Senin, 30 Desember 2019

MUHAMMMAADIYAH 1.2 T

*REZIM JOKOWI BERHUTANG KE MUHAMMADIYAH 1,2 T*


Oleh : Nasrudin Joha 


Dua Ormas Islam di Indonesia mulai ramai mengungkit utang pemerintah. Nahdlatul Ulama sudah lebih dulu menagih. Melalui Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, NU menagih janji Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mencairkan kredit rumah murah sebesar Rp 1,5 triliun.

Tak berselang lama, giliran Muhammadiyah yang ikut mengungkit utang pemerintah. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan bahwa pemerintah punya utang sebesar Rp 1,2 triliun.

Bedanya, utang rezim ke NU adalah utang politik, berkaitan dengan janji politik. Sementara utang rezim Jokowi ke Muhammadiyah adalah utang real, utang karena Muhammadiyah telah melakukan kerja nyata melayani umat, melalui layanan kesehatan rumah sakit berbasis program BPJS.

Perlu diketahui, rasa jengkel dan geram atas tunggakan BPJS itu dialami semua rumah sakit. BPJS tak memiliki solusi kongkrit, selain membantu menjadikan piutang ke BPJS menjadi agunan yang dapat dijadikan jaminan bagi Rumah Sakit untuk meminjam utang ke Bank. 

Jika langkah pinjam ke bank diambil oleh rumah sakit, rumah sakit mengalami dua kerugian. Pertama, rumah sakit terpaksa terbelit riba. Kedua, beban bunga utang akan menambah berat kegiatan anggaran rumah sakit.

Belum lagi, berbagai standar layanan BPJS yang mulai dikurangi, bukan karena pertimbangan medis tetapi lebih karena pertimbangan kosongnya anggaran. Meski berulangkali mengaku defisit, gaji direktur BPJS masih tetap saja selangit (terakhir 500 jt).

Muhammadiyah dan RS pada umumnya memang dibuat tak berdaya, utang Pemerintah ini beda dengan utang swasta atau pribadi. Andaikan utang ini sifatnya pribadi, sudah pasti banyak rumah sakit sewa jasa Debt Colector untuk tongkrongi semua kantor BPJS di seluruh Indonesia.

Jadi, yang punya hak untuk kirim debt colektor itu bukan BPJS untuk menagih iuran BPJS ke rakyat. Sejak awal Rakyat sudah ogah dan menolak diikutkan program BPJS, rezim saja yang memaksa.

Yang punya hak itu ya Muhammadiyah, dan seluruh rumah sakit yang punya piutang di BPJS. Rumah sakit jelas telah bekerja, membiayai layanan kesehatan, membayar obat, membayar dokter, menalangi biaya pasien menginap, dll. Jadi kalau mau menang-menangan, seharusnya rumah sakit yang berhak kirim debt Colector ke kantor BPJS.

Namun masih tersisa satu permasalahan, kenapa Muhammadiyah sampai 'menagih' di forum umum ? Jelas, curhatan Din Samsudin bukan tanpa sebab. Boleh jadi, ini karena pihak Pemerintah sudah sangat kebangetan. Kalau SAS merajut di forum umum tak perlu diperhatikan, dia mah sudah tidak punya malu.

Kembali ke pokok masalah, rezim Jokowi ini punya utang 1,2 T kepada Muhammadiyah. Gayanya jual kartu-kartuan, untuk kesehatan. Padahal, Muhammadiyah yang disuruh tombok. [].

Tidak ada komentar: