Antara Ponorogo, Ngawi dan Banyuwangi
OLEH : IFFAH IQBAL
Doa anak yang shaleh adalah salah satu diantara amal yang tidak pernah berhenti mengalir walaupun maut telah memisahkan. Banyak orang tua menganggap untuk menjadikan anak yang shaleh tidak perlu atau tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah itu sejak anak itu masih kecil kecuali anak itu sudah akil baligh. Padahal dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa ketika anak kita masih kecil namun pada usia itu ia sudah mengerjakan amal-amal saleh maka pahala kebaikan akan mengalir untuk orang tuanya. Dan ketika anak itu memasuki usia akil balig maka pahala kebaikan itu akan tetap mengalir untuk orang tua dan anak itu sendiri tanpa ada istilah dibagi. Sungguh berbahagialah orang tua yang telah bisa mendidik anaknya sejak usia dini.
Namun bagi aku sendiri ada rasa ketidak mampuan untuk menjadikan anak shaleh yang mampu membendung tingginya arus globalisasi. Ketika anakku sudah duduk di bangku SD kelas VI aku merasa mempunyai beban dan seakan ada kekhawatiran untuk kelanjutan pendidikan bagi anak-anakku. Seiring berputarnya waktu seiring itu pula aku melihat betapa rapuhnya generasi muda yang seusia dengan anak-anakku telah terjerumus dengan berbagai persoalan yang sebenarnya belum layak mereka kerjakan. Di tengah malam di mana anak-anak seharusnya telah terlelap di perbaringan mereka banyak kujumpai melintasi jalan raya dengan berbondong-bondong mengendarai sepeda dengan memakai kaos yang bertulisan gang tertentu bahkan atribut tertentu yang menandakan bahwa ada genk lain selain mereka. Selain itu para remaja yang kutaksir usianya belasan tahun mengendarai sepeda motor dengan berboncengan dengan anak laki-laki seusia mereka sambil bercanda, padahal aku tahu mereka belum mempunyai SIM karena saat kutanyakan anak-anak itu belum berusia 17 tahun. Di hotel-hotel berbintang pun yang kebetulan ada mempunyai arena diskotik tak sedikit ku jumpai anak-anak seusia anakku namun berdandan ala orang dewasa. Sering aku bertanya dalam hati kemana orang tua mereka, apa mereka tidak mencari di mana anak mereka sekarang, apa para orang tua tahu keberadaan anak-anak mereka, atau kah para orang tua itu sudah lelap dengan mimpi-mimpi mereka atau mereka tidak perlu tahu di mana dan kemana anak-anak mereka. Sungguh ironis kehidupan sekarang ini bagaimana nasib bangsa ini kalau generasi sekarang ini sudah mengenal kehidupan malam yang tentunya sangat rentan dengan perbuatan yang bisa merusak masa depan mereka.
Pikiran itu terus menghantuiku bagaimana aku tidak khawatir, karena aku mempunyai anak yang juga sebentar lagi akan menyelesaikan studinya dan akan memasuki masa pubertas yang harus mempunyai filter agar tidak terjerumus kepada pergaulan yang sering aku saksikan. Tiap saat dan setiap akhir sholat aku selalu memanjatkan doa, agar Allah swt memberikan jawaban akan kegundahan hatiku. Dengan bertukar pikiran dengan suamiku akhirnya dengan petunjuk Allah kami berniat memasukkan anakku ke sebuah pesantren yang insya Allah mampu mengantarkan anakku menjadi anak yang saleh juga mampu membangun bangsa dan negeri ini dengan berakhlakul karimah. Subhannallah…dengan pilihan dia sendiri anakku menerima permintaan kami dengan pondok pilihan dia sendiri, karena kemampuan dia dengan tekhnologi canggih saat ini anakku sudah mempunyai kemampuan untuk mencari informasi lewat internet dia menentukan pilihan Gontor adalah pesantren yang ia pilih. Aku dan suami sampat tak percaya, karena Pesantren Gontor tidak termasuk dalam pesantren pilihan kami, tapi bagi kami berdua Gontor sangat familiar dan banyak dari keluarga kami merupakan alumni dari pondok modern ini. Mungkin ini adalah jawaban dari Allah swt untuk kami, dengan bismillah aku pun dan suami mengantarkan anakku ke Ponorogo. Sebuah kabupaten yang kutempuh hamper 5 jam dari kota Surabaya, rasanya aku tidak yakin bahwa anakku akan betah di kota sepi ini. Tapi bayangan itu harus ku tepis jauh-jauh, aku yakin ini adalah usaha syeithan yang mencoba menggodaku agar aku batal untuk memondokkan anakku di sana, dan aku pun berjuang dengan terus berdoa, agar aku bisa mengikhlaskan hatiku sebagaimana nabi Ibrahim yang bisa mengikhlaskan putranya Nabi Ismail untuk disembelih padahal anaknya Ismail adalah anak satu-satunya Nabi Ibrahim.
