Senin, 26 Desember 2022

Masjid Al Birru Abie Audah Center





Alamat : Masjid Al Birru Abie Audah Center

 Jl. Semangat Bakti RT 05, Kec. Alalak, Kab. Barito Kuala/ WA : 0851 0066 6142.

SPPT : 593.2/14/SPPF/05/SB, Pertanggal 04 Desember 2019.

Tanah seluas 2.310 M3


DONASI  BSI 21 08 2000 25

Senin, 03 Oktober 2022

MASJID AL BIRRU DHUAFA TERSENYUM


 Alhamdulillah Yayasan Dhuafa Tersenyum telah menerima wakaf tanah dari hamba Allah untuk rencana pembangunan mesjid, Aula, dan Pesantren Tahfidz* Al Birru*
Pembangunan  ini memerlukan anggaran biaya sebesar Rp. 3.000.000.000,-(tiga milyar rupiah).
Kami panitia Pelaksana mengajak kepada Para agnia untuk bersama-sama menyisihkan Infaq dan Sedekahnya untuk terwujudnya pembangunan ini. Donasi anda bisa anda amanahkan melalui Yayasan Dhuafa Tersenyum 
1. Kantor Pusat dijalan Sultan Adam Ruko kapling 3 RT 14 RW 002 seberang Komplek Kadar Permai 1 atau melalui rekening atas nama  Panitia Pembangunan Mesjid Al Birru  Bank Syariah Indonesia (BSI) 21 08 2000 25
Konfirmasi transfer silahkan menghubungi WA 085100666142 
Abie Audah
Sekecil apapun donasi anda, Allah akan bangunkan rumah nanti di Syurga. Aamiin

Mohon bantuan saudara saudari kaum muslimin dan muslimat untuk sebarkan himbauan ini agar pembangunan mesjid ini bisa kita wujudkan bersma-sama. 
Fastabiqul Khairat...
Mari bwrlomba2 dalam berbuat kebajikan.
Panitia Pembangunan Mesjid, Aula dan Peaantren tahfidz Al Birru.
Ttd
Fakhriansyah
Mengerahui ketua Yayasan Dhuafa Tersenyum 
Dato Dr.Abie Audah

PENERAPAN SYARIAT ISLAM BY Syekh al-Banjari

 

PENERAPAN SYARIAT ISLAM

Abie Audah

 

Syekh Al-Banjari bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari Ulama yang mendapat gelar Datu Kalampaian ini sejak awal dakwahnya berkeinginan menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Harapannya satu, seluruh masyarakat memahami betul bagaimana Islam memberikan tuntunan yang komplit bagi umatnya untuk selamat dunia dan akhirat.

Pemikiran Syekh Al-Banjari di bidang akidah Islam terlihat dalam upayanya memurnikan akidah Islam dari bid’ah dhalalah dan memurnikan faham ahlussunah waljama’ah. Bentuk pemurniannya, melarang ajaran wujudiyah dan meyakinkan Sultan Nata Alam bahwa wahdatul wujud itu bertentangan dengan faham ahlususunnah wal jama’ah.[107]

Hal ini terbaca dalam karya tulisnya Tuhfat al-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’min wa ma Yufsiduh min Riddah al-Murtaddin. Syekh Al-Banjari hidup di awal abad ke 18 dan awal abad ke 19 dalam wilayah kerajaan Banjar yang sekarang menjadi wilayah Kalimantan Selatan. Meskipun ajaran Islam sudah tersebar luas dikalangan masyarakat kerajaan Banjar sejak abad ke 16, tetapi sisa kepercayaan lama masih ada di beberapa tempat. Kepercayaan ini tidak berasal dari ajaran Islam, karenanya, Syekh Al-Banjari menganggap membahayakan iman kaum muslimin.

Upacara tradisional yang mendapat perhatian khusus dari Syekh Al-Banjari dalam Tuhfat al-Raghibin adalah upacara menyanggar dan membuang pasilih. Upacara itu dilakukan dengan cara memberi sesajen yang berisi bermacam wadai (kue) dan dipersembahkan untuk ruh-ruh ghaib, hantu-hantu yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit, membuang sial dan mengabulkan segala macam permintaan. Komunikasi dengan ruh-ruh itu dilakukan oleh seorang balian (dukun) melalui media manusia yang dirasuki ruh halus yang diundang oleh sang belian setelah mempersembahkan sesaji.

Menurut Syekh Al-Banjari, kedua upacara tersebut adalah bid’ah dhalalah (bid’ah menyesatkan), karenanya, pengamalnya harus bertobat. Menurutnya, ada tiga indikator bid’ah yang terdapat dalam kedua upacara itu. Pertama, perilaku mubazir atau membuang harta pada jalan yang diharamkan. Syekh Al-Banjari merujuk pada firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Isra’/17 ; 27 sebagai berikut,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺒَﺬِّﺭِﻳﻦَ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺇِﺧْﻮَﺍﻥَ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦِ ۖ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻟِﺮَﺑِّﻪِ ﻛَﻔُﻮﺭًﺍ

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.  

 

Kedua, bersekutu dan mengikuti langkah-langkah setan. Syekh Al-Banjari merujuk beberapa ayat yang melarang praktek semacam itu, antara lain pada surah al-Baqarah/2 ; 208 sebagai berikut,

أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[108]

 

 

Surah lain adalah  al-Nisa/4: 119

 

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلْأَنْعَٰمِ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ ٱللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ ٱلشَّيْطَٰنَ وَلِيًّا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا

dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merobahnya”. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.

 

Ketiga, kedua tradisi tersebut di atas mengandung kemusyrikan. Sehubungan dengan indicator di atas, Syekh Al-Banjari menegaskan hukum bagi pengamal ritual sebagai berikut:

i.      Bila diyakini bahwa kekuatan yang ada pada kedua upacara dapat menghindarkan orang dari mara bahaya, maka hukumnya kafir.

ii.    Bila diyakini bahwa kekuatan yang diciptakan Allah pada kedua upacara itu dapat menolak bahaya, maka hukumnya bid’ah tetapi tetap saja kafir.

iii.  Bila diyakini bahwa kekuatan kedua upacara itu tidak memberi pengaruh, baik dari kekuatan ritual maupun kekuatan yang diciptakan Tuhan padanya, lalu Allah juga yang menolak bahaya itu melalui hukum kebiasaan (sunnatullah) pada kedua upacara tersebut, maka hukumnya hanya bid’ah dan tidak sampai kafir. Namun bila diyakini bahwa kedua upacara itu halal, maka hukumnya kafir.[109]

Upacara Menyanggar dan Membuang Pasilih hanyalah sebagian contoh dari sekian banyak upacara serupa yang disebutkan oleh Syekh Al-Banjari. Ia menyerukan kepada pembesar kerajaan agar menghilangkan upacara-upacara tersebut dalam masyarakat kerajaan Banjar.[110] Pemikiran Syekh Al-Banjari dalam bidang keagamaan dalam aspek aqidah, beliau berusaha untuk memurnikan Aqidah Islam dari ajaran lama seperti bid’ah dhalalah, melarang ajaran wujudiyah dan berusaha meyakinkan Sultan Nata Alam bahwa ajaran wahdatul wujud itu bertentangan dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah.

