelah mempersembahkan sesaji.
Menurut Syekh Al-Banjari, kedua upacara tersebut adalah bid’ah
dhalalah (bid’ah menyesatkan), karenanya, pengamalnya harus bertobat.
Menurutnya, ada tiga indikator bid’ah yang terdapat dalam kedua upacara
itu. Pertama, perilaku mubazir atau membuang harta pada jalan yang
diharamkan. Syekh Al-Banjari merujuk pada firman Allah dalam
al-Qur’an surah al-Isra’/17 ; 27 sebagai berikut,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺒَﺬِّﺭِﻳﻦَ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺇِﺧْﻮَﺍﻥَ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦِ ۖ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻟِﺮَﺑِّﻪِ ﻛَﻔُﻮﺭًﺍ
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.
Kedua, bersekutu dan
mengikuti langkah-langkah setan. Syekh Al-Banjari merujuk
beberapa ayat yang melarang praktek semacam itu, antara lain pada surah al-Baqarah/2 ; 208 sebagai berikut,
أَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟
خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[108]
Surah lain
adalah al-Nisa/4: 119
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ
وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلْأَنْعَٰمِ
وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ ٱللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ ٱلشَّيْطَٰنَ
وَلِيًّا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا
dan aku benar-benar
akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka
dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu
mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan
Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya”. Barangsiapa yang menjadikan
syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian
yang nyata.
Ketiga, kedua tradisi
tersebut di atas mengandung kemusyrikan. Sehubungan dengan indicator di atas,
Syekh Al-Banjari menegaskan hukum bagi pengamal ritual sebagai berikut:
i.
Bila diyakini bahwa kekuatan yang ada pada kedua upacara dapat menghindarkan
orang dari mara bahaya, maka hukumnya kafir.
ii. Bila diyakini bahwa kekuatan yang diciptakan
Allah pada kedua upacara itu dapat menolak bahaya, maka hukumnya bid’ah tetapi
tetap saja kafir.
iii.
Bila diyakini bahwa kekuatan kedua upacara itu tidak memberi pengaruh, baik
dari kekuatan ritual maupun kekuatan yang diciptakan Tuhan padanya, lalu Allah
juga yang menolak bahaya itu melalui hukum kebiasaan (sunnatullah) pada
kedua upacara tersebut, maka hukumnya hanya bid’ah dan tidak sampai
kafir. Namun
bila diyakini bahwa kedua upacara itu halal, maka hukumnya kafir.[109]
Upacara Menyanggar dan Membuang Pasilih hanyalah
sebagian contoh dari sekian banyak upacara serupa yang disebutkan oleh Syekh
Al-Banjari. Ia menyerukan kepada pembesar kerajaan agar menghilangkan
upacara-upacara tersebut dalam masyarakat kerajaan Banjar.[110] Pemikiran Syekh Al-Banjari dalam bidang keagamaan dalam aspek aqidah,
beliau berusaha untuk memurnikan Aqidah Islam dari ajaran lama seperti bid’ah
dhalalah, melarang ajaran wujudiyah dan berusaha meyakinkan Sultan
Nata Alam bahwa ajaran wahdatul wujud itu bertentangan dengan faham ahlus
sunnah wal jama’ah.
[107] A.
Gazali Usman, Kerajaan Banjar Sejarah Perkembangan Politik Ekonomi
Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin: Lambung Mangkurat University
Press, 1998), h.157.
[108]Ayat ini diturunkan mengenai Abdullah bin Salam
dan kawan-kawannya tatkala mereka membesarkan hari Sabtu dan membenci unta
sesudah masuk Islam. (Hai orang-orang beriman! Masuklah kamu ke dalam agama
Islam), ada yang membaca 'salmi' dan ada pula 'silmi' (secara keseluruhan)
'hal' dari Islam artinya ke dalam seluruh syariatnya tanpa kecuali, (dan
janganlah kamu ikuti langkah-langkah) atau jalan-jalan (setan), artinya godaan
dan perdayaannya untuk membeda-bedakan, (sesungguhnya ia musuhmu yang nyata),
artinya jelas permusuhannya terhadapmu.
[109] Syekh al-Banjari, Tuhfatul al-Raghibin
fi Bayani Haqiqat Iman al-Mu’min wama Yufsiduh min Riddat al Murtaddin,
Terj:Abu Daudi, cet.I, (Banjarmasin: Yafida, 2000), h. 89-100.
[110]Tuturan dari para sesepuh dari turun temurun
tentng aktifitas ke-Agamaan Syekh
al-Banjari di Martapura.
SUBSTANSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SYEKH AL-BANJARI
SUBSTANSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SYEKH AL-BANJARI
Syekh Al-Banjari datang ke Banjar
Kalimantan Selatan pada pertengahan abad XVIII, dalam situasi kesultanan berada
di bawah kekuasaan “Dinasti Baru”, serta struktur dan sistem politik “Terpusat”
di tangan Sultan.[68] Struktur politik kerajaan di Nusantara, yang berbentuk
“Kesultanan” pada abad XIX, umumnya di bawah kendali raja. Sultan adalah aktor
politik, pemilik otoritas politik tertinggi. Demikian halnya struktur politik
di Kerajaan Banjar pada abad XIX, tidak jauh berbeda dengan Kesultanan Islam
lainnya di kawasan Nusantara. Sultan Banjar memiliki otoritas penuh, dalam
menentukan garisgaris kebijakan politik dan instrumen-instrumen politik.
Sedikit yang membedakan antara Kerajaan Banjar dengan
kerajaan lain di Nusantara adalah adanya lembaga musyawarah, disebut “Dewan
Mahkota”[69]
yang terdiri dari kerabat (bubuhan[70]) Sultan-sultan,
kelompok kerabat Istana. Lembaga ini sudah muncul
sejak abad ke 17 di Kesultanan Banjar yang diketuai Mangkubumi. Pejabat ini,
biasanya sangat mengetahui tentang persoalan-persoalan; politik, ekonomi dan
sosial-budaya. Tidak heran, jika di antara mereka dapat mempengaruhi Sultan,
dan pada suatu situasi tertentu dapat merebut kedudukan Sultan. Pangeran Tamjidillah[71]
(1700 M– 1734 M) menjadi sultan ketika Sultan Hamidullah wafat, Pangeran
Tamdjidillah ditunjuk sebagai Wali Putera Mahkota, Pangeran Aliuddin Aminullah.