Setahun sudah berlalu, kini aku kembali ke kota ini untuk mengantarkan saudara sepupu anak dari budeku yang kebetulan ingin melanjutkan ke pesantren yang sama, di sini aku mengingat kembali perjuanganku dan para orang tua santri agar mereka bisa meyakinkan anak-anak mereka agar bisa menuntut ilmu di pondok ini. Derai tangis air mata para santri dan orang tua adalah hal yang biasa di pondok ini, terkadang sesama para kaum ibu memberikan dorongan dan semangat agar hati mereka bisa menerima dan mengikhlaskannya untuk melepas anak-anak mereka. Terkadang kujumpai santri yang menangis sesegukan, dan saat itu pula tak sendikit para wali santri membujuk anak-anak yang sudah ditinggal pulang orang tua mereka untuk tenang dan sabar. Dan kebersamaan dari berbagai macam suku dan keaneka ragaman bahasa tidak membatasi persaudaraan,bahkan persaudaraan itu kurasakan sangat kental di dalam pondok. Para wali santri yang kebetulan menjenguk anak mereka tak segan-segan meminjamkan telepon genggam mereka untuk menghubungi orang tua santri. Perjuanganku setahun yang lalu kini kutemui kembali, selain mengantarkan anak budeku ke Gontor 2 Ponorogo, aku juga kembali memperjuangankan tekadku untuk kembali mengikhlaskan anak keduaku memasuki pondok Gontor Puteri. Melihat tubuhnya yang kecil dan imut sebenarnya aku tidak tega, karena kalau dibandingkan dengan putraku yang pertama, anakku yang kedua ini sangat susah makan tapi kemauannya yang keras mampu meluluhkan perasaanku. Hati ibu yang mana yang sanggup berpisah dengan anak yang aku anggap masih memerlukan tenagaku untuk membantu keperluan sehari-harinya. Tapi dalam hati kecilku aku bangga terhadap puteri sulungku ini. Bagaimana aku tidak bangga, karena selama dikota kelahirannya anakku sudah mempunyai prestasi, selain pintar menyanyi anakku ini sering menjadi presenter anak di sebuah televise milik pemerintah. Tak jarang dia diundang disebuah acara yang tidak hanya dihadiri oleh para tokoh masyarakat juga pejabat setempat. Dan dari bakat itulah anakku sudah mempunyai penghasilan yang pada sesusiaku dulu aku tidak pernah meraihnya. Dan saat masuk pondok anakku masih dalam penyelesaian album rekaman lagu-lagu daerah bahasa banjar yang religi, sungguh kalau dia mementingkan materi mungkin dia akan menolak untuk masuk pondok. Tapi keyakinan hatinya bahwa selama ia memasuki pesantren ia akan mampu mengembangkan bakatnya. Dan selalu kuucapkan dan kupanjatkan doa pada keinginannya selalu kuberikan motivasi padanya bahwa selesai kamu di pondok aku yakin bahwa anakku akan menjadi infotaimen sejati yang mempunyai akhlak yang mulia, berkpribadian yang tangguh dan cerdas dan mampu berdakwah dengan bakat dan kemampuan yang ia miliki insya Allah. Amin.
Tak terasa hamper tiga hari aku berada di Gontor 2 puteri tempat menampung para calon santri sebelum mereke menempuh ujian masuk pada bulan Ramadan nanti. Di sinipun aku menemukan kembali perjuangan kaum bapa dan kaum ibu untuk memberikan spot kepada puteri-puteri mereka agar mereka bisa betah untuk tinggal di pondok yang dikenal dengan kedisiflinannya. Sungguh berat rasanya apalagi kalau anak-anak itu sudah terbiasa dengan kehidupan mereka yang serba dilayani baik oleh orang tua atau khadam mereka, kini mereka harus melayani diri mereka sendiri dan memanajemen keuangan sendiri bahkan mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan. Dan sempat terlintas dalam benakku sungguh perjuangan itu tidak hanya dirasakan berat oleh para wali santri juga anak-anak karena dimana seusia anakku yang lulus SD seharusnya masih usia bermain dan bersenang-senang kini mereka harus bisa membagi waktu mereka untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang tua mereka, tapi aku yakin semakin berjalannya waktu mereka akan menikmati perjalanan hidup mereka seiring doa kebaikan yang tulus dan ikhlas yang terus mengalir setiap saat dan waktu dari kami para orang tua santri. Keyakinan itulah yang selalu menghiburku sehingga aku mampu menjalaninya seperti kehidupan biasa, karena ada ketidak yakinan dalam hatiku, seandainya anak-anakku berada di sampingku dan setiap kali perbuatan yang mungkin membuat aku marah tanpa sadar mungkin aku mengeluarkan kata-kata yang bisa menjadi doa, karena setiap kata-kata yang keluar dari mulut seorang ibu akan diamini oleh para malaikat auzubillah min jalik. Mudah-mudahan aku terhindar dari itu.