 



[107] A. Gazali Usman, Kerajaan Banjar Sejarah Perkembangan Politik Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press, 1998), h.157.

[108]Ayat ini diturunkan mengenai Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya tatkala mereka membesarkan hari Sabtu dan membenci unta sesudah masuk Islam. (Hai orang-orang beriman! Masuklah kamu ke dalam agama Islam), ada yang membaca 'salmi' dan ada pula 'silmi' (secara keseluruhan) 'hal' dari Islam artinya ke dalam seluruh syariatnya tanpa kecuali, (dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah) atau jalan-jalan (setan), artinya godaan dan perdayaannya untuk membeda-bedakan, (sesungguhnya ia musuhmu yang nyata), artinya jelas permusuhannya terhadapmu.

[109] Syekh al-Banjari, Tuhfatul al-Raghibin fi Bayani Haqiqat Iman al-Mu’min wama Yufsiduh min Riddat al Murtaddin, Terj:Abu Daudi, cet.I, (Banjarmasin: Yafida, 2000), h. 89-100.

[110]Tuturan dari para sesepuh dari turun temurun tentng aktifitas ke-Agamaan Syekh al-Banjari di Martapura.

SUBSTANSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SYEKH AL-BANJARI

 

SUBSTANSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SYEKH AL-BANJARI

 Abie Audah

Syekh Al-Banjari datang ke Banjar Kalimantan Selatan pada pertengahan abad XVIII, dalam situasi kesultanan berada di bawah kekuasaan “Dinasti Baru”, serta struktur dan sistem politik “Terpusat” di tangan Sultan.[68] Struktur politik kerajaan di Nusantara, yang berbentuk “Kesultanan” pada abad XIX, umumnya di bawah kendali raja. Sultan adalah aktor politik, pemilik otoritas politik tertinggi. Demikian halnya struktur politik di Kerajaan Banjar pada abad XIX, tidak jauh berbeda dengan Kesultanan Islam lainnya di kawasan Nusantara. Sultan Banjar memiliki otoritas penuh, dalam menentukan garisgaris kebijakan politik dan instrumen-instrumen politik.

Sedikit yang membedakan antara Kerajaan Banjar dengan kerajaan lain di Nusantara adalah adanya lembaga musyawarah, disebut “Dewan Mahkota”[69] yang terdiri dari kerabat (bubuhan[70]) Sultan-sultan, kelompok kerabat Istana. Lembaga ini sudah muncul sejak abad ke 17 di Kesultanan Banjar yang diketuai Mangkubumi. Pejabat ini, biasanya sangat mengetahui tentang persoalan-persoalan; politik, ekonomi dan sosial-budaya. Tidak heran, jika di antara mereka dapat mempengaruhi Sultan, dan pada suatu situasi tertentu dapat merebut kedudukan Sultan. Pangeran Tamjidillah[71] (1700 M– 1734 M) menjadi sultan ketika Sultan Hamidullah wafat, Pangeran Tamdjidillah ditunjuk sebagai Wali Putera Mahkota, Pangeran Aliuddin Aminullah. Pangeran Tamjidillah sendiri adalah adik dari Sultan Hamidullah atau Paman (Paanang) dari Pangeran Aliuddin Aminulah. Pangeran Tamdjidillah mengangkat dirinya sebagai Sultan Banjar. Kesultanan Banjar pada abad XVIII adalah kesultanan Islam.[72]

Secara konsepsional, tujuan sebuah kesultanan tentunya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya. Di samping itu tujuan lainnya adalah untuk memberikan kebebasan bagi rakyat untuk kreatif dalam segala bidang kehidupan, termasuk berdagang. Berdagang sendiri bagi kalangan masyarakat Banjar merupakan pekerjaan "primadona". Kesultanan Banjar pada awal abad XVIII dipandang sebagai kerajaan bebas dan berhasil mengalahkan penetrasi asing dalam bidang ekonomi. Terbukti dengan adanya pelabuhan kerajaan Banjar sebagai pusat perdagangan Lada.[73]

Fase abad ke XVII-XVIII, terjadi pergulatan antara emporium dan imperium serta “komunikasi” yang diselenggarakan oleh para penyebar Islam, baik pedagang, musafir, ulama dan kaum sufi. Dengan adanya fenomena ini berdampak semakin diakuinya peranan ulama dalam struktur komunitas pribumi, bahkan ada yang menduduki jabatan birokrasi kerajaan[74].

Ambary memberikan penjelasan bahwa di dalam cerita sejarah yang termaktub pada naskah-naskah abad XVII-XIX, tampak peranan ulama, wali dan penyebar Islam berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan raja. Legitimasi tersebut dilakukan melalui isyarat-isyarat genealogist maupun kesinambungan keturunan yang diperlukan. Hal ini dilakukan dalam kerangka menciptakan transformasi yang baik tanpa halangan yang berarti. Islam yang dakwahkan oleh Syekh Al-Banjari ternyata mampu dicerna oleh masyarakat segala kalangan tanpa menimbulkan persoalan baru, khususnya yang terkait dengan benturan antara penguasa dan masyarakat.

