Selasa, 29 Desember 2020
Kamis, 17 Desember 2020
Senin, 07 Desember 2020
Habib Alwi bin Abdul Aziz Al Zamadghon
Habib yang punya strategi sendiri untuk memahami hubungan Renaissance dan Islam. Beliau juga Habib pemberi nama Nahdlatul Ulama (NU). Adalah Sayid Alwi Abdul Aziz al-Zamadghon atau dikenal juga Habib Alwi Abdul Aziz Azmatkhan orangnya. Nama beliau tidak semasyhur Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahab Chasbullah. Beliau lazim disebut Kiai Mas Alwi, putra kiai besar, Abdul Aziz al-Zamadghon. Bersepupu dengan KH. Mas Mansyur dan termasuk keluarga besar Sunan Ampel, yang juga pendiri sekolah Nahdlatul Waton dan pernah belajar di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Dari pulau garam, ia melanjutkan sekolah di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, lalu memungkasi rihlah ‘ilmiyah-nya di Makkah al-Mukarromah. Kyai Mas Alwi Abdul adalah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama bersama Kyai Abdul Wahab asbullah dan Kyai Ridlwan Abdul dan lainnya, yang ketiganya bergerak secara aktif sejak NU belum didirikan. Beliaulah yang pertama mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Kyai Mas Alwi Abdul merupakan putra Kyai besar kala itu, yaitu KH. Abdul Aziz yang masuk dalam keluarga Ampel, Surabaya. Beliau pernah belajar di pesantren Syikhona Kholil Bangkalan, Madura. Kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo lalu kemudian di Mekkah. Sebagaimana disebut dalam kisah berdirinya NU oleh Kyai’ As’ad Syamsul Arifin bahwa, sebelum tahun 1926 KH. M. Hasyim Asy’ari telah berencana membuat organisasi Jam’iyah Ulama, atau perkumpulan ulama. Saat didirikan dan mau diberi nama, para Kyaii berpendapat dan mengusulkan nama-nama yang berbeda. Namun Kyai Mas Alwi mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Kyai Hasyim Asy’ari bertanya : “Kenapa ada Nahdlah, kok tidak Jamiyah Ulama saja?”. Kyai Mas Alwi menjawab : “Karena tidak semua Kyai memilki jiwa Nahdlah (bangkit). Ada Kyai yang sekedar mengurusi pondoknya saja, tidak mau perduli terhadap jamiyah”. Akhirnya para Kyai menyepakati nama Nahdlatul Ulama sebagai pilihan untuk nama sebuah organisasi sampai saat ini. Tidak ada data yang pasti mengenai kelahiran Kyai Mas Alwi. Hanya ditemukan petunjuk dari kisah Kyai Mujib Ridlwan bahwa ketiga kyai yang bersahabat di masa itu, yakni Kyai Ridlwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Mas Alwi adalah orang-orang yang tidak terlalu jauh jaraknya dalam hal usia. Disebutkan bahwa di awal-awal berdirinya NU yakni tahun 1926, usia Kyai Ridlwan 40 tahun, Kyai Wahab 37 tahun dan Kyai Mas Alwi 35 Tahun. Dengan demikian, Kyai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1890-an. Kyai Mas Alwi merupakan putra Kyai Besar kala itu, yaitu KH Abdul Aziz yang masuk dalam keluarga besar Ampel, Surabaya. Saya juga belum menemukan data yang cukup mengenai masa kecil beliau dan silsilah keluarganya. Ketiga kyai diatas, yakni Kyai Ridlwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Mas Alwi, bukan sosok yang baru bersahabat ketika mendirikan sekolah Nahdlatul Wathon, namun jauh sebelum itu, ketiganya telah bersahabat sejak berada di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Kyai Ridlwan mengisahkan kepada putranya Kyai Mujib bahwa Kyai Wahab dan Kyai Mas Alwi adalah dua kyai yang sudah terlihat hebat sejak berada di pondok, baik kecerdasan dan kepandaiannya. Kyai Mujib kemudian menyebutkan bahwa dua kyai tersebut kemudian melanjutkan ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, kemudian ke Makkah termasuk juga Kyai Ridlwan Abdullah. Kyai Mas Alwi bersama Kyai Ridlwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah dan saudara sepupunya Kyai Mas Mansur, turut membidani berdirinya sekolah Nahdlatul Wathon, dan Kyai Mas Mansur lah yang menjadi kepala sekolah sebelum terpengaruh pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang akhirnya menjadi pengikut Muhammadiyah. Namun, setelah tersiar kabar bahwa Kyai Mas Alwi ikut kerja dalam pelayaran, maka beliau dipecat dari sekolah tersebut, akan tetapi sepulang dari Eropa beliau diterima kembali mengajar di Nahdlatul