Pangeran Tamjidillah sendiri adalah adik dari Sultan Hamidullah atau Paman (Paanang)
dari Pangeran Aliuddin Aminulah. Pangeran Tamdjidillah mengangkat dirinya
sebagai Sultan Banjar. Kesultanan Banjar pada
abad XVIII adalah kesultanan Islam.[72]
Secara konsepsional, tujuan sebuah kesultanan tentunya
dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya. Di samping
itu tujuan lainnya adalah untuk memberikan kebebasan bagi rakyat untuk kreatif
dalam segala bidang kehidupan, termasuk berdagang. Berdagang sendiri bagi
kalangan masyarakat Banjar merupakan pekerjaan "primadona".
Kesultanan Banjar pada awal abad XVIII dipandang sebagai kerajaan bebas dan
berhasil mengalahkan penetrasi asing dalam bidang ekonomi. Terbukti dengan
adanya pelabuhan kerajaan Banjar sebagai pusat perdagangan Lada.[73]
Fase abad ke XVII-XVIII, terjadi pergulatan antara
emporium dan imperium serta “komunikasi” yang diselenggarakan oleh para
penyebar Islam, baik pedagang, musafir, ulama dan kaum sufi. Dengan adanya
fenomena ini berdampak semakin diakuinya peranan ulama dalam struktur komunitas
pribumi, bahkan ada yang menduduki jabatan birokrasi kerajaan[74].
Ambary memberikan penjelasan bahwa di dalam cerita
sejarah yang termaktub pada naskah-naskah abad XVII-XIX, tampak peranan ulama,
wali dan penyebar Islam berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan raja.
Legitimasi tersebut dilakukan melalui isyarat-isyarat genealogist maupun
kesinambungan keturunan yang diperlukan. Hal ini dilakukan dalam kerangka
menciptakan transformasi yang baik tanpa halangan yang berarti. Islam yang
dakwahkan oleh Syekh Al-Banjari ternyata mampu dicerna
oleh masyarakat segala kalangan tanpa menimbulkan persoalan baru, khususnya
yang terkait dengan benturan antara penguasa dan masyarakat.
Menengarai hal ini, ada beberapa interpretasi logis
yang dapat dikaji secara sosio-kultural dalam perspektif historis kerajaan
Banjar. Beberapa latar belakang dan alasan dapat diungkapkan di bawah ini;
i.
Kondisi politik pada
saat itu sangat terkait dengan kerabat “Bubuhan Raja-raja”. Bubuhan ini,
menampung kumpulan elite bangsawan kesultanan Banjar. Para elite bangsawan ini,
memiliki berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi dan politik. Pada
abad XVII, konflik kubu-kubu pro Inggris dan Belanda dalam persaingan
perdagangan Lada, dapat dijadikan rujukan untuk memahami motif pencetus konflik
abad XVIII ini. Kelompok tertentu dari
bermacam personal elite Bangsawan Banjar, berhasil menjadi provokator ulung,
sehingga Pangeran Aliudin Aminullah tergerak untuk memberontak terhadap
mertuanya.
ii.
Sultan Tamdjidillah
termasuk Sultan yang cerdik. Siasat politiknya merugikan VOC. Perjanjian
Kesultanan Banjarmasin dengan VOC tanggal 18 Mei 1747 yang ditanda tangani
Sultan Tamdjidillah dan disetujui Pangeran Aliuddin Aminullah secara sepintas
menempatkan pihak VOC (kompeni) pada posisi yang diuntungkan, tetapi pada
prakteknya perjanjian itu hanya sekedar siasat kesultanan Banjar untuk
melindungi diri dari pengaruh pihak asing. Ternyata masyarakat Banjar selalu
mengadakan transaksi perdagangan secara bebas dengan bangsa manapun yang
berkehendak membeli lada. Karena itu, perjanjian diperbaharui lagi pada tanggal
20 Oktober 1756 M. Ternyata Pangeran Aliuddin Aminullah secara sepihak, tanpa
sepengetahuan mertuanya menandatangani perjanjian dengan VOC di Benteng Tatas,
pada tanggal 27 Oktober 1756. Kasus ini memberikan penjelasan, bahwa VOC adalah
salah satu sebab pencetus pemberontakan yang dilakukan Pangeran Aliuddin
Aminullah terhadap mertuanya, Sultan Tamdjidillah. VOC “meracuni” pikiran
Pangeran Aliuddin Aminullah dengan kekuasaan dan iming-iming bantuan pasukan[75].
Mengkaji hubungan, posisi dan peran Syekh
Al-Banjari dalam dinamika interaksi kekuasaan di
Kesultanan Banjar memerlukan pemahaman yang mendalam dan serius. Karena
pemahaman “Politik” terkadang tersamarkan oleh realitas “Pertentangan” elite
politik. Untuk itu konsep ilmu politik dengan segala aspeknya perlu dilihat
sebagai alat untuk menganalisis hubungan dan interaksi ulama dengan sultan
dalam konteks sistem kekuasaan kerajaan nusantara ini, khususnya di kerajaan
Banjar.[76]
Secara makro, bila dikaji strategi politik dakwah Syekh
Al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai
dilakukan dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, kemudian memberikan
pemikiran-pemikiran konstruktif guna kebaikan pemerintahan. Syekh
Al-Banjari adalah ulama yang benar-benar Arif dapat
diterima oleh semua kalangan elite bangsawan Kesultanan Banjar, termasuk Sultan
sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis birokrasi kerajaan
berimplikasi pada dapat diterimanya beliau secara pribadi dan pemikirannya
dikalangan bangsawan dan lapisan masyarakat bawah.