Kini perjalanan kuteruskan ke sebuah kota yang merupakan daerah perbatasan antara Jember dan Bali yaitu Banyuwangi. Selama hamper 18 jam aku tempuh perjalanan itu, karena tanpa sadar dalam perjalanan yang seharusnya aku tempuh kira2 12 jam harus kulewati lebih lama, karena permainan para supir yang tidak mengindahkan kenyamanan penumpang. Bis yang seharusnya melewati kota Banyuwangi di oper ke bis yang tidak melewati kota Banyuwangi, akhirnya ketika bis itu sampai di kota Jember aku kembali mencari bis tujuan banyuwangi
Dengan menggunakan bis tujuan Bali. Namun kerinduan hati seorang ibu untuk menjumpai anak laki-laki satu-satunya dikota itu tepatnya di pondok Darul Muttaqin Gontor 5 tidak membuatku berkecil hati, aku ambil hikmah dari semua itu mungkin aku bisa menikmati kota jember yang sangat indah pemandangan dalam tujuanku ke kota yang terkenal dengan ilmu hitamnya.
Enam bulan sudah aku tidak melihat wajah ganteng anakku. Pertama kali kumelihat tanpa sadar aku meneteskan air mataku. Kulihat binar kebahagiaan dalam matanya yang kulihat agak cekung mungkin kurang tidur, tapi wajah itu tampak bercahaya dengan sorot kepercayaan diri yang begitu kokoh aku temukan pada sorot matanya dan ketegaran hidup yang jauh berbeda ketika pertama kali aku antarkan dia ke pondok. Namun aku seakan terpaku melihat kemeja anakku yang lusuh dan seperti maaf seperti anak yang terurus. Singkat kata aku pun menangis dan mendekap dia dalam pelukanku dan tanpa sadar kata maaf berulang kali kuucapkan pada anakku, ya Allah maafkan hamba mengapa hamba tidak pernah menjenguknya sehingga kini aku menyaksikan sendiri penderitaannya, apalagi ketika aku melihat sepatunya yang sudah menganga dan terbuka dan terkoyak yang sebenarnya tidak layak lagi untuk di pakai. Tanpa membuang waktu akupun berlari ke depan pondok mengambil baju yang ingin kukecilkan dan membeli lem perekat untuk melem sepatu anakku yang saat itu mau masuk sekolah. Sesampainya di depan dia aku suruh dia mengganti kemejanya yang lusuh itu dengan kemeja baru yang aku bawa dan ku lem sepatunya itu dengan perasaan teriris dan saat itu aku melihat air mata meleleh di pipi anakku, saat kuhapus air matanya dan kutanyakan dengan lembut mengapa dia menangis, anakku pun menjawab dengan lirih dan terbata-bata, ma... maafkan aku ma, mama yang jauh-jauh datang menjenguk aku ternyata membuat mama bersedih, kalau boleh aku jujur lebih baik mama tidak datang karena aku tidak ingin mama melihat keadaan aku yang sebenarnya, aku ikhlas ma...aku tidak meminta uang terus walaupun barangku sering di ghasab, lebih baik aku begini apa adanya, tapi berkah kan ma, daripada aku mengghasab punya teman aku. Air mataku semakin tumpah seakan membasahi lapangan bola yang ada di pondok itu, ya Allah mengapa aku marah dengan keadaannya padahal anakku yang belum baligh itu mau menerima apa adanya dan ikhlas dengan kehidupan yang sekarang ia lakoni. Jujur aku telah kalah melangkah dan kini aku menangis bangga dan haru bahwa anakku yang dulu sangat manja tapi perasaannya sangat peka telah mengembuni hatiku dengan ucapan yang sangat sederhana tapi bersahaja dan mampu menggetarkan rasa keimananku kepada Yang Kuasa Ya Allah kutatap langit yang mulai menggayut senja dan samar kudengar bel tanda santri harus menuju mesjid untuk sholat berjamaah anakku pun pamit seraya mencium tanganku dan berjanji menemui kembali setelah mengaji katanya. Dengan berlalunya anakku berlalu pula kegalauan hati ini dan kecemasan hati, ya Allah aku mohon petunjukMu, aku mohon kekuatan hatiku untuk selalu percaya bahwa jalan yang telah Kau berikan kepada aku dan suamiku merupakan jalan yang telah Engkau beri rahmat dan inayah dan jawaban agar kelak anak-anakku menjadi pembimbing kami para orang tua santri menjadi penghuni surgaMU amin ya robbal alamin.