Menengarai hal ini, ada beberapa interpretasi logis yang dapat dikaji secara sosio-kultural dalam perspektif historis kerajaan Banjar. Beberapa latar belakang dan alasan dapat diungkapkan di bawah ini;

i.      Kondisi politik pada saat itu sangat terkait dengan kerabat “Bubuhan Raja-raja”. Bubuhan ini, menampung kumpulan elite bangsawan kesultanan Banjar. Para elite bangsawan ini, memiliki berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi dan politik. Pada abad XVII, konflik kubu-kubu pro Inggris dan Belanda dalam persaingan perdagangan Lada, dapat dijadikan rujukan untuk memahami motif pencetus konflik abad XVIII ini. Kelompok tertentu dari bermacam personal elite Bangsawan Banjar, berhasil menjadi provokator ulung, sehingga Pangeran Aliudin Aminullah tergerak untuk memberontak terhadap mertuanya.

ii.    Sultan Tamdjidillah termasuk Sultan yang cerdik. Siasat politiknya merugikan VOC. Perjanjian Kesultanan Banjarmasin dengan VOC tanggal 18 Mei 1747 yang ditanda tangani Sultan Tamdjidillah dan disetujui Pangeran Aliuddin Aminullah secara sepintas menempatkan pihak VOC (kompeni) pada posisi yang diuntungkan, tetapi pada prakteknya perjanjian itu hanya sekedar siasat kesultanan Banjar untuk melindungi diri dari pengaruh pihak asing. Ternyata masyarakat Banjar selalu mengadakan transaksi perdagangan secara bebas dengan bangsa manapun yang berkehendak membeli lada. Karena itu, perjanjian diperbaharui lagi pada tanggal 20 Oktober 1756 M. Ternyata Pangeran Aliuddin Aminullah secara sepihak, tanpa sepengetahuan mertuanya menandatangani perjanjian dengan VOC di Benteng Tatas, pada tanggal 27 Oktober 1756. Kasus ini memberikan penjelasan, bahwa VOC adalah salah satu sebab pencetus pemberontakan yang dilakukan Pangeran Aliuddin Aminullah terhadap mertuanya, Sultan Tamdjidillah. VOC “meracuni” pikiran Pangeran Aliuddin Aminullah dengan kekuasaan dan iming-iming bantuan pasukan[75].

Mengkaji hubungan, posisi dan peran Syekh Al-Banjari dalam dinamika interaksi kekuasaan di Kesultanan Banjar memerlukan pemahaman yang mendalam dan serius. Karena pemahaman “Politik” terkadang tersamarkan oleh realitas “Pertentangan” elite politik. Untuk itu konsep ilmu politik dengan segala aspeknya perlu dilihat sebagai alat untuk menganalisis hubungan dan interaksi ulama dengan sultan dalam konteks sistem kekuasaan kerajaan nusantara ini, khususnya di kerajaan Banjar.[76]

Secara makro, bila dikaji strategi politik dakwah Syekh Al-Banjari agar misi dakwahnya dapat tercapai dilakukan dengan cara mendekati Sultan terlebih dahulu, kemudian memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif guna kebaikan pemerintahan. Syekh Al-Banjari adalah ulama yang benar-benar Arif dapat diterima oleh semua kalangan elite bangsawan Kesultanan Banjar, termasuk Sultan sendiri. Lambat laun perjuangannya mendekati garis birokrasi kerajaan berimplikasi pada dapat diterimanya beliau secara pribadi dan pemikirannya dikalangan bangsawan dan lapisan masyarakat bawah.

Berjalannya waktu dan seiring dengan perkembangan hubungan antara Sultan dan rakyat, maka dapat dikatakan bahwa missi dakwah yang diemban oleh Syekh Al-Banjari dapat berjalan dengan baik tanpa rintangan politik. Strategi dakwah yang dikembangkan oleh SAB adalah strategi politik kesultanan. Artinya jika sultan “merestui”, berarti secara politis telah menjadi putusan tertinggi yang wajib didukung oleh siapapun, termasuk kerabat (bubuhan) raja. Legitimasi pihak kesultanan bagi Syekh Al-Banjari berarti kemenangan politik dakwahnya untuk menumbuh kembangkan tatanan masyarakat Islami. Meskipun sultan Pangeran Tamjidillah sendiri tentunya “mengharapkan” legitimasi politik untuk kekuasaannya.[77]

Syekh Al-Banjari adalah “anak angkat” dari Sultan Hamidullah, atau “saudara angkat” dari Putera Mahkota. Dalam dinamika internal kerajaan, khususnya intrik-intrik yang terjadi dalam pergulatan kekuasaan kerajaan Banjar. Syekh Al-Banjari memiliki berbagai pertimbangan yang bijaksana dan taktis. Sebagai “Arif Billah”, dirinya lebih mengedepankan kemaslahatan umat atau kepentingan yang lebih besar daripada persoalan-persoalan “Tahta” yang cuma bermanfaat bagi elite Bangsawan kesultanan Banjar saja.[78]

Syekh Al-Banjari yang bergelar “Tuan Guru”, adalah refleksi peran ulama pribumi Banjar yang telah menjadi “Tokoh”. Dirinya dipandang sukses untuk menerapkan ilmu yang ditimbanya di Tanah Mekkah dan mengamalkan ilmunya di negeri sendiri. Syekh Al-Banjari memiliki persyaratan lengkap untuk memberi legitimasi bagi Kesultanan Banjar, yaitu “Ulama Lulusan Mekah” dan “Anak Angkat Sultan Hamidullah”. Status Syekh Al-Banjari mewakili “Achieved Status” dan “Discribed Status” sekaligus. Pendeknya, SAB mampu menciptakan hubungan yang harmonis antara ulama dengan umara, antara ulama dengan masyarakat dan antara umara dengan rakyat Banjar.

Kerangka penyebaran Islam di Kerajaan Banjar, Syekh Al-Banjari melakukan pemetaan wilayah kerajaan Banjar. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembagian wilayah kerjanya. Adapun daerah tersebut meliputi;

a.       Pertama adalah Wilayah Kerajaan Banjar, meliputi Istana Raja di Martapura dan berakhir dari titik luar dari daerah Landak ke Berau.

b.      Kedua adalah wilayah Tanah Laut, Sebelah Barat Meratus dan Sebelah Selatan Banjar, Banjar Lama, Banua Ampat (Banua Padang, Banua Halat, Perigi dan Gadung (Rantau), Margasari, Alai, Amandit, Banua Lima; Nagara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai, Kalua, Marabahan dan Daerah Atas Barito.

c.       Ketiga adalah wilayah yang meliputi; Tanah Bumbu, Pulau Laut, Karasihan, Pasir, Berau dan Kutai, Pantai Timur, Kotawaringin, Landak, Sukadana, dan Sambas serta Pantai Sebelah Barat.[79]

Sultan memberi izin kepada Syekh Al-Banjari sangat leluasa dalam berdakwah di seluruh daerah kekuasaan kerajaan. Syekh Al-Banjari menyadari masih banyak penduduk di daerah kekuasaan kesultanan Banjar yang belum masuk Islam, terutama di wilayah Banua Ampat, Banua Lima dan Daerah Atas Barito. Kuatnya tradisi lama yang dapat menyebabkan bahaya “Syirik” di lingkungan penganut agama Islam juga menjadi agenda tersendiri dalam visi dakwahnya.

Usaha dan wibawa/ karisma Syekh Al-Banjari secara politik Kesultanan Banjar memiliki komitmen melakukan Islamisasi secara kuantitatif dan kualitatif. Gerakan Islamisasi ini, kalau boleh dikatakan adalah “Revolusi Kebudayaan” dalam lingkungan kesultanan Banjar yang dimotori oleh Syekh Al-Banjari.

Syekh Al-Banjari. Sebagai wujud nyata usaha Islamisasi di lingkungan kesultanan Banjar, puncak Islamisasi di Kerajaan Banjar terjadi pada masa pemerintahan Sultan Adam al Wasikbillah (1825 M-1857 M) dengan ditetapkannya hukum Islam sebagai dasar hukum kerajaan Banjar melalui Undang- Undang Sultan Adam. Munculnya lembaga Mahkamah Syari’ah dan dikukuhkannya lembaga penghulu yang hirarkinya lebih tinggi dari Jaksa merupakan kontribusi dirinya yang tidak dapat dilupakan begitu saja.

Implikasi dari semua itu adalah munculnya fenomena di abad XVII-XVIII, dimana posisi lembaga Panghulu sangat menentukan dalam masalah-masalah keagamaan.[80] Pada masa Sultan Nata Alam (1787 M-1801 M) telah dibentuk lembaga mufti dan Qadi. Syekh Al-Banjari adalah konseptor dan pelopor pembentukan lembaga tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai wujud "dakwah-politik" Syekh Al-Banjari. Dirinya turut memberikan inspirasi bagi pembagian kekuasaan meskipun, saat itu putusan tertinggi tetap di tangan Sultan. Sultan telah membagi kewenangan yang dimilikinya dalam persoalan hukum. Hukum tidak lagi bersumber pada institusi tunggal birokratik kesultanan, sebagaimana biasanya penetapan hukum bersandar pada tradisi. Pengadilan di Kesultanan Banjar kemudian bersumber pada hukum Islam.

Seiring dengan berdirinya lembaga tersebut, Syekh Al-Banjari mengarang kitab Fiqih, yang menjadi rujukan dalam memutuskan perkara. Lembaga Pengadilan di Kesultanan Banjar pada akhir abad XVIII, menggunakan kitab fiqih tersebut sebagai acuan hukumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Syekh Al-Banjari telah berperan pada aspek politik dan kekuasaan. Pembatasan wewenang Sultan, bertambahnya institusi kerajaan, diperhatikannya hak-hak rakyat merupakan kontribusi dirinya dalam percaturannya dengan sistem kerajaan Banjar. Akhirnya, pejabat birokratik di bawah Sultan tidak lagi merasa menjadi superpower “Paharatnya”, melainkan membaur jadi satu demi kemakmuran dan penegakan keadilan bersama.

Posisi Sultan dalam Kesultanan Banjar adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam konteks kekuasaan Sultan tersebut ternyata Syekh Al-Banjari dapat memberikan kontribusi dalam pelaksanaan kekuasaan tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya pengaruh yang ditimbulkan Syekh Al-Banjari terhadap kebijakan-kebijakan sultan. Kebijakan yang ada juga tidak hanya terfokus pada persoalan keagamaan saja, melainkan merambah kepada kebijakan-kebijakan lainnya, seperti ekonomi-pertanian, hukum dan sosial keagamaan.

Syekh Al-Banjari bersikap “hati-hati” dalam menyikapi “suksesi” dan intrik-intrik di lingkungan Istana Kesultanan. Ketika Syekh Al-Banjari pulang dari Makkah dan tiba di kesultanan Banjar, tahta kesultanan Banjar dipegang oleh Sultan Tamdjidillah (1734-1759). Putra Mahkota yang bernama Pangeran Aliudin Aminullah adalah anak dari Sultan Hamidullah. Pangeran Aliudin Aminullah sengaja dijadikan menantu oleh Sultan Tamdjidillah, agar tidak lagi menuntut haknya. Kenyataan memang demikian. Sebagai putra mahkota dirinya tidak meminta kembali hak atas tahta kesultanan Banjar. Akan tetapi kemudian muncul kenyataan, dimana Pangeran Aliudin Aminullah akhirnya berhasrat ingin merebut tahta kesultanan Banjar dari tangan ayah mertuanya sendiri, sekaligus pamannya. Mengapa Pangeran Aliuddin Aminullah yang tadinya “Diam” dan tidak bernafsu atas tahta, berubah pikiran dan menjadi “aktif” menggalang kekuatan.

Pangeran Aliuddin Aminullah yang sudah terobsesi menempati tahta Kesultanan Banjarmasin, menjadikan Tabonio sebagai markas sembari mengumpulkan kekuatan. Tabonio menurut Ondskvopman Ringholm[81] adalah pusat perdagangan gelap paling ramai di Kalimantan pada abad XVII-XVIII.

Setelah kekuatannya terbilang cukup, Pangeran Aliuddin Aminullah beserta pasukan mulai bergerak dari Tabonio menuju Martapura, lokasi istana Sultan saat itu. Ketika Sultan Tamdjidillah mengetahui serbuan menantunya, kemudian mempertimbangkan baik-buruknya, benar salahnya agar tidak terjadi pertumpahan darah di kalangan kerabat (bubuhan) sendiri. Setelah melalui pemikiran panjang, maka tahta kesultanan Banjar diserahkannya kepada Pangeran Aliuddin Aminulah pada tahun 1759 M. Pangeran Aliuddin Aminulah memerintah selama 3 tahun (1759 M- 1761 M). beliau meninggal dunia karena penyakit yang diidapnya.

Kasus di atas dapat dilihat bagaimana peran yang diberikan Syekh Al-Banjari. Dirinya tidak hanya diam untuk tidak memberikan kontribusi positif, melainkan melakukan beberapa hal yang dipandang sebagai sebuah pemikiran. Adapun hal-hal yang dilakukannya antara lain;

a.    Sultan Tamdjidillah sebagai Sultan yang berpengalaman menganggap Syekh Al-Banjari sebagai “Guru" sekaligus Sahabatnya. Dalam menghadapi serbuan menantunya, Sultan Tamdjidillah selalu meminta “Papadah” (nasehat) dari Syekh Al-Banjari. Nasehat yang diberikan kepada Sultan tamdjidillah adalah agar beliau mundur dari tahtanya dan meyerahkan kepada Sultan Alauddin. Hal ini dilakukan dalam kerangka menghindari pertumpahan berdarah antar kerabat kerajaan.