Berjalannya waktu dan seiring dengan perkembangan
hubungan antara Sultan dan rakyat, maka dapat dikatakan bahwa missi dakwah yang
diemban oleh Syekh Al-Banjari dapat berjalan dengan
baik tanpa rintangan politik. Strategi dakwah yang dikembangkan oleh SAB adalah strategi politik kesultanan. Artinya jika sultan
“merestui”, berarti secara politis telah menjadi putusan tertinggi yang wajib
didukung oleh siapapun, termasuk kerabat (bubuhan) raja. Legitimasi pihak kesultanan bagi Syekh Al-Banjari berarti kemenangan politik dakwahnya untuk menumbuh
kembangkan tatanan masyarakat Islami. Meskipun sultan Pangeran Tamjidillah
sendiri tentunya “mengharapkan” legitimasi politik untuk kekuasaannya.[77]
Syekh Al-Banjari adalah “anak angkat”
dari Sultan Hamidullah, atau “saudara angkat” dari Putera Mahkota. Dalam
dinamika internal kerajaan, khususnya intrik-intrik yang terjadi dalam
pergulatan kekuasaan kerajaan Banjar. Syekh Al-Banjari memiliki berbagai pertimbangan yang bijaksana dan taktis.
Sebagai “Arif Billah”, dirinya lebih mengedepankan kemaslahatan umat
atau kepentingan yang lebih besar daripada persoalan-persoalan “Tahta” yang
cuma bermanfaat bagi elite Bangsawan kesultanan Banjar saja.[78]
Syekh Al-Banjari yang bergelar “Tuan
Guru”, adalah refleksi peran ulama pribumi Banjar yang telah menjadi “Tokoh”.
Dirinya dipandang sukses untuk menerapkan ilmu yang ditimbanya di Tanah Mekkah
dan mengamalkan ilmunya di negeri sendiri. Syekh Al-Banjari memiliki persyaratan lengkap untuk memberi legitimasi bagi
Kesultanan Banjar, yaitu “Ulama Lulusan Mekah” dan “Anak Angkat Sultan
Hamidullah”. Status Syekh Al-Banjari mewakili
“Achieved Status” dan “Discribed Status” sekaligus. Pendeknya, SAB mampu menciptakan hubungan yang harmonis antara ulama
dengan umara, antara ulama dengan masyarakat dan antara umara dengan rakyat
Banjar.
Kerangka penyebaran Islam di Kerajaan Banjar, Syekh
Al-Banjari melakukan pemetaan wilayah kerajaan
Banjar. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembagian wilayah kerjanya. Adapun
daerah tersebut meliputi;
a. Pertama adalah Wilayah Kerajaan Banjar, meliputi Istana Raja di
Martapura dan berakhir dari titik luar dari daerah Landak ke Berau.
b. Kedua adalah wilayah Tanah Laut, Sebelah Barat Meratus dan Sebelah
Selatan Banjar, Banjar Lama, Banua Ampat (Banua Padang, Banua Halat, Perigi dan
Gadung (Rantau), Margasari, Alai, Amandit, Banua Lima; Nagara, Alabio, Sungai
Banar, Amuntai, Kalua, Marabahan dan Daerah Atas Barito.
c. Ketiga adalah wilayah yang meliputi; Tanah Bumbu, Pulau Laut,
Karasihan, Pasir, Berau dan Kutai, Pantai Timur, Kotawaringin, Landak,
Sukadana, dan Sambas serta Pantai Sebelah Barat.[79]
Sultan
memberi izin kepada Syekh Al-Banjari sangat
leluasa dalam berdakwah di seluruh daerah kekuasaan kerajaan. Syekh
Al-Banjari menyadari masih banyak penduduk di daerah
kekuasaan kesultanan Banjar yang belum masuk Islam, terutama di wilayah Banua
Ampat, Banua Lima dan Daerah Atas Barito. Kuatnya tradisi lama
yang dapat menyebabkan bahaya “Syirik” di lingkungan penganut agama Islam juga
menjadi agenda tersendiri dalam visi dakwahnya.
Usaha dan wibawa/ karisma Syekh
Al-Banjari secara politik Kesultanan Banjar memiliki
komitmen melakukan Islamisasi secara kuantitatif dan kualitatif. Gerakan
Islamisasi ini, kalau boleh dikatakan adalah “Revolusi Kebudayaan” dalam
lingkungan kesultanan Banjar yang dimotori oleh Syekh Al-Banjari.
Syekh
Al-Banjari. Sebagai wujud nyata usaha Islamisasi di
lingkungan kesultanan Banjar, puncak Islamisasi di Kerajaan Banjar terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Adam al Wasikbillah (1825 M-1857 M) dengan
ditetapkannya hukum Islam sebagai dasar hukum kerajaan Banjar melalui Undang-
Undang Sultan Adam. Munculnya lembaga Mahkamah Syari’ah dan
dikukuhkannya lembaga penghulu yang hirarkinya lebih tinggi dari Jaksa merupakan
kontribusi dirinya yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
Implikasi dari semua itu adalah munculnya fenomena di
abad XVII-XVIII, dimana posisi lembaga Panghulu sangat menentukan dalam
masalah-masalah keagamaan.[80]
Pada masa Sultan Nata Alam (1787 M-1801 M) telah dibentuk lembaga mufti dan
Qadi. Syekh
Al-Banjari adalah konseptor dan pelopor pembentukan
lembaga tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai wujud
"dakwah-politik" Syekh Al-Banjari.
Dirinya turut memberikan inspirasi bagi pembagian kekuasaan meskipun, saat itu
putusan tertinggi tetap di tangan Sultan. Sultan
telah membagi kewenangan yang dimilikinya dalam persoalan hukum. Hukum tidak
lagi bersumber pada institusi tunggal birokratik kesultanan, sebagaimana
biasanya penetapan hukum bersandar pada tradisi. Pengadilan di Kesultanan
Banjar kemudian bersumber pada hukum Islam.
Seiring dengan berdirinya lembaga tersebut, Syekh
Al-Banjari mengarang kitab Fiqih, yang menjadi
rujukan dalam memutuskan perkara. Lembaga Pengadilan di Kesultanan Banjar pada
akhir abad XVIII, menggunakan kitab fiqih tersebut sebagai acuan hukumnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Syekh Al-Banjari telah berperan pada aspek politik dan kekuasaan.
Pembatasan wewenang Sultan, bertambahnya institusi kerajaan, diperhatikannya
hak-hak rakyat merupakan kontribusi dirinya dalam percaturannya dengan sistem
kerajaan Banjar. Akhirnya, pejabat birokratik di bawah Sultan tidak lagi merasa
menjadi superpower “Paharatnya”, melainkan membaur jadi satu demi
kemakmuran dan penegakan keadilan bersama.
Posisi Sultan dalam Kesultanan Banjar adalah pemegang
kekuasaan tertinggi. Dalam konteks kekuasaan Sultan tersebut ternyata Syekh
Al-Banjari dapat memberikan kontribusi dalam pelaksanaan kekuasaan
tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya pengaruh yang ditimbulkan Syekh
Al-Banjari terhadap kebijakan-kebijakan sultan.
Kebijakan yang ada juga tidak hanya terfokus pada persoalan keagamaan saja,
melainkan merambah kepada kebijakan-kebijakan lainnya, seperti
ekonomi-pertanian, hukum dan sosial keagamaan.
Syekh Al-Banjari bersikap “hati-hati”
dalam menyikapi “suksesi” dan intrik-intrik di lingkungan Istana Kesultanan.
Ketika Syekh
Al-Banjari pulang dari Makkah dan tiba di kesultanan
Banjar, tahta kesultanan Banjar dipegang oleh Sultan Tamdjidillah (1734-1759).
Putra Mahkota yang bernama Pangeran Aliudin Aminullah adalah anak dari Sultan
Hamidullah. Pangeran Aliudin Aminullah sengaja dijadikan menantu oleh Sultan
Tamdjidillah, agar tidak lagi menuntut haknya. Kenyataan memang demikian.
Sebagai putra mahkota dirinya tidak meminta kembali hak atas tahta kesultanan
Banjar. Akan tetapi kemudian muncul kenyataan, dimana Pangeran Aliudin
Aminullah akhirnya berhasrat ingin merebut tahta kesultanan Banjar dari tangan
ayah mertuanya sendiri, sekaligus pamannya. Mengapa Pangeran Aliuddin Aminullah
yang tadinya “Diam” dan tidak bernafsu atas tahta, berubah pikiran dan menjadi
“aktif” menggalang kekuatan.
Pangeran Aliuddin Aminullah yang sudah terobsesi
menempati tahta Kesultanan Banjarmasin, menjadikan Tabonio sebagai markas
sembari mengumpulkan kekuatan. Tabonio menurut Ondskvopman Ringholm[81] adalah pusat
perdagangan gelap paling ramai di Kalimantan pada abad XVII-XVIII.
Setelah kekuatannya terbilang cukup, Pangeran Aliuddin
Aminullah beserta pasukan mulai bergerak dari Tabonio menuju Martapura, lokasi
istana Sultan saat itu. Ketika Sultan Tamdjidillah mengetahui serbuan
menantunya, kemudian mempertimbangkan baik-buruknya, benar salahnya agar tidak
terjadi pertumpahan darah di kalangan kerabat (bubuhan) sendiri. Setelah
melalui pemikiran panjang, maka tahta kesultanan Banjar diserahkannya kepada
Pangeran Aliuddin Aminulah pada tahun 1759 M. Pangeran Aliuddin Aminulah
memerintah selama 3 tahun (1759 M- 1761 M). beliau meninggal dunia karena
penyakit yang diidapnya.
Kasus di atas dapat dilihat bagaimana peran yang
diberikan Syekh
Al-Banjari. Dirinya tidak hanya
diam untuk tidak memberikan kontribusi positif, melainkan melakukan beberapa
hal yang dipandang sebagai sebuah pemikiran. Adapun hal-hal yang dilakukannya
antara lain;
a.
Sultan Tamdjidillah
sebagai Sultan yang berpengalaman menganggap Syekh Al-Banjari sebagai “Guru" sekaligus Sahabatnya. Dalam menghadapi
serbuan menantunya, Sultan Tamdjidillah selalu meminta “Papadah”
(nasehat) dari Syekh Al-Banjari. Nasehat yang
diberikan kepada Sultan tamdjidillah adalah agar beliau mundur dari tahtanya
dan meyerahkan kepada Sultan Alauddin. Hal ini dilakukan dalam kerangka
menghindari pertumpahan berdarah antar kerabat kerajaan.
b.
Masa pemerintahan
Pangeran Aliuddin Aminullah hanya tiga tahun saja (1759 M-1761 M). Sumber
Belanda yang pro Pangeran Aliuddin Aminullah menyatakan meninggalnya Pangeran
Aliuddin Aminullah direkayasa oleh mertuanya sendiri. Tetapi, perlu diingat,
bahwa sebenarnya motivasi untuk berkuasa pada jiwa Pangeran Aliuddin Aminullah
adalah karena dorongan provokasi berbagai pihak, termasuk VOC sendiri. Hasrat
berkuasa Pangeran Aliuddin Aminullah bukan berasal dari “Sifat Asli” dirinya.
Ketika mertuanya (Sultan Tamdjidillah) menyerahkan legalitas Kesultanan
kepadanya, mungkin di hatinya timbul rasa penyesalan. Apalagi dalam budaya
Banjar mengenal adanya istilah “Katulahan Lawan Urang Tuha”[82].
Pangeran Aliuddin Aminullah bagai “Makan Buah Simalakama”, menyebabkan tekanan
batin yang membawa kematian bagi dirinya. Sebagai Sultan Baru, Pangeran
Aliuddin Aminullah pasti mencari legitimasi dari pihak elite bangsawan dan
ulama/ Tuan Guru. Tidak ada pilihan lain bagi Aliuddin Aminullah
kecuali menemui Syekh Al-Banjari. Syekh Al-Banjari adalah ulama yang “Arif
Billah” tentunya memberi nasehat (“Papadah”) kepada Pangeran Aliuddin
Aminullah yang juga saudara angkatnya. Nasehat-nasehat (Papadah-papadah)
Syekh al-Banjari boleh jadi membawa dampak
psikologis pula bagi Pangeran Aliuddin Aminullah, sehingga dia menjadi sakit,
sejenis ada rasa penyesalan, lalu meninggal dunia pada tahun 1761 M.
Selanjutnya, kekuasaan kerajaan Banjar dipegang oleh
Pangeran Nata Alam (1787 M-1801 M), anak dari SultanTamdjidillah. Nata Alam
menjadi Sultan, sebab tiga orang anak dari Pangeran Aliuddin Aminullah masih
kecil, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir. Pangeran
Abdullah dan Pangeran Rahmat meninggal dalamusia muda. Sedangkan Pangeran Amir,
setelah dewasa berupaya merebut kekuasaan dari Pangeran Nata Alam. Pangeran
Amir pada tahun 1785 M, meminta bantuan ArungTurawe, untuk menyerang Martapura.
