Sabtu, 29 Agustus 2020
MARKAZ TAHFIZH ALIYATUL QURAN BANJARMASIM jalan Kayu Tangi II komplek Kejaksaan RT 005. no 19 Banjarmasim
MARKAZ TAHFIZH ALIYATUL QURAN BANJARMASIM jalan Kayu Tangi II komplek Kejaksaan RT 005. no 19 Banjarmasim
PRIBAHASA BANJAR
Paribasa dan ungkapan banjar, refleksi budaya oleh noorhalis majid
TAMPULU JADI RAJA
Mumpung berkuasa, sesuka hati menggunakan kekuasaan. Lupa diri, hanya untuk memuaskan pribadi. Tidak memperhatikan kemaslahatan yang lebih luas, berdampak panjang, termasuk memperhatikan nasib masyarakat.
Tampulu, artinya mumpung. Memanfaatkan kesempatan, situasi yang dianggap menguntungkan dirinya. Baik karena berkuasa, maupun kesempatan lainnya. Ungkapan ini menjurus pada orang yang sedang berkuasa, memimpin, tapi memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya.
Tampulu, menjadi ungkapan kritis, karena rentannya manusia menyalahgunakan kewenangan yang melekat pada kedudukannya untuk tujuan lain dari jabatan tersebut. Disadari oleh para leluhur, kekuasaan itu sama dengan lupa. Artinya, setelah seseorang berkuasa, cenderung lupa. Tidak ingat untuk apa tujuan kekuasaan, dan bagaimana seharusnya kekuasaan dikelola, dijalankan. Sehingga justru membelokkannya untuk kepentingan lain.
Menjadi raja, bukan saja menjadi pucuk pimpinan seperti kepala daerah atau kepala negara. Namun menduduki semua level jabatan yang menempatkannya memiliki kuasa, kewenangan. Mulai dari jadi RT, Lurah, Kepala Desa, Camat, Kepala Dinas, juga berarti menjadi raja pada lingkupnya masing-masing. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula peluangnya menyalahgunakan jabatan.
Dalam bahasa sekarang, disebut penyalahgunaan wewenang. Artinya, mentang-mentang punya wewenang, menggunakannya wewenang untuk kepentingan yang bukan seharusnya. Disalahgunakan, dipolitisasi, atau bahkan dikorup.
Jauh sebelum ilmu pemerintahan menemukan penyakit birokrasi yang rentan menyalah gunakan wewenang, yang kemudian hari disebut maladminitrasi, kebudayaan banjar sudah mengkritik halus dengan satu ungkapan tampulu jadi raja. Bersekap mentang-mentang, karena ada jabatan yang disandangnya. Kalau tidak ada jabatan itu, sebenarnya bukanlah siapa-siapa.
Maka, harus ada kontrol atas kewenangan yang dimiliki. Berupa pengawasan, baik internal, eksternal, maupun pengawasan langsung dari rakyat sebagai pemberi mandat. Ungkapan ini, bagian dari kontrol rakyat, dalam hal ini diwakili oleh kebudayaan yang dilahirkan oleh pergumulan berbagai tata nilai, etika, moral, dan sebagainya di tengah masyarakat banjar. Menuntun agar selalu amanah saat berkuasa. Jangan tampulu, sehingga berkhianat terhadap amanah yang sudah diberikan. (nm)
Jumat, 28 Agustus 2020
Langganan:
Postingan (Atom)