b.    Masa pemerintahan Pangeran Aliuddin Aminullah hanya tiga tahun saja (1759 M-1761 M). Sumber Belanda yang pro Pangeran Aliuddin Aminullah menyatakan meninggalnya Pangeran Aliuddin Aminullah direkayasa oleh mertuanya sendiri. Tetapi, perlu diingat, bahwa sebenarnya motivasi untuk berkuasa pada jiwa Pangeran Aliuddin Aminullah adalah karena dorongan provokasi berbagai pihak, termasuk VOC sendiri. Hasrat berkuasa Pangeran Aliuddin Aminullah bukan berasal dari “Sifat Asli” dirinya. Ketika mertuanya (Sultan Tamdjidillah) menyerahkan legalitas Kesultanan kepadanya, mungkin di hatinya timbul rasa penyesalan. Apalagi dalam budaya Banjar mengenal adanya istilah “Katulahan Lawan Urang Tuha[82]. Pangeran Aliuddin Aminullah bagai “Makan Buah Simalakama”, menyebabkan tekanan batin yang membawa kematian bagi dirinya. Sebagai Sultan Baru, Pangeran Aliuddin Aminullah pasti mencari legitimasi dari pihak elite bangsawan dan ulama/ Tuan Guru. Tidak ada pilihan lain bagi Aliuddin Aminullah kecuali menemui Syekh Al-Banjari. Syekh Al-Banjari adalah ulama yang “Arif Billah” tentunya memberi nasehat (“Papadah”) kepada Pangeran Aliuddin Aminullah yang juga saudara angkatnya. Nasehat-nasehat (Papadah-papadah) Syekh al-Banjari boleh jadi membawa dampak psikologis pula bagi Pangeran Aliuddin Aminullah, sehingga dia menjadi sakit, sejenis ada rasa penyesalan, lalu meninggal dunia pada tahun 1761 M.

Selanjutnya, kekuasaan kerajaan Banjar dipegang oleh Pangeran Nata Alam (1787 M-1801 M), anak dari SultanTamdjidillah. Nata Alam menjadi Sultan, sebab tiga orang anak dari Pangeran Aliuddin Aminullah masih kecil, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir. Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat meninggal dalamusia muda. Sedangkan Pangeran Amir, setelah dewasa berupaya merebut kekuasaan dari Pangeran Nata Alam. Pangeran Amir pada tahun 1785 M, meminta bantuan ArungTurawe, untuk menyerang Martapura. Pasukannya berjumlah 3.000 orang dengan kekuatan 60 buah perahu. Pasukan inimendarat di Tabonio melakukan pembunuhan terhadap rakyatyang tidak berdosa, memusnahkan kebun lada rakyat dan menawan mereka. Pasukan ini laksana perampok saja.

Akibatnya Pangeran Amir tidak mendapat simpati[83]. Sebaliknya, justru Pangeran Nata Alam lebih mendapat simpati dari rakyat Banjar. Dari peristiwa tersebut, dapat dipahami alasan keberpihakan Syekh Al-Banjari terhadap Pangeran Nata Alam. Syekh Al-Banjari menyadari persoalan kekuasaan erat hubungannya dengan kepemimpinan. Kepemimpinan Pangeran Nata Alam sendirinya mendapat legitimasi dari Syekh Al-Banjari

Syekh Al-Banjari dan sebagian besar elite bangsawan, disamping disenangi oleh rakyat banyak. Tahun 1787 M untuk menjaga stabilitas kekuasaannya, sekaligus stabilitas keamanan rakyat dilakukan kontrak antara VOC dengan penguasa kerajaan Banjar. Dalam kontrak ini Sultan menyerahkan beberapa wilayah kepada VOC. Adapun wilayah tersebut antara lain; Pasir, Laut Pulo, Tabonio, Mendawai, Sampit, Pambuang, Kotawaringin. Sultan menjadi vazai VOC, langsung menguasai daerah sendiri, putera mahkota pilihan VOC dan adanya jaminan dari VOC, bahwa tahta Kesultanan Banjar seterusnya hanya dari keturunan Pangeran Nata Alam saja. Ternyata, kontrak 1787 M ini dalam prakteknya sebuah nol besar. VOC hanya menjadi obyek semata. Kontrak 1787M dan 1797 M adalah “Sandiwara Politik” Kesultanan Banjar dengan Pangeran Nata Alam sebagai sutradaranya. Daerah daerah yang diserahkan kepada VOC pun daerah kosong dari hasil budi daya tanaman ekspor.

Fenomena ini semua memberikan penjelasan bahwa, hubungan, sikap dan peran Syekh Al-Banjari terhadap pemerintah Sultan Nata Alam juga sangat besar dalam memarginalkan VOC. Adapun kontribusinya dapat digambarkan sebagai berikut;

a.    Penetrasi VOC semakin menyempitkan eksistensi kebebasan perdagangan rakyat Banjar. Sultan Nata Alam dapat menyiasati keadaan politik eksternal kesultanan dengan melakukan “kontrak bohongan”, untuk menipu Belanda VOC, yang selalu ingin monopoli perdagangan.

b.    Keadaan yang dihadapi kesultanan Banjar, akibat penetrasi ekonomi perdagangan dari VOC ini memerlukan sejenis dukungan moral, di antaranya dari para Tuan Guru, Alim Ulama di Martapura. Dalam konteks ini, SAB menganggap Sultan Nata Alam memerlukan taktik yang tepat, agar “kedaulatan” kesultanan tetap eksis. Sultan Nata Alam sendiri dapat bertukar pikiran dan minta nasehat/ “Papadah” kepada Syekh Al-Banjari. Biasanya papadah yang ditelorkan bersifat umum dan normatif, sehingga masih membutuhkan penafsiran sendiri.

c.    Ketika Sultan Nata Alam memerintah, usia Syekh Al-Banjari telah cukup tua. Syekh Al-Banjari tidak lagi sepenuhnya ikut memikirkan soal-soal pemerintahan.Tidak dapat dilupakan bahwa terkurasnya tenaga dan pikiran Syekh Al-Banjari adalah untuk berdakwah. Bahkan beliau menyempatkan waktu menulis Al-Qur’an dengan tangan beliau sendiri. Peran politik Syekh Al-Banjari sangat menentukan bagi keberlangsungan pemerintah Kesultanan. Syekh Al-Banjari, sehingga mampu menjaga harmonisasi dari berbagai pihak yang berkonflik. Perpecahan internal elite bangsawan, tidak berdampak buruk bagi integrasi Kesultanan. Tekanan-Tekanan eksternal dari VOC, teratasi dengan “Strategi Kontrak” yang dimainkan oleh para Sultan Banjar melalui nasehat yang telah Syekh Al-Banjari.