Pasukannya berjumlah 3.000 orang dengan
kekuatan 60 buah perahu. Pasukan inimendarat di Tabonio melakukan pembunuhan
terhadap rakyatyang tidak berdosa, memusnahkan kebun lada rakyat dan menawan
mereka. Pasukan ini laksana perampok saja.
Akibatnya Pangeran Amir tidak mendapat simpati[83].
Sebaliknya, justru Pangeran Nata Alam lebih mendapat simpati dari rakyat
Banjar. Dari peristiwa tersebut, dapat dipahami alasan keberpihakan Syekh
Al-Banjari terhadap Pangeran Nata Alam. Syekh
Al-Banjari menyadari persoalan kekuasaan erat
hubungannya dengan kepemimpinan. Kepemimpinan Pangeran Nata Alam sendirinya
mendapat legitimasi dari Syekh Al-Banjari
Syekh Al-Banjari dan sebagian besar elite
bangsawan, disamping disenangi oleh rakyat banyak. Tahun 1787 M untuk menjaga
stabilitas kekuasaannya, sekaligus stabilitas keamanan rakyat dilakukan kontrak
antara VOC dengan penguasa kerajaan Banjar. Dalam kontrak ini Sultan
menyerahkan beberapa wilayah kepada VOC. Adapun wilayah tersebut antara lain;
Pasir, Laut Pulo, Tabonio, Mendawai, Sampit, Pambuang, Kotawaringin. Sultan
menjadi vazai VOC, langsung menguasai daerah sendiri, putera mahkota pilihan
VOC dan adanya jaminan dari VOC, bahwa tahta Kesultanan Banjar seterusnya hanya
dari keturunan Pangeran Nata Alam saja. Ternyata,
kontrak 1787 M ini dalam prakteknya sebuah nol besar. VOC hanya menjadi obyek
semata. Kontrak 1787M dan 1797 M adalah “Sandiwara Politik” Kesultanan Banjar
dengan Pangeran Nata Alam sebagai sutradaranya. Daerah daerah yang diserahkan
kepada VOC pun daerah kosong dari hasil budi daya tanaman ekspor.
Fenomena ini semua memberikan penjelasan bahwa,
hubungan, sikap dan peran Syekh Al-Banjari terhadap pemerintah
Sultan Nata Alam juga sangat besar dalam memarginalkan VOC. Adapun
kontribusinya dapat digambarkan sebagai berikut;
a.
Penetrasi VOC semakin
menyempitkan eksistensi kebebasan perdagangan rakyat Banjar. Sultan Nata Alam
dapat menyiasati keadaan politik eksternal kesultanan dengan melakukan “kontrak
bohongan”, untuk menipu Belanda VOC, yang selalu ingin monopoli perdagangan.
b.
Keadaan yang dihadapi kesultanan Banjar, akibat penetrasi
ekonomi perdagangan dari VOC ini memerlukan sejenis dukungan moral, di
antaranya dari para Tuan Guru, Alim Ulama di Martapura. Dalam
konteks ini, SAB menganggap Sultan Nata Alam memerlukan taktik yang tepat, agar
“kedaulatan” kesultanan tetap eksis. Sultan Nata Alam sendiri dapat bertukar
pikiran dan minta nasehat/ “Papadah” kepada Syekh Al-Banjari. Biasanya papadah yang ditelorkan bersifat umum dan
normatif, sehingga masih membutuhkan penafsiran sendiri.
c.
Ketika Sultan Nata Alam
memerintah, usia Syekh Al-Banjari telah cukup tua. Syekh
Al-Banjari tidak lagi sepenuhnya ikut memikirkan
soal-soal pemerintahan.Tidak dapat dilupakan bahwa terkurasnya tenaga dan
pikiran Syekh Al-Banjari adalah untuk
berdakwah. Bahkan beliau menyempatkan waktu menulis Al-Qur’an dengan tangan
beliau sendiri. Peran politik Syekh Al-Banjari
sangat menentukan bagi keberlangsungan pemerintah Kesultanan. Syekh
Al-Banjari, sehingga mampu menjaga harmonisasi dari
berbagai pihak yang berkonflik. Perpecahan internal elite bangsawan, tidak
berdampak buruk bagi integrasi Kesultanan. Tekanan-Tekanan eksternal dari VOC,
teratasi dengan “Strategi Kontrak” yang dimainkan oleh para Sultan Banjar
melalui nasehat yang telah Syekh Al-Banjari.
Permulaan menuju perubahan birokratisasi, Belanda
berkeyakinan bahwa perlu dipertahankan prestise penguasa setempat terhadap
rakyat. Sebab prestise ini merupakan unsur kunci dalam kontrol. Sikap ini
didasarkan pada pemikiran bahwa kepatuhan dan kesetiaan yang tinggi dari
masyarakat kepada penguasa setempat akan menyebabkan kepatuhan dan kesetiaannya
pula terhadap pemerintah yang mengangkat pejabat itu.