Wathon, dan justru Kyai Mas Mansur yang akhirnya dipecat oleh para kyai karena telah terpengaruh pemikiran Muhammad Abduh. Saat merebaknya isu “Pembaharuan Islam” (Renaissance), Kyai Mas Mansur, adik sepupu Kyai Mas Alwi mempelajarinya ke Mesir, kepada Muhammad Abduh. Maklum, Mas Mansur adalah keluarga yang mampu secara finansial sehingga beliau dapat mencari ilmu ke Mesir. Sementara Kyai Mas Alwi bukan dari keluarga yang kaya. Oleh karenanya Kyai Mas Alwi berkata: “Apa sih yang sebenarnya dicari oleh Adik Mansur ke Mesir? Renaissance atau pembaharuan itu tempatnya di Eropa”. Maka beliau pun berusaha untuk mengetahui apa sebanarnya renaissance ke Eropa, saat itu beliau pergi ke Belanda dan Prancis dengan mengikuti pelayaran. Di masa itu, orang yang bekerja sebagai pelayaran mendapat stigma yang sangat buruk dan memalukan bagi keluarga, sebab pada umumnya pekerja pelayaran selalu melakukan perjudian, zina, mabuk dan lain sebagainya. Sejak saat itulah keluarga Kyai Mas Alwi mengeluarkannya dari silsilah keluarga dan ‘diusir’ dari rumah. Setiba di tanah air, Kyai Mas Alwi dikucilkan oleh para sahabat dan tetangganya. Akhirnya Kyai Mas Alwi membuka warung kecil di daerah Jl. Sasak, dekat wilayah Ampel untuk berjualan memenuhi hajat hidupnya. (Bersambung)
Minggu, 06 Desember 2020
HUKUM ISBAL
maaf.. mencoba menjawab
Dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 01 tahun 2004, memakai kain sarung atau celana yang melampaui kedua matakaki pada dasarnya bukanlah sesuatu yang dilarang dalam agama Islam. Larangan itu berlaku bagi mereka yang memakai sarung atau celana menutupi atau di bawah matakaki dengan niat untuk kemegahan, menyombongkan diri, dan rasa angkuh yang timbul dalam dirinya. Apalagi sarung atau celana itu sampai menyapu tanah seperti yang biasa dilakukan oleh raja-raja atau para bangsawan masa dahulu. Memakai sarung atau celana dengan panjang sampai menyapu tanah tidak saja memperlihatkan kesombongan dan keangkuhan seseorang, tetapi juga dapat mengotori pakaiannya. Padahal pakaian baik celana ataupun sarung harus dalam keadaan suci dan bersih ketika beribadah.
Memang benar ada sejumlah hadits yang menerangkan bahwa “menurunkan pakaian di bawah mata kaki” menyentuh tanah dicela oleh syara’. Tetapi harus diingat, “celaan itu berkaitan dengan sifat sombong/angkuh” dari si pemakai pakaian itu. Beberapa hadits tersebut sebenarnya berkaitan dengan adab/akhlaq dalam berpakaian, berikut diantaranya :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ. [متفق عليه]
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah tidak memandang kepada orang yang memanjang (menyeret) pakaiannya dalam keadaan sombong.” [HR al-Bukhari dan Muslim]
Yang dimaksud dengan ‘jarra tsaubah’, dijelaskan oleh hadits menurut lafal al-Bukhari, yaitu:
مَا أَسْفَلَ مِنَ اْلكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فيِ النَّارِ
Artinya: “Pakaian yang dalamnya di bawah kedua matakaki berada dalam neraka.”
“Tidak dipandang oleh Allah dengan pandangan kasih sayangnya” , memiliki arti Allah tidak memberi rahmat kepada orang yang memanjangkan/menyeret celana atau sarungnya (sampai ke tanah) karena sombong/amgkuhnya itu, baik pria maupun wanita.
Menurut hadits yang ditakhrijkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, tatkala Abu Bakar ra mendengar pernyataan Rasulullah SAW pada hadits di atas, beliau ( Abu Bakar ra.) menghadap Rasulullah saw dan berkata:
أَنَّ إِزَارِيْ يَسْتَرَخَي إِلاَّ أَنْ تُعَاهِدُهُ
Artinya : “Sesungguhnya sarungku menutupi matakakiku”
Rasulullah saw menjawab “Sesungguhnya engkau bukan termasuk orang yang melakukan kesombongan.”
Dari keterangan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa boleh memakai sarung atau celana yang panjangnya di bawah atau menutupi matakaki, sebagaimana dibolehkannya sahabat Abu Bakar. Asal tidak terdapat di dalamnya unsur-unsur kesombongan. Selain itu, sarung atau celana yang menyapu tanah dapat mengotori sarung atau celana tersebut, sehingga dapat merusak nilai dalam ibadah.
sumber:
http://www.lppmnuansa.com/2018/12/hukum-isbal-dalam-pandangan-muhammadiyah.html?m=1
Jumat, 04 Desember 2020
Langganan:
Postingan (Atom)