Permulaan menuju perubahan birokratisasi, Belanda berkeyakinan bahwa perlu dipertahankan prestise penguasa setempat terhadap rakyat. Sebab prestise ini merupakan unsur kunci dalam kontrol. Sikap ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepatuhan dan kesetiaan yang tinggi dari masyarakat kepada penguasa setempat akan menyebabkan kepatuhan dan kesetiaannya pula terhadap pemerintah yang mengangkat pejabat itu.

Kebanyakan pejabat Belanda masih yakin bahwa perlu dipertahankan unsur “tradisional”[84] untuk memelihara Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa rakyat setia kepada pejabat pribumi dan para pejabat pribumi itu setia kepada Belanda (lihat syarat utama pejabat pribumi harus loyal). Oleh karena itubanyak orang Belanda-yangberkedudukan tinggi-mengira bahwa rakyat akan bengkit mempertahankan negara seandainya Jepang menyerbu Hindia Belanda, atau paling tidak, penduduk akan menolak bekerja sama dengan jepang. Dalam hal ini ternyata orang-orang Belanda  kewibawaan penguasa setempat. Oleh karena itu, maka simbol simbol penguasa tradisional tetap dipertahankan seperti payung emas dan pusaka-pusaka lainnya. Ada sejumlah orang Eropa yang menghendaki dilakukan “modernisasi”. Meskipun mereka pada awalnya masih dalam jumlah kecil, tapi pada awal abad ke 20 pengaruhnya makin lama makin besar terutama melalui pemikiran Snouck Hurgronje dan penasehat-penasehat urusan urusan pribumi.[85]

Kelompok yang menganjurkan perubahan berpendapat bahwa perluasan pendidikan dan kemakmuran adalah sangat penting, sebab dengan standar hidup yang lebih baik dan pengetahuan tentang peradaban Barat secukupnya, maka rakyat pribumi bukan saja akan meningkat kesejahteraannya, tetapi juga akan dapat menghargai segala sesuatu yang diciptakan oleh Belanda. Pada tahun 1901 (awal abad XX), sikap seperti ini memperoleh persetujuan resmi pemerintah dengan ditetapkannya apa yang dinamakan kebijaksanaan etis.[86]

Awal pemerintahan Belanda di Banjar dikeluarkan Keputusan Residen Borneo No. 32 tahun 1823 yang mengatur tentang pengadilan agama di Banjarmasin. Dalam aturan tersebut ditentukan bahwa jumlah anggota mahkamah empat orang khatib dan naik banding tidak lagi kepada sultan, tapi kepada residen. Mengenai gaji mereka ditetapkan, hanya disebutkan tetap seperti adat Melayu.[87] Pengaturan pejabat agama secara lebih meluas, ditetapkan pada tahun 1832 M melalui Beslit Residen tanggal 15 Maret 1832 M. Dalam beslit tersebut diatur struktur, prosedur pengangkatan, tugas dan wewenang, tanda jabatan dan penghasilan penghulu.[88]

Prosedur pengangkatan penghulu menjadi lebih jelas dengan ditetapkannya Keputusan Residen Borneo tanggal 20 April 1832 No. 43.[89] Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa: Pangeran Penghulu Nata Agama diangkat oleh gubernemen di batavia atas pilihan residen. Jabatan khatib penghulu dan khatib imam dipilih oleh masyrakat. Untuk kelompok masyarakat Arab dipilih diantara mereka sendiri, demikian pula untuk masyarakat Melayu. Hasil pemilihan tersebut diajukan oleh Pangeran Penghulu Nata Agama kepadaresiden. Kemudian residen mendengarkan pula pendapat ambtenar melayu dalam hal ini demang[90] tentang kebaikan dan kelemahan calon tersebut. Bila residen berkenan, lalu ditetapkan calon penghulu itu menjadi khatib penghulu atau khatib imam; jabatan modin dan marbot diangkat dari orang yang dipilih oleh Pangeran Penghulu Nata Agama dengan mendengarkan suara Ambtenar Melayu dan kemudian ditetapkan oleh residen. Bilal dipilih oleh orang kampung, di muka kepala polisi dan disetujui oleh Pangeran Penghulu Nata Agama, lalu kemudian ditetapkan oleh residen.

Laporan buku kawin yang dibuat secara berkala, penghulu juga melaporkan perceraian dan rujuk serta perkara-perkara lain di bidang agama. Mekanisme dan sistem laporan tersebut menuntut kemampuan adminisrasi bagi para penghulu. Oleh kaena itu, maka dalam beslit residen tersebut dianjurkan agar calon seorang penghulu dapat membaca dan menulis. Hal yang sama ditemukan dalam Undang-Undang Simbur Cahaya. Oleh karena itu tidak heran bila Snouck Hurgronje melalui kantor voor Inlandsche Zaken mensyaratkan seorang penghulu haruslah yang bisa membaca dan menulis huruf latin.

Suasana politik yang memberi peluang besar terhadap posisi dan peran ulama dalam kerajaan Banjar, telah di manfaatkan dengan baik oleh kaum ulama, sebab pemberlakuan syariat Islam bisa efektif hanya dengan kekuasaan. Sebab menurut Ibnu Chaldun, manusia adalah hayawan al-siyasi[91],mempunyai naluri berpolitik, yang membedakan hanyalah intensitas interaksi dengan lingkungan. Ulama Banjar pada akhir abad ke-18, bisa dikatakan mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Menurut penyelidikan Steenbrink terhadap kitab Sabil al-Muhtadin yang nota bene kitab Undang-undang kerajaan, ternyata tidak membicarakan sama sekali persoalan dasar negara atau persoalan sosial politik lainnya. Kebanyakan yang ada hanya soal ibadah.[92]

Hal ini barangkali yang menyebabkan ulama Banjar pada umumnya menganut faham Sunni (ahl al-Sunnah wal aljama’ah), yang mempunyai pemikiran politik cenderung tidak terikat kepada format atau bentuk negara, melainkan pada substansi bernegaranya. Kaum sunni tak peduli apakah pemerintahan itu berbentuk teokrasi atau monarki, yang penting di dalamnya ada supremasi syariat dan prinsip kenegaraan seperti keadilan, persamaan, musyawarah dan sebagainya. Rupanya Sultan Tahmidullah II sudah termasuk kriteria dimaksud sehingga patut didukung oleh kaum ulama. Ini terbukti dengan pujian Syekh Al-Banjari bahwa Tahmidullah II adalah seorang Sultan yang tinggi cita-citanya, cerdas, pandai berbicara dengan Petah[93] mempunyai pikiran yang bersih dan ilmu pengetahuan yang dalam. Dialah yang menguasai Negeri Banjar, yang selalu berusaha memperbaiki urusan agama dan dunia, pemimpin yang besar dan ikutan yang mulia.[94] Atau dalam ungkapan al-Mawardi, Tahmidullah II telah memenuhi syarat sebagai imam yang menjalankan tugas pokok, yaitu memelihara agama dan menyenggarakan kepentingan umum.[95]