Kebanyakan pejabat Belanda masih yakin bahwa perlu
dipertahankan unsur “tradisional”[84]
untuk memelihara Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa rakyat setia
kepada pejabat pribumi dan para pejabat pribumi itu setia kepada Belanda (lihat
syarat utama pejabat pribumi harus loyal). Oleh karena itubanyak orang
Belanda-yangberkedudukan tinggi-mengira bahwa rakyat akan bengkit
mempertahankan negara seandainya Jepang menyerbu Hindia Belanda, atau paling
tidak, penduduk akan menolak bekerja sama dengan jepang. Dalam hal ini ternyata
orang-orang Belanda kewibawaan penguasa
setempat. Oleh karena itu, maka simbol simbol penguasa tradisional tetap
dipertahankan seperti payung emas dan pusaka-pusaka lainnya. Ada sejumlah orang
Eropa yang menghendaki dilakukan “modernisasi”. Meskipun mereka pada awalnya
masih dalam jumlah kecil, tapi pada awal abad ke 20 pengaruhnya makin lama
makin besar terutama melalui pemikiran Snouck Hurgronje dan penasehat-penasehat
urusan urusan pribumi.[85]
Kelompok yang menganjurkan perubahan berpendapat bahwa
perluasan pendidikan dan kemakmuran adalah sangat penting, sebab dengan standar
hidup yang lebih baik dan pengetahuan tentang peradaban Barat secukupnya, maka
rakyat pribumi bukan saja akan meningkat kesejahteraannya, tetapi juga akan
dapat menghargai segala sesuatu yang diciptakan oleh Belanda. Pada tahun 1901
(awal abad XX), sikap seperti ini memperoleh persetujuan resmi pemerintah
dengan ditetapkannya apa yang dinamakan kebijaksanaan etis.[86]
Awal pemerintahan Belanda di Banjar dikeluarkan
Keputusan Residen Borneo No. 32 tahun 1823 yang mengatur tentang pengadilan
agama di Banjarmasin. Dalam aturan tersebut ditentukan bahwa jumlah anggota
mahkamah empat orang khatib dan naik banding tidak lagi kepada sultan, tapi
kepada residen. Mengenai gaji mereka
ditetapkan, hanya disebutkan tetap seperti adat Melayu.[87]
Pengaturan pejabat agama secara lebih meluas, ditetapkan pada tahun 1832 M
melalui Beslit Residen tanggal 15 Maret 1832 M. Dalam beslit tersebut
diatur struktur, prosedur pengangkatan, tugas dan wewenang, tanda jabatan dan
penghasilan penghulu.[88]
Prosedur pengangkatan penghulu menjadi lebih jelas
dengan ditetapkannya Keputusan Residen Borneo tanggal 20 April 1832 No. 43.[89]
Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa: Pangeran Penghulu Nata Agama
diangkat oleh gubernemen di batavia atas pilihan residen. Jabatan khatib
penghulu dan khatib imam dipilih oleh masyrakat. Untuk kelompok masyarakat Arab
dipilih diantara mereka sendiri, demikian pula untuk masyarakat Melayu. Hasil
pemilihan tersebut diajukan oleh Pangeran Penghulu Nata Agama kepadaresiden.
Kemudian residen mendengarkan pula pendapat ambtenar melayu dalam hal
ini demang[90] tentang kebaikan dan kelemahan
calon tersebut. Bila residen berkenan, lalu ditetapkan calon penghulu itu
menjadi khatib penghulu atau khatib imam; jabatan modin dan marbot diangkat
dari orang yang dipilih oleh Pangeran Penghulu Nata Agama dengan mendengarkan
suara Ambtenar Melayu dan kemudian ditetapkan oleh residen. Bilal
dipilih oleh orang kampung, di muka kepala polisi dan disetujui oleh Pangeran
Penghulu Nata Agama, lalu kemudian ditetapkan oleh residen.
Laporan buku kawin yang dibuat secara berkala, penghulu
juga melaporkan perceraian dan rujuk serta perkara-perkara lain di bidang
agama. Mekanisme dan sistem laporan tersebut menuntut kemampuan adminisrasi
bagi para penghulu. Oleh kaena itu, maka dalam beslit residen tersebut
dianjurkan agar calon seorang penghulu dapat membaca dan menulis. Hal yang sama
ditemukan dalam Undang-Undang Simbur Cahaya. Oleh karena itu tidak heran
bila Snouck Hurgronje melalui kantor voor Inlandsche Zaken mensyaratkan
seorang penghulu haruslah yang bisa membaca dan menulis huruf latin.
Suasana politik yang memberi peluang besar terhadap posisi dan peran
ulama dalam kerajaan Banjar, telah di manfaatkan dengan baik oleh kaum ulama, sebab pemberlakuan syariat
Islam bisa efektif hanya dengan kekuasaan. Sebab menurut Ibnu Chaldun, manusia
adalah hayawan al-siyasi[91],mempunyai
naluri berpolitik, yang membedakan hanyalah intensitas interaksi dengan
lingkungan. Ulama Banjar pada akhir abad ke-18, bisa dikatakan mempunyai
kesadaran politik yang tinggi. Menurut penyelidikan Steenbrink terhadap kitab Sabil
al-Muhtadin yang nota bene kitab Undang-undang kerajaan, ternyata
tidak membicarakan sama sekali persoalan dasar negara atau persoalan sosial
politik lainnya. Kebanyakan yang ada hanya soal ibadah.[92]
Hal ini barangkali yang menyebabkan ulama Banjar pada umumnya
menganut faham Sunni (ahl al-Sunnah wal aljama’ah), yang mempunyai
pemikiran politik cenderung tidak terikat kepada format atau bentuk negara,
melainkan pada substansi bernegaranya. Kaum sunni tak peduli apakah
pemerintahan itu berbentuk teokrasi atau monarki, yang penting di dalamnya ada
supremasi syariat dan prinsip kenegaraan seperti keadilan, persamaan,
musyawarah dan sebagainya. Rupanya Sultan Tahmidullah II sudah termasuk
kriteria dimaksud sehingga patut didukung oleh kaum ulama. Ini terbukti dengan pujian Syekh Al-Banjari bahwa Tahmidullah II adalah seorang Sultan yang tinggi
cita-citanya, cerdas, pandai berbicara dengan Petah[93] mempunyai pikiran
yang bersih dan ilmu pengetahuan yang dalam. Dialah yang menguasai Negeri
Banjar, yang selalu berusaha memperbaiki urusan agama dan dunia, pemimpin yang
besar dan ikutan yang mulia.[94]
Atau dalam ungkapan al-Mawardi, Tahmidullah II telah memenuhi syarat sebagai
imam yang menjalankan tugas pokok, yaitu memelihara agama dan menyenggarakan
kepentingan umum.[95]
Kemudian wujud peluang politik ulama itu adalah
terciptanya semacam lembaga pengadilan yang dikenal dengan Mahkamah Syaria,
yaitu lembaga pengadilan agama yang dipimpin oleh seorang Mufti sebagai
penguasa tertinggi dalam bidang hukum sesudah Sultan, dan sebagai ketua hakim
tertinggi pengawas pengadilan umum yang bertanggung jawab terhadap jalannya
lembaga-lembaga kehakiman. Lembaga ini mengurusi masalah keagamaan yang timbul
dalam masyarakat, agar senantiasa terpimpin kepada kebenaran hukum.