Kemudian wujud peluang politik ulama itu adalah terciptanya semacam lembaga pengadilan yang dikenal dengan Mahkamah Syaria, yaitu lembaga pengadilan agama yang dipimpin oleh seorang Mufti sebagai penguasa tertinggi dalam bidang hukum sesudah Sultan, dan sebagai ketua hakim tertinggi pengawas pengadilan umum yang bertanggung jawab terhadap jalannya lembaga-lembaga kehakiman. Lembaga ini mengurusi masalah keagamaan yang timbul dalam masyarakat, agar senantiasa terpimpin kepada kebenaran hukum.

Mufti dalam melaksanakan tugasnya didampingi oleh seorang Qodhi yang berfungsi sebagai pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan seperti soal nikah, talak, rujuk, pembagian harta warisan dan sebagainya,[96] bahkan terkadang mengurusi perkara yang lebih luas dari itu[97]  atau jelasnya mengatur masalah hampir secara keseluruhan aspek keagamaan dalam wilayah kerajaan. Jabatan Mufti dipercayakan kepada ulama yang tidak sembarang ulama. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa jabatan Mufti di Banjarmasin sejak dulu sangat dihormati dan hanya ulama yang paling pandai dan berbakat saja yang bisa diangkat menjadi Mufti, sehingga sangat dipercaya oleh rakyat di sana.[98]

Jabatan Mufti tampak sekaligus merupakan jabatan dan gelar kehormatan. Selain itu, Mufti juga merangkap jabatan dalam Dewan Mahkota yang turut serta menentukan kebijaksanaan yang ditempuh oleh Sultan dan kerajaan bersama-sama kaum bangsawan dan Mangkubumi.

Sistem kekuasaan Kesultanan Banjar ada ulama yang berada di luar sistem tersebut sebagai tokoh masyarakat, sebagaimana menurut Taufik Abdullah sebagai ulama bebas,[99] yang lebih ditentukan oleh persyaratan kemampuan diri yang mempunyai pengaruh spiritual mendalam karena keahliannya dalam ilmu agama dan ketekunan/ keshalehan melaksanakan ajaran agama sehingga mempunyai karamah yang diberikan Tuhan kepada seorang ulama yang mempunyai semangat pengabdian terhadap masyarakat, terutama dalam penyebaran pendidikan melalui langgar, madrasah, rumah dan tempat-tempat pendidikan lainnya,[100] sehingga sangat disegani masyarakat.

Sebagaiman Syekh Al-Banjari yang berasal dari status sosial yang tinggi, semakin tinggi saja wibawa dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Beliau menjadi dibutuhkan tidak saja sebagai pelindung spiritual tapi juga pelindung sosial dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan. Beliau adalah teladan dan panutan yang ditaati dengan sepenuhhati karena bagi masyarakat hidup dan adanya Beliau jadi keuntungan, mati dan tiada mereka berarti musibah.[101]

Syekh Al-Banjari sebagai Ulama Banjar yang menjadi tokoh masyarakat lebih berorientasi pada gerakan kemasyarakatan dari pada orientasi kekuasaan. Sebagai Ulama Banjar berupaya mengadakan perubahan dalam masyarakat tidak hanya melalui kekuasaan, namun melalui jalur kultural yang dukungan dari bawah untuk keberhasilan perubahan. Apalagi pada abad XIX pemahaman masyarakat Banjar terhadap masih rendah, terutama daerah pedalaman bahkan terkadang masih bercampur ajaran pra-Islam.

Faktor interaksi Syekh Al-Banjari sebagai ulama dan sultan adalah lebih pada faktor kepentingan” masing-masing, ulama membutuhkan situasi yang kondusif dalam mengembangkan misi dakwah, sedangkan  sultan membutuhkan penguatan legimitasi kekuasaannya.

Sekalipun dalam hubungan ini terjadi dinamika karena persepsi dan kepentingan dalam memperebutkan/ mempertahanan kekuasaan di lingkungan elite Kesultanan Banjar. Antara Syekh Al-Banjari sebagai ulama sendiri bisa terjadi perbedaan dalam menyikapi dan melaksanakan strategi dakwah dalam masyarakat di mana Syekh Al-Banjari lebih menitik beratkan pada pendekatan dengan kekuasaan dan kultural, Namun perlu dicatat pula faktor interaktif lainnya adalah adanya kolonial Belanda yang karena kepentingannya ikut pula mempengaruhi terjadinya hubungan   sultan dengan Syekh Al-Banjari sebagai ulama di tengah dinamika kekuasaan Kesultanan Banjar pada abad XIX sebagaimana contoh dalam pada peristiwa Perang Banjar, Perang fisabillah Baratib Baamal dan peristiwa lainnya.

Sejauh ini, Syekh Al-Banjari mewariskan beberapa kitab penting antara lain Tuhfaturraghibien yang menjadi rujukan dalam masalah aqidah, Faraidl yang membahas soal hukum waris, Parukunan yang banyak mengupas soal ibadah. Tentu tak ketinggalan masterpiece: kitab Sabilal Muhtadin yang membahas secara komprehensif persoalan fiqh dan hal-hal kemasyarakatan lain.  Sabilal Muhtadin[102] menjadi sebuah penanda bahwa Islam Nusantara pernah menjadi “pusat” dari pengkajian Islam di dunia. Ditulis pada 1779M dalam bahasa Jawi, kitab ini tersebar luas ke jaringan pesantren di seluruh nusantara, Malaysia, hingga Thailand Selatan. Kitab ini menjadi semacam textbook untuk memahami fiqh dalam mazhab Syafii yang dipelajari oleh santri di pondok-pondok pesantren, bahkan hingga saat ini. 

Hal ini membuktikan, dalam bidang ilmu-ilmu agama, Syekh Al-Banjari pernah menjadi salah satu fokus keilmuan yang dipertimbangkan di Asia Tenggara dalam mazhab syafi'i. Islam Nusantara sudah mengglobal bahkan sebelum ASEAN dicanangkan. Pada titik inilah pembicaraan mengenai “Islam Nusantara” menjadi relevan di alam modernitas yang kian kompleks.

 

 



[68] Ahmad Suriadi, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Dalam Dinamika Politik Kerajaan Banjar Abab XIX. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan penerbitan LP2M IAIN Antasari, Banjarmasin, hal, 1.