Mufti dalam melaksanakan tugasnya didampingi oleh
seorang Qodhi yang berfungsi sebagai pelaksana hukum dan mengatur
jalannya pengadilan seperti soal nikah, talak, rujuk, pembagian harta warisan
dan sebagainya,[96] bahkan terkadang
mengurusi perkara yang lebih luas dari itu[97] atau jelasnya mengatur masalah hampir secara
keseluruhan aspek keagamaan dalam wilayah kerajaan. Jabatan Mufti dipercayakan
kepada ulama yang tidak sembarang ulama. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa
jabatan Mufti di Banjarmasin sejak dulu sangat dihormati dan hanya ulama yang
paling pandai dan berbakat saja yang bisa diangkat menjadi Mufti, sehingga
sangat dipercaya oleh rakyat di sana.[98]
Jabatan Mufti tampak sekaligus merupakan jabatan dan
gelar kehormatan. Selain itu, Mufti juga merangkap jabatan dalam Dewan Mahkota
yang turut serta menentukan kebijaksanaan yang ditempuh oleh Sultan dan
kerajaan bersama-sama kaum bangsawan dan Mangkubumi.
Sistem kekuasaan Kesultanan Banjar ada ulama yang
berada di luar sistem tersebut sebagai tokoh masyarakat, sebagaimana menurut
Taufik Abdullah sebagai ulama bebas,[99]
yang lebih ditentukan oleh persyaratan kemampuan diri yang mempunyai pengaruh
spiritual mendalam karena keahliannya dalam ilmu agama dan ketekunan/
keshalehan melaksanakan ajaran agama sehingga mempunyai karamah yang
diberikan Tuhan kepada seorang ulama yang mempunyai semangat pengabdian
terhadap masyarakat, terutama dalam penyebaran pendidikan melalui langgar,
madrasah, rumah dan tempat-tempat pendidikan lainnya,[100]
sehingga sangat disegani masyarakat.
Sebagaiman Syekh Al-Banjari yang berasal dari status
sosial yang tinggi, semakin tinggi saja wibawa dan pengaruhnya di tengah
masyarakat. Beliau menjadi dibutuhkan tidak saja sebagai pelindung spiritual
tapi juga pelindung sosial dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan. Beliau adalah teladan dan panutan yang ditaati dengan
sepenuhhati karena bagi masyarakat hidup dan adanya Beliau jadi keuntungan, mati dan tiada mereka berarti musibah.[101]
Syekh Al-Banjari sebagai Ulama Banjar
yang menjadi tokoh masyarakat lebih berorientasi pada gerakan kemasyarakatan
dari pada orientasi kekuasaan. Sebagai Ulama Banjar berupaya mengadakan
perubahan dalam masyarakat tidak hanya melalui kekuasaan, namun melalui jalur
kultural yang dukungan dari bawah untuk keberhasilan perubahan. Apalagi pada
abad XIX pemahaman masyarakat Banjar terhadap masih rendah, terutama daerah
pedalaman bahkan terkadang masih bercampur ajaran pra-Islam.
Faktor interaksi Syekh Al-Banjari sebagai ulama dan sultan
adalah lebih pada “faktor kepentingan”
masing-masing, ulama membutuhkan situasi yang kondusif dalam mengembangkan misi
dakwah, sedangkan sultan membutuhkan
penguatan legimitasi kekuasaannya.
Sekalipun dalam hubungan ini terjadi dinamika karena
persepsi dan kepentingan dalam memperebutkan/ mempertahanan
kekuasaan di lingkungan elite Kesultanan Banjar. Antara Syekh
Al-Banjari sebagai ulama sendiri bisa terjadi perbedaan dalam
menyikapi dan melaksanakan strategi dakwah dalam masyarakat di mana Syekh
Al-Banjari lebih menitik beratkan pada pendekatan
dengan kekuasaan dan kultural, Namun perlu dicatat pula faktor interaktif
lainnya adalah adanya kolonial Belanda yang karena kepentingannya ikut pula
mempengaruhi terjadinya hubungan sultan dengan Syekh
Al-Banjari sebagai ulama di tengah dinamika kekuasaan Kesultanan
Banjar pada abad XIX sebagaimana contoh dalam pada peristiwa Perang Banjar,
Perang fisabillah Baratib Baamal dan peristiwa lainnya.
Sejauh ini, Syekh Al-Banjari mewariskan beberapa kitab penting antara lain
Tuhfaturraghibien yang menjadi rujukan dalam masalah aqidah, Faraidl yang
membahas soal hukum waris, Parukunan yang banyak mengupas soal ibadah. Tentu tak
ketinggalan masterpiece: kitab Sabilal Muhtadin yang membahas secara
komprehensif persoalan fiqh dan hal-hal kemasyarakatan lain. Sabilal Muhtadin[102]
menjadi sebuah penanda bahwa Islam Nusantara pernah menjadi “pusat” dari
pengkajian Islam di dunia. Ditulis pada 1779M dalam bahasa Jawi, kitab ini
tersebar luas ke jaringan pesantren di seluruh nusantara, Malaysia, hingga
Thailand Selatan. Kitab ini menjadi semacam textbook untuk memahami fiqh dalam
mazhab Syafii yang dipelajari oleh santri di pondok-pondok pesantren, bahkan
hingga saat ini.
Hal ini
membuktikan, dalam bidang ilmu-ilmu agama, Syekh Al-Banjari pernah menjadi
salah satu fokus keilmuan yang dipertimbangkan di Asia Tenggara dalam mazhab
syafi'i. Islam Nusantara sudah mengglobal bahkan sebelum ASEAN dicanangkan.
Pada titik inilah pembicaraan mengenai “Islam Nusantara” menjadi relevan di
alam modernitas yang kian kompleks.
[68] Ahmad Suriadi, Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari Dalam Dinamika Politik Kerajaan Banjar Abab XIX.
Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan penerbitan LP2M IAIN Antasari,
Banjarmasin, hal, 1.
[69]Dewan
Mahkota ini diketuai oleh Mangkubumi dengan empat deputi. Yaitu: Pangiwa,
Panganan, Gampiran, dan Panumping. Keberadaan dewan mahkota tentunya
tidak selalu ada dan sama, baik bentuk maupun personil tergantung kebijakan
sultan yang berkuasa saat itu. Liha J.J. Ras, Hikayat Banjar : A Study in
Malay Historiography, (Martinus Nijhoff: The Hague, 1968), hlm.. 233. A.A.