[69]Dewan Mahkota ini diketuai oleh Mangkubumi dengan empat deputi. Yaitu: Pangiwa, Panganan, Gampiran, dan Panumping. Keberadaan dewan mahkota tentunya tidak selalu ada dan sama, baik bentuk maupun personil tergantung kebijakan sultan yang berkuasa saat itu. Liha J.J. Ras, Hikayat Banjar : A Study in Malay Historiography, (Martinus Nijhoff: The Hague, 1968), hlm.. 233. A.A. Cense, De Kroniek Van Banjarmasin, Poefschriff, CA. Mess Santpoort (NH), hlm..109. Dan Idwar Shaleh, Papper Trade and the Rulling Class of Banjarmasin in the Seventeenth Century, (Leiden: Ducth-Indonesian Historical Conference, 1978). Lihat pula Milner AC, Islam and Malay Kingship, (JRAS, 1981). Dan Islam and The Muslim State, dalam M.B. Hooker (ed), Islam in South Easth Asia, (Leiden: Brill), hlm. 23-49.

[70]Bubuhan dapat dipahami sebagai warga Banjar yang berada dalam satu ikatan kekerabatan luas yang bersandar pada garis keturunan, lokalitas (tempat kediaman), atau kesejarahan. Sebagai sebuah kelompok bubuhan, bubuhan adalah orang-orang panutan dan dia sebagai tetuha memikul tanggung jawab untuk kepentingan anggota bubuhannya. Selain ikatan kekerabatan luas, identitas kelompok bubuhan tidak terlepas dari sejarah terbentuknya kelompok masyarakat tersebut. Sebutan “Bubuhan Banjar”. Hal ini jelas bahwa Bubuhan Banjar membawahi berbagai kelompok bubuhan lainnya yang ada dalam masyarakat Banjar.atau ujar Elbi Risalah/ Ustadz Jalil (penyelia http://banjarsungaiganal.blogspot.com/ dan blog lainnya di Malaysia):

[71]Bergelar Sultan Sepuh, sebenarnya adalah seorang mantan Mangkubumi Kesultanan Banjar masa pemerintahan Sultan Hamidullah (1700 M– 1734 M)

[72]Ahmad Suriadi, hal, 1.

[73]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emperiom Sampai Imperium, Jilid 1, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm, 25.

[74]Lihat Hasan Muarif Ambary, Dinamika Sejarah dan Sosialisasi Islam di Asia Tenggara Abad 11-17 M, (Jakarta: Depdikbud, 1997), hlm. 32-33.

[75]Arsip Nasional, Surat-Surat Perjanjian Antar Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintah VOC, Inggris dan Hindia Belanda 1635-1860, (Jakarta, 1965).

[76]Ahmad Suriadi, hal, 2

[77]Ahmad Suriadi, hal, 3.

[78]Ahmad Suriadi, hal, 3.

[79]Lihat J.J. Ras, Hikayat Banjar : A Study in Malay Historiography, (Leiden,t.p., 1968). Dan J.C. Noorlander, Banjarmasinen de Campagnie in de tiveede heltth.der 18 de Een, N. (Leiden: Dubbeldemen, 1935).

[80]Gazali Usman, Kerajaan Banjar, sejarah Perkembangan Politik Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press, 1994), hlm. 44.

[81]J.C. Noorlander, Op.Cit., hlm. 38

[82]Durhaka terhadap orang tua sehingga mendapat murka dari Allah swt.

[83]Lihat Idwar Shaleh, Selayang Pandang Mengenal Bangkitnya Kerajaan Banjarmasin, Posisi, Fungsi dan Artinya dalam sejarah Indonesia dalam Abad ke 17,dampak psikologis pula bagi Pangeran AliuddinAminullah, sehingga dia menjadi sakit, sejenis ada rasapenyesalan, lalu meninggal dunia pada tahun 1761 M. (Bandung, KPPK, Balai Pendidikan Guru, tth.), hlm. 125; Lihat pula Arsip Nasional,Decentralisatie, Kies voorschriften Manado Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo,19 Maart 1930 nomor 7.

[84]A.B. Lapian, hlm. 250

[85]Penasehat-penasehat berikutnya adalah G.A.J. Hazeu (1906-1912), D.A. Rinkes (1913-1916), R.A. Kern (1920-1922, 1923-1926), E. Gobee (1926- 1928, 1929-1931, 1931-1937) dan G.F. Pijper (1937-1942).

[86]Tahun 1901 Ratu Wilhelmina secara resmi membuka suatu era kolonial baru, tatkala ia berbicara tentang “kewajiban etis dan tanggung jawab moral” negeri Belanda terhadap Hindia Belanda.

[87]Adatrechtbundels,’s-ravenhage, Martinus Nijhoff, 27, 1928, hlm. 447.

[88]Adatrechtbundels, 12, 1916, hlm. 198-2002.

[89]Adatrechtbundels, 12, 1916, hlm. 200-2002.

[90]Jabatan Demang merupakan jabatan tertinggi yang dicapai olehpegawai pribumi di Palembang setelah jabatan rijkbestuurder dihapuskan. LihatSnouck Hurgronje, Ambtelijke Advienzen, Jilid I, 1957, hlm. 792

[91]Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, 5 Jilid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), Jilid 1, hlm. 40.

[92]Karel A. Steenbrink, “Metodologi Studi Sejarah Islam di Indonesia Beberapa Catatan dari Praktek Penyelidikan Tentang Abad ke-19”, dalam Mu’in Umar dkk. (Ed.), Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 9.

[93]Ramah dan lembut

[94]Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabil al-Muhtadin li al- Tafaqquh fi Amr al-Din , (Mesir: Darun Ahya, Cet. III, tth..), hlm. 3.

[95]Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Cet. III, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1973), hlm. 5.

[96]Yusuf Halidi, Ulama Besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,(Banjarmasin: Aulia, 1968), hlm. 40.

[97]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 85.

[98]Karel A. Steenbrink, hlm 85-86

[99]Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 66.

[100]Masyhur Amin, “Kedudukan Kelompok Elit Aceh Dalam PerspektifSejarah,” dalam Alfian, Ed. Kelompok Elite dan Hubungan Sosial di Pedesaan,(Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1988), hlm. 20.

[101]Abu Bakar Muhammad Ibnu Husain bin Abdullah Al-Ajiriy, Budi Pekerti Ulama, Terj. Drs. Aly As’ad, (Kudus: Menara Kudus, 1978), hlm. 1.

[102]Judul lengkapnya: Sabilal Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amriddin