Cense, De Kroniek Van Banjarmasin, Poefschriff, CA. Mess Santpoort (NH),
hlm..109. Dan Idwar Shaleh, Papper Trade and the Rulling Class of
Banjarmasin in the Seventeenth Century, (Leiden: Ducth-Indonesian
Historical Conference, 1978). Lihat pula Milner AC, Islam and Malay Kingship,
(JRAS, 1981). Dan Islam and The Muslim State, dalam M.B. Hooker (ed), Islam
in South Easth Asia, (Leiden: Brill), hlm. 23-49.
[70]Bubuhan dapat dipahami sebagai warga Banjar yang
berada dalam satu ikatan kekerabatan luas yang bersandar pada garis keturunan,
lokalitas (tempat kediaman), atau kesejarahan. Sebagai sebuah kelompok bubuhan,
bubuhan adalah orang-orang panutan dan dia sebagai tetuha memikul tanggung
jawab untuk kepentingan anggota bubuhannya. Selain ikatan kekerabatan luas,
identitas kelompok bubuhan tidak terlepas dari sejarah terbentuknya kelompok
masyarakat tersebut. Sebutan “Bubuhan Banjar”. Hal ini jelas bahwa Bubuhan
Banjar membawahi berbagai kelompok bubuhan lainnya yang ada dalam masyarakat
Banjar.atau ujar Elbi Risalah/ Ustadz Jalil (penyelia http://banjarsungaiganal.blogspot.com/ dan blog lainnya di Malaysia):
[71]Bergelar Sultan Sepuh, sebenarnya adalah seorang mantan Mangkubumi
Kesultanan Banjar masa pemerintahan Sultan Hamidullah (1700 M– 1734 M)
[72]Ahmad Suriadi, hal, 1.
[73]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900
Dari Emperiom Sampai Imperium, Jilid 1, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm, 25.
[74]Lihat Hasan Muarif Ambary, Dinamika Sejarah dan Sosialisasi
Islam di Asia Tenggara Abad 11-17 M, (Jakarta: Depdikbud, 1997), hlm.
32-33.
[75]Arsip Nasional, Surat-Surat Perjanjian Antar Kesultanan
Banjarmasin dengan Pemerintah VOC, Inggris dan Hindia Belanda 1635-1860,
(Jakarta, 1965).
[76]Ahmad Suriadi, hal, 2
[77]Ahmad Suriadi, hal, 3.
[78]Ahmad Suriadi, hal, 3.
[79]Lihat J.J. Ras, Hikayat Banjar : A Study in Malay
Historiography, (Leiden,t.p., 1968). Dan J.C. Noorlander, Banjarmasinen
de Campagnie in de tiveede heltth.der 18 de Een, N. (Leiden: Dubbeldemen,
1935).
[80]Gazali Usman, Kerajaan Banjar, sejarah Perkembangan Politik
Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin: Lambung Mangkurat
University Press, 1994), hlm. 44.
[81]J.C. Noorlander, Op.Cit., hlm. 38
[82]Durhaka
terhadap orang tua sehingga mendapat murka dari Allah swt.
[83]Lihat
Idwar Shaleh, Selayang Pandang Mengenal Bangkitnya Kerajaan Banjarmasin,
Posisi, Fungsi dan Artinya dalam sejarah Indonesia dalam Abad ke 17,dampak
psikologis pula bagi Pangeran AliuddinAminullah, sehingga dia menjadi sakit, sejenis
ada rasapenyesalan, lalu meninggal dunia pada tahun 1761 M. (Bandung, KPPK,
Balai Pendidikan Guru, tth.), hlm. 125; Lihat pula Arsip Nasional,Decentralisatie,
Kies voorschriften Manado Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo,19 Maart
1930 nomor 7.
[84]A.B. Lapian, hlm. 250
[85]Penasehat-penasehat berikutnya adalah G.A.J. Hazeu (1906-1912),
D.A. Rinkes (1913-1916), R.A. Kern (1920-1922, 1923-1926), E. Gobee (1926-
1928, 1929-1931, 1931-1937) dan G.F. Pijper (1937-1942).
[86]Tahun 1901 Ratu
Wilhelmina secara resmi membuka suatu era kolonial baru, tatkala ia berbicara
tentang “kewajiban etis dan tanggung jawab moral” negeri Belanda terhadap
Hindia Belanda.
[87]Adatrechtbundels,’s-ravenhage,
Martinus Nijhoff, 27, 1928, hlm. 447.
[88]Adatrechtbundels,
12, 1916, hlm. 198-2002.
[89]Adatrechtbundels,
12, 1916, hlm. 200-2002.
[90]Jabatan Demang merupakan jabatan tertinggi yang dicapai olehpegawai
pribumi di Palembang setelah jabatan rijkbestuurder dihapuskan.
LihatSnouck Hurgronje, Ambtelijke Advienzen, Jilid I, 1957, hlm. 792
[91]Zainal
Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, 5 Jilid, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), Jilid 1, hlm. 40.
[92]Karel A. Steenbrink, “Metodologi
Studi Sejarah Islam di Indonesia Beberapa Catatan dari Praktek Penyelidikan
Tentang Abad ke-19”, dalam Mu’in Umar dkk. (Ed.), Penulisan Sejarah
Islam di Indonesia dalam Sorotan, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 9.
[93]Ramah dan lembut
[94]Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabil al-Muhtadin li al-
Tafaqquh fi Amr al-Din , (Mesir: Darun Ahya, Cet. III, tth..), hlm. 3.
[95]Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah,
Cet. III, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1973), hlm. 5.
[96]Yusuf Halidi, Ulama Besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,(Banjarmasin:
Aulia, 1968), hlm. 40.
[97]Karel
A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 85.
[98]Karel
A. Steenbrink, hlm 85-86
[99]Taufik
Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 66.
[100]Masyhur Amin, “Kedudukan Kelompok Elit Aceh Dalam PerspektifSejarah,”
dalam Alfian, Ed. Kelompok Elite dan Hubungan Sosial di Pedesaan,(Jakarta:
Pustaka Grafika Kita, 1988), hlm. 20.
[101]Abu Bakar Muhammad Ibnu Husain bin Abdullah
Al-Ajiriy, Budi Pekerti Ulama, Terj. Drs. Aly As’ad, (Kudus: Menara
Kudus, 1978), hlm. 1.
[102]Judul lengkapnya: Sabilal Